Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bmoodyAvatar border
TS
bmoody
Racau Si Aku: Bunga Pengganggu Malam
...
Ketika suatu malam si Aku sedang kesusahan, ia tersusahkan dari keinginannya untuk lelap tertidur. Keinginan sederhana. Namun tubuhnya ketika itu tidak cukup bersahabat dengan keinginannya yang malang. Dalam gundah kedongkolannya, pikirannya yang tak sopan melintas dan meninggalkan asap pekat nan mengelisahkan si Aku. Asap, buah kotoran dari ketidaksopanan itu, berbisik pada tubuhnya; "daginku, tidakah kau pernah merenung dalam dirimu; 'Apa itu Aku? Bagaimana dagingmu bisa teronggok di atas ranjang empuk berbau keringatmu dan ludahmu dan ingusmu dan ceceran mani-mu itu? Bagaimana kau melihat Aku? Di mana kau menempatkan Aku ini, wahai daging anyirku? Bicaralah! Tidakkah kita ini erat? Bukankah kita adalah sahabat?"

Si Aku begitu mual pada pikirannya sendiri, menghardiknya. Mengapa ia hadir dalam waktu yang tidak menyenangkan, lagi dengan ketidaktahusopan-santunannya itu. Sahabat yang buruk! Sungguh keeratan berlebih dan membuat sesak.

Namun dalam kemualan terhadap sahabatnya itu, gerak nuraninya bersekongkol dengan sang sahabat. Ia membujuk tempurung kepalanya untuk menjawab, memberi air pada pikirannya yang sedang kehausan. Kepalanya menuruti hatinya.

Dalam keterbatasan apa yang ia ketahui, alat yang ia punya, si Aku menggali tanah. Mencoba mencari air dalam relung keikhlasan dan kejujurannya.

Si Aku pun tertuntun oleh gerak nuraninya, dan mulai berkata-kata dalam lindung anyir daging tubuhnya. Mengalirlah lirih racaunya kemudian:

Baiklah, aku pikir, Aku hanyalah bagian dari ketidaksengajaan semesta. Mungkin semesta, ketika ia melangkah, kakinya yang gemuk itu terbentur, melemparkan dakinya menjadi seonggok benda aneh yang terus semakin aneh. Begitulah Aku tercipta.

Aku adalah ruh objektif dari hasrat-hasrat primordial dua gumpalan daging yang bersendawa bersama di atas tanah beralaskan tatakan bambu dan isi buah-buah Randu. Begitulah Aku diciptakan.

Tanpa suatu hal tercipta, kupikir, Aku tiada mungkin diciptakan.

Haruskah Aku berterima kasih?

Tapi mengapa Aku harus berterima kasih? Seakan keber-ada-an itu adalah pengejawantahan kehendakku, sehingga rasa syukur ada dalam wilayah: Kewajiban.

Seperti moral si pintar dan bijak: kita harus selalu bersyukur. Tapi Aku adalah si bodoh dan abu-abu.

Bagaimana Aku bisa berkehendak sedang Aku sendiri tidak dalam keber-ada-an?

Keber-ada-anku adalah kehendak dua gumpal daging moyangku, sebelum gumpalan daging anyirku sendiri menggumpal.

Apakah keber-ada-an selalu lebih berharga daripada ketidakber-ada-an?

Kadang Aku berterima kasih, namun terkadang Aku bersumpah serapah.

Kadang Aku manis, namun terkadang rasaku kecut bercampur pahit.

Adakah subjek yang bisa diputuskan dalam kemenjadian, sehingga "Aku" menjadi konsisten dan vakum? Dan Aku menjadi shaleh di satu sisi?

Tapi tunggu, bagaimana ketidakber-ada-an itu ada? Siapa yang dapat memaknai ketidakber-ada-an kalau bukan ia yang ber-ada.

Lalu siapa yang ber-ada yang dapat memberi makna?

Bukankah itu si "Aku" ini? Ya, si Aku. Aku yang tercipta dan diciptakan. Yang aneh dan semakin aneh. Aku inilah yang memuntahkan makna bahkan pada ketidakber-ada-an.

Lalu bagaimana di luar Aku, bagaimana dengan mereka, apakah mereka ada?

Mereka ada karena Aku ber-ada. Bukankah "Mereka" adalah merk yang didesain, dicetak, dan ditempel oleh si "Aku"?

Bahkan Si Aku dapat mencetak dan menempelkan merk "Aku" pada "Mereka", dan berkata; "sungguh dengan tulus hatiku, kau sudah kuanggap seperti diriku sendiri, kau kusayangi seperti diriku sendiri, wahai engkau yang berharga."

Bukankah si Aku adalah pemilik percetakan?

Lebih jauh, adakah realitas itu jika tidak ada Aku yang ber-ada?

Atau Akulah realitas itu?

Tidakkah Akulah realitas itu? Aku yang meracau ini. Aku si aneh. Yang ber-ada, hadir, yang membuat atribut percetakan bagi realitas. Realitas yang untuk Aku itu. Akulah si semakin aneh.

Lagi pula manusia memang aneh. Ketidaktahuan adalah keanehan.

Adakah manusia yang paham secara purna akan manusia? Bahkan manusia pada dirinya sendiri?

Bukankah aneh itu lumrah?

lalu mengapa harus aneh dengan keanehan yang lumrah ini?

Adakah itu yang lumrah dan aneh sekaligus?

Tapi hei! Aku sudah panjang meracau. Ini melelahkan.

Pikiranku, tidakkah kau puas dengan racauan burukku ini? Aku ingin terlelap sahabatku.

Bangunku nanti adalah waktumu juga. Bersahabatlah wahai eratku. Antar Aku terlelap, sehingga ada bangunku lagi esok hari, buatmu.

Tidakkah kita cinta hidup?

Atau hanya kadang-kadang?

...
Begitulah si Aku melewati kegelisahan malamnya, ia lelap tertidur selepas kemualan jengkel yang melelahkan.
Diubah oleh bmoody 22-10-2020 11:36
missdepok.Avatar border
666fapfapAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
740
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan