Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations, ASEAN) ke-43 (keempat puluh tiga) yang dilangsungkan di Jakarta, ibukota Indonesia sekaligus ibukota ASEAN, pada tanggal 5-7 September 2023, telah sukses diadakan. Dalam pertemuan tersebut, perbincangan mengenai geopolitik mulai mendominasi forum yang biasanya lebih berfokus pada hubungan ekonomi dan sosial masing-masing negara. Namun, di balik kenyataan forum seperti itu, kita tidak bisa memungkiri bahwa sesungguhnya KTT bernuansa geopolitik untuk ukuran Indo-Pasifik dan Asia Tenggara adalah absurd, tidak realistis, dan tidak merakyat. Namun, sejatinya, hal ini berkaca dari situasi Indo-Pasifik pasca Perang Dunia 2, hal yang sama terjadi dengan penyebab dari ketegangan geopolitik tak terbatas yang menimpa Indo-Pasifik dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, terutama terkait dengan Komunis Tiongkok, Taiwan, Myanmar, Laut China Selatan, dan Korea Utara.
1. Ketegangan Jepang-Partai Komunis China, Taiwan, dan Kepulauan Ryukyu
Quote:
Tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa ketegangan Jepang dan penguasa Republik Rakyat Tiongkok, yaitu Partai Komunis China sebenarnya berpunca dari pasca-Perang Dunia 2, saat Jepang mendapatkan kembali kedaulatannya dari Pihak Sekutu pada tanggal 28 April 1952, yang mengecualikan Iwojima (yang kini berada di bawah administrasi pemerintah Kota Tokyo) dan Kepulauan Ryukyu setidaknya sampai tahun 1968 untuk Iwojima dan 1972 untuk seluruh wilayah Kepulauan Ryukyu (di bawah administrasi Prefektur Okinawa dan Prefektur Kagoshima untuk Kepulauan Amami-Ryukyu), pasca kekalahannya di dalam perang maha dahsyat tersebut, dan kemenangan Partai Komunis China melawan Kuomintang yang menyebabkan seluruh wilayah Mainland China dikuasai oleh pihak Komunis, secara penuh, pada tanggal 7 Desember 1949.
Sebenarnya kalau mau dilihat secara lebih jeli, masyarakat Jepang hari ini terbelah tiga: yaitu golongan pro-Tiongkok dengan alasan kultural dan ekonomi, golongan anti-Tiongkok karena politik, dan golongan anti-Tiongkok karena nasionalisme Jepang modern.
Untuk golongan pertama, golongan ini yang menjadi alasan mengapa Koi Liyuu terpilih sebagai pengisi suara dan idol untuk karakter Tang Ke Ke dalam Love Live Superstar yang juga diproduksi dengan kolaborasi NHK. Selain itu, bilibili yang juga terhubung dengan Sony di Jepang, juga dapat digolongkan dalam golongan yang pertama. 2 contoh kasus ini juga mewakili beberapa keputusan perusahaan industrial Tiongkok maupun Jepang dan perusahaan perdagangan Tiongkok maupun Jepang untuk bekerja sama dalam produksi hingga distribusi. Perusahaan-perusahaan ini, juga termasuk perusahaan-perusahaan perikanan dan para nelayan Jepang yang biasa menjual produk perikanan ke Tiongkok, yang kini disanksi Partai Komunis China akibat dari proyek kolaborasi Pemerintah Jepang dan Kantor Energi Atom Internasional (IAEA, International Atomic Energy Agency) dalam penanganan air olahan bertritium dari air yang digunakan di dalam Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi pasca-Gempa Bumi dan Tsunami 2011, dan kini memilih menjadi oposisi terhadap kebijakan bersama Pemerintah Jepang dan IAEA tersebut. Golongan pertama ini juga menolak total segala bentuk kebijakan antagonis terhadap hubungan diplomatik Jepang dengan Tiongkok.
Golongan yang kedua, adalah golongan anti-Tiongkok karena politik. Golongan ini, masih berhubungan dengan dilema geopolitis di dalam Kepulauan Ryukyu 1972 pasca-pengembalian seluruh wilayah Kepulauan Ryukyu dari Amerika Serikat sebagai perwakilan Pihak Sekutu kepada pihak Pemerintah Jepang (di bawah administrasi Prefektur Okinawa dan Prefektur Kagoshima untuk Kepulauan Amami-Ryukyu). Di dalam sejarah, sebenarnya Amerika Serikat sempat memberikan pilihan kepada masyarakat lokal Kepulauan Ryukyu, baik itu etnis Yamato Jepang yang tidak pergi ke Mainland Japan, maupun etnis Ryukyu yang merupakan puak-puak Kerajaan Ryukyu sebagai pribumi Kepulauan Ryukyu (indigenous people of Ryukyu Islands), saat Kepulauan Ryukyu masih di bawah pendudukan Sekutu, khususnya Amerika Serikat pada tahun 1945-1972. Golongan ini juga anti-Tiongkok setelah kekalahan Kuomintang dan Krisis Taiwan pasca-7 Desember 1949. Golongan ini juga menganggap bahwa Partai Komunis China mendukung Korea Utara, termasuk hingga membantu mereka mengembangkan persenjataan nuklir untuk melawan Korea Selatan (Republik Korea), Jepang, dan Amerika Serikat sekaligus.
Golongan yang terakhir, adalah golongan yang minoritas. Golongan ini berhubungan dengan gerakan sayap kanan ekstrim terbaru Jepang yang menggugat proses penyelesaian pelucutan Militerisme Jepang dan Tentara Kekaisaran Jepang, serta pembangunan masyarakat Negara Jepang yang baru dengan Konstitusi Jepang 1947 bersama-sama dengan Amerika Serikat, yang juga disebut sebagai Konstitusi Pasifis Jepang. Golongan ini lebih sedikit dibandingkan golongan-golongan yang lain, dan hanya populer di antara rekishi-otaku (penggemar sejarah yang ekstrim). Golongan ini juga mengungkapkan sikap anti terhadap Amerika Serikat.
Di sisi lain, masyarakat Tiongkok di Mainland China, dipropaganda dan dipaksa untuk bersikap anti-Jepang oleh Partai Komunis China. Cukup terjadi berbagai insiden anti-Jepang, baik itu antar pendukung tim olahraga perwakilan negara-negara, maupun dalam insiden-insiden unjuk rasa terkait dengan Sengketa Kepulauan Diaoyu (menurut China) atau Sengketa Kepulauan Senkaku (menurut Jepang). Hal ini berbeda dengan masyarakat Taiwan yang didorong oleh Kuomintang untuk menormalisasi hubungan masyarakat Tionghoa secara umum, dan hubungan masyarakat Taiwan secara khusus, dengan Jepang, sebab adanya kolaborator-kolaborator Kekaisaran Jepang dan status Taiwan yang juga merupakan bekas teritori dari Kekaisaran Jepang. Ini belum termasuk dukungan publik dari orang-orang Manchu yang masih bersimpati dengan negara Manchukuo yang dianggap 'terlalu prematur' untuk dibubarkan oleh Sekutu, seenaknya.
2. Absurdnya Geopolitik Indonesia Yang Lebih Sulit Menjadi Liberalis dan Menjadi Terlalu Realis Menurut Hubungan Internasional
Quote:
Situasi Geopolitik Indonesia sesungguhnya lebih rumit dari yang kita pikirkan. Setidaknya, ada beberapa poin yang harus dicermati.
Yang pertama, sejarah Republik Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan teritorialnya cukup diwarnai dengan banyak insiden diplomatik dan gejolak geopolitik. Ini yang terjadi ketika Revolusi Sosial Sumatera Timur pada Maret 1946, yang menyebabkan terjadinya inspirasi terhadap pembentukan Malaya pada kerajaan-kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya dan menjadi cikal bakal Malaysia (J. Legge, 1999), maupun hal-hal seperti Perebutan Irian Barat pada dekade 1950-an hingga Perjanjian New York 1962 yang masih berhubungan dengan referendum kontroversial serta situasi di Papua yang masih sulit dipasifiskan oleh Pemerintah Indonesia hingga masa sekarang, atau Aneksasi Timor Timur (yang sekarang menjadi Timor Leste) saat status wilayah tersebut masih berada di bawah kedaulatan negara Portugal (dengan nama Timor Portugis) di dekade 1970-an.
Yang kedua, sejarah Pemerintah Republik Indonesia yang kerap membuat kontroversi di hadapan 'sang polisi dunia' yaitu Amerika Serikat, mulai dari bentuk kolaborasi Soekarno dengan Kekaisaran Jepang di tahun 1943-1945, hingga berkembangnya Komunisme melalui Partai Komunis Indonesia di dekade 1950-an hingga insiden Gerakan 30 September pada tahun 1965. Keberadaan PKI ini juga diduga mempengaruhi Konfrontasi Indonesia-Malaysia, hingga dukungan politik dalam cakupan internasional terhadap Partai Komunis China di masa Mao Tse-tung di saat pertentangan-pertentangan internasional tentang hasil Perang Sipil Tiongkok (perlu diketahui, hingga tanggal 15 November 1971, keterwakilan bangsa Tionghoa secara nasional dalam wujud nation-state masih dipegang oleh Republik Tiongkok yang kini sudah mengungsi ke Taiwan).
Yang ketiga, wilayah kultural Republik Indonesia yang bersinggungan dengan wilayah kultural negara-negara lain, seperti Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau (yang bersinggungan dengan Malaysia dan Singapura), Sangihe dan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara (yang bersinggungan dengan Filipina), serta wilayah Papua di bagian barat (yang bersinggungan dengan Papua Nugini). Ini jarang disadari oleh masyarakat umum, dan mulai disadari saat tragedi semacam Tragedi Pulau Rempang terjadi beberapa hari yang lalu bersamaan dengan Penutupan KTT ASEAN ke-43 di Jakarta!
3. Krisis Myanmar dan Keterlibatan Rusia dan China
Quote:
Laporan ini diketahui oleh media Perancis, Le Monde, dan media Jerman, Deutsche Welle, dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.
Menurut Le Monde, berdasarkan laporan internal Le Monde dan LSM Myanmar Witness, ada pelanggaran yang dilakukan oleh junta militer Myanmar sejak kudeta pada 1 Februari 2021, serta pengiriman senjata dari Rusia dan Tiongkok yang memungkinkan terjadinya serangan mereka.
Menurut Deutsche Welle, 28 perusahaan swasta dan milik negara Rusia telah mentransfer jet tempur dan suku cadang, sistem rudal canggih, drone pengintai dan serang, helikopter serang, dan sistem lainnya ke junta. Sementara itu, 41 perusahaan swasta dan milik negara yang terdaftar di Tiongkok dan Hong Kong memasok berbagai senjata kepada militer di Myanmar. Pengiriman ini mencakup jet latih canggih, pesawat serang ringan, peningkatan tank, dan perbaikan jet tempur Tiongkok. Laporan ini berasal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri, yang juga menyoroti $406 juta senjata dan material terkait yang masuk ke militer Myanmar dari Rusia, $267 juta dari Tiongkok, $254 juta dari Singapura, $51 juta dari India, serta $28 juta dari Thailand. Pada bulan Desember tahun lalu, duta besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, mengatakan Moskow tidak menganggap krisis di Myanmar sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional dan percaya bahwa krisis tersebut tidak boleh ditangani oleh Dewan-Dewan di PBB.
Referensi:
Quote: