Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Ini Pasal-Pasal yang Bisa Berengus Kemerdekaan Pers di RUU Penyiaran Menurut AJI

Konten Sensitif


JAKARTA - Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia menjadi sorotan. LBH Pers dan AJI Jakarta menilai revisi UU Penyiaran ini akan membawa masa depan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan.

Salah satu hal krusial dalam revisi undang-undang ini ialah Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Sebagaimana yang terdapat pada draf tertanggal 27 Maret 2024, revisi UUPenyiaran tersebut secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum.

Negara, dalam hal ini Pemerintah, kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negaranya. Hal ini tentu tak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi.

Lapisan pelanggaran ini mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis yang telah terwujud melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang yang dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.

Dari keterangan tertulis yang diterima Okezone, Rabu (15/5/2024), adapun Pasal-Pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi terdapat pada:

Pasal 50B ayat (2)

- larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;

- larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender;

- larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Pasal 8A huruf q

Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran

Pasal 42

(1) Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

LBH Pers dan AJI Jakarta memberi catatan kritis terhadap revisi UU Penyiaran, dalam daftar berikut:


Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir;

Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian homoseksual biseksual dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik;

Ketiga, Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.

Keempat, Pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebut di atas, dengan ini LBH Pers dan AJI Jakarta mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk:

1. meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran;

2. menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi;

3. melibatkan Dewan Pers dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan.

https://nasional.okezone.com/read/20...rut-aji?page=2
yang bagian soal LGHDTV+ boleh tuh .
sisanya dihapus aja..


Mahfud soal RUU Penyiaran: Keblinger, Masa Media Tak Boleh Investigasi


Mahfud MD menegaskan tugas media adalah melakukan investigasi terhadap informasi yang tak diketahui oleh publik. CNN Indonesia/Andry Novelino
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengkritik revisi Undang-Undang atau RUU Penyiaran yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi.
Menurutnya, pelarangan itu merupakan satu kekeliruan karena tugas jurnalis justru melakukan investigasi.

"Kalau itu sangat keblinger, masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang. Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani," kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Rabu (15/5).

Pakar hukum tata negara ini berpendapat melarang jurnalis melakukan investigasi dan melarang media menyiarkan produk investigasi sama saja melarang orang melakukan riset.

Menurutnya, dua hal itu sama walaupun berbeda keperluan.

"Masa media tidak boleh investigasi, sama saja itu dengan melarang orang riset, ya kan cuma ini keperluan media, yang satu keperluan ilmu pengetahuan, teknologi. Oleh sebab itu, harus kita protes, harus kita protes, masa media tidak boleh investigasi," ujarnya.

Mahfud menilai saat ini konsep hukum politik di Indonesia semakin tidak jelas dan tidak utuh. Sehingga, pesanan-pesanan terhadap produk Undang-Undang (UU) yang bergulir hanya kepada yang teknis.

Padahal, kata dia, jika ingin politik hukum membaik seharusnya ada semacam sinkronisasi dari UU Penyiaran.

Artinya, kehadiran UU Penyiaran harus bisa saling mendukung dengan UU Pers, UU Pidana, bukan dipetik berdasar kepentingan saja.

"Kembali, bagaimana political will kita, atau lebih tinggi lagi moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara, atau kalau lebih tinggi lagi kalau orang beriman, bagaimana kita beragama, menggunakan agama itu untuk kebaikan, bernegara dan berbangsa," kata Mahfud.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut DPR bakal berkonsultasi dengan pers perihal ramai kritik atas usulan pasal larangan hasil jurnalisme investigasi di RUU Penyiaran

Ia mengaku DPR bakal berkonsultasi dengan pers agar usulan klausul itu bisa berjalan dengan baik.

"Ya mungkin kita akan konsultasi dengan kawan-kawan bagaimana caranya supaya semua bisa berjalan dengan baik, haknya tetap jalan, tetapi impact-nya juga kemudian bisa diminimalisir," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5).

(yoa/gil)

https://www.cnnindonesia.com/nasiona...h-investigasi.

dewan pers menolak ekras RUU ini...
simsol...Avatar border
simsol... memberi reputasi
1
234
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan