- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Perbedaan, Bukan Pembedaan. #MelawanDiskriminasi
TS
salman29
Perbedaan, Bukan Pembedaan. #MelawanDiskriminasi
Selamat Datang, dan Selamat Membaca, Gan
Ditunggu tanggapannya
Quote:
Diskrimasi, kata umum yang melekat pada manusia dan berkata kunci pembedaan, pembedaan jelas berbeda dengan perbedaan. Analoginya adalah, terdapat seorang siswa yang suka Matematika dan seorang siswa yang suka Biologi, maka itulah disebut perbedaan. Sedangkan pembedaan adalah saat siswa yang suka Matematika tersebut mendapat materi sebanyak 50% sedangkan siswa yang suka Matematika yang lain mendapat materi sebanyak 100%, dari hal tersebut, terciptalah suatu kata kunci baru bernama ketidakadilan.
Meskipun begitu, perbedaan adalah sebuah kodrat dalam kehidupan, apabila tidak ada perbedaan, maka “roda” dunia tidak pernah berputar, manusia menjadi apatis, dunia menjadi diam karena tidak ada satupun kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh manusia. Karena pada dasarnya saling membutuhkan datangnya dari ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhannya maka dari hal tersebut terciptalah sebutan manusia yaitu mahkluk sosial. Dibandingkan dengan perbedaan, pembedaan datangnya dari nafsu manusia. Tidak ada satupun ajaran agama yang mengajari pembedaan namun semua agama menghargai perbedaan. Pembedaan datang karena perasaan subjektif dari manusia, pembedaan wajar terjadi, karena pada hakikatnya, nafsu manusia adalah sama. Yang membedakannya adalah apakah kita bisa menahan nafsu tersebut menjadi kenormalan ataukah tidak. Contoh sederhana adalah menggeneralisasikan pandangan terhadap suatu kaum yang sudah dikenal secara umum atau yang lebih dikenal dengan stereotip. Pembedaan dalam hal itu, digambarkan dengan orang Padang, yang hampir semua orang berasumsi bahwa mereka mempunyai sifat pelit, kemudian orang Batak digambarkan dengan keras dan teguh, padahal tidak semua orang Padang pelit, dan tidak orang Batak saja yang bisa dikaitkan kekerasan, karena SEMUA orang, dari suku manapun, umur berapapun, sehebat apapun, bisa mempunyai perilaku yang sama dengan apa yang digeneralisasikan.
Namun, perbedaan kultural adalah hal yang wajar di bumi ini. Contohnya adalah apabila di Korea sedang tren K-Pop, dan di Indonesia sedang nge-hitsnya Isyana, maka tidak ada satupun permasalahan yang akan muncul. Sedangkan pembedaan, yang diperhatikan bukanlah kekayaan dalam kebudayaan, tetapi membandingkan antar kultur yang tidak bisa disamakan tolak ukurnya. Faktanya, ada seorang fans menghina penyanyi solo di Indonesia dengan membandingkannya dengan salah satu personil anggota girlband dikarenakan penyanyi solo di Indonesia tidak mahir dalam koreografi di saat ia bernyanyi, dibandingkan dengan soloist Indonesia. Keluwesan dalam berpikir, dan berpikir sebelum berbicara adalah 2 hal yang tepat untuk menyindir secara sarkas fans K-Pop tersebut. Fans tersebut mengambil kesimpulan tanpa menyamakan tolak ukurnya. Soloist dengan anggota girlband bukan merupakan tolak ukur yang sama. Pada kenyataannya, hal tersebut bukan pembedaan, apalagi diskriminasi. Kesimpulan yang bisa diambil adalah, diskriminasi pun harus berada pada satu tolak ukur yang sama, dan apabila telah sama kemudian mendapat perlakuan yang berbeda, maka itulah yang disebut diskriminasi.
Apabila perbedaan dipasangkan dengan toleran, maka pembedaan haruslah dipasangkan dengan objektif, intoleransi mendatangkan pertanyaan “Mengapa harus berbeda?” sedangkan subjektif mendatangkan pertanyaan “Mengapa harus sama?”. Seseorang memandang secara subjektif bukan memandang dari “Dia, kamu, dan orang itu, suka matematika, maka saya akan mengajarkan matematika pada ketiganya dengan sama,” melainkan “Dia, kamu, dan orang itu memang suka matematika, tapi akan lebih malas apabila aku mengajarkan dia matematika tetapi ia tidak bisa memahaminya, lebih baik aku mengajarkan kepada kamu karena kamu adalah anak cerdas,”. Tolak ukurnya sama, sama sama menyukai matematika, tetapi guru tersebut memberi kesan “Mengapa sama? Toh Dia tidak akan mengerti sedangkan kamu akan mengerti, mengapa diberikan materi yang sama?”
Pembedaan atau diskriminasi ini dampak psikologisnya mengerikan, studi menyimpulkan, “Mengalami diskriminasi membuat kita tertekan dan sering juga mempengaruhi kesehatan tingkah laku sebagai hasilnya,” ungkap Lauren McCarl Dutra, peneliti dari University of California, San Francisco.
Mengerikannya, studi sebelumnya pun telah menunjukkan hubungan antara diskriminasi ras dengan tingkat kematian yang tinggi. Studi lainnya juga menunjukkan pengaruh stres kronis dengan kesehatan mental serta fisik.
(baca: http://tabloidnova.com/Kesehatan/Umu...up-Tidak-Sehat)
Contoh kasus diskriminasi yang terjadi yaitu pada warga Aceh Singkil, dimana seluruh media informasi menyebutkan bahwa terdapat pengusiran dari Aceh Singkil karena dianggap rumah ibadahnya tidak memiliki izin, padahal informasinya tidak betul, tidak ada pengusiran yang dilakukan. Menurut Menurut Sekjen Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM), Rozaq Asyhari, diskriminasi informasi ini menjadikan bias, terbukti mereka yang mengungsi pun dapat pulang dengan aman. Diskriminasi informasi ini, menurut dia, berakibat berbeda penanganan dari pemerintah dan aparat keamanan. Ia membandingkan dengan kasus Tolikara yang mendapat perlakuan lebih baik, ketika GIDI sebagai organisasi pemicu konflik diundang di Istana oleh Presiden. Sedangkan kasus Aceh Singkil yang masalah utamanya perizinan rumah ibadah, umat Islam di sana tidak diundang ke Istana untuk penjelasan. Pada dasarnya, semua orang berhak untuk mendapatkan penanganan hukum yang sejajar dan semua orang berada sejajar di ranah hukum dalam hal ini, menurut saya pemerintah lalai dalam menangani kasus tersebut.
Akhir kata, mari kita melawan diskriminasi, Para Pemuda! Karena bukan dibedakan melainkan perbedaan. Perbedaan tidaklah membuat orang-orang menjadi terpecah, bukan pula saling membedakan secara subjektif. Pada akhirnya semua sama, semua sejajar, semua manusia dibuat dari tanah, mengapa harus dibedakan? Tentu terciptaknya Indonesia tanpa diskriminasi akan mendatangkan sebuah berkah bagi negara. Saya yakin orang-orang Indonesia bisa menjadi panutan dunia yang sangat rentan akan diskriminasi, khususnya pada kaum minoritas.
#MelawanDiskriminasi
Salman Rifky
Meskipun begitu, perbedaan adalah sebuah kodrat dalam kehidupan, apabila tidak ada perbedaan, maka “roda” dunia tidak pernah berputar, manusia menjadi apatis, dunia menjadi diam karena tidak ada satupun kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh manusia. Karena pada dasarnya saling membutuhkan datangnya dari ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhannya maka dari hal tersebut terciptalah sebutan manusia yaitu mahkluk sosial. Dibandingkan dengan perbedaan, pembedaan datangnya dari nafsu manusia. Tidak ada satupun ajaran agama yang mengajari pembedaan namun semua agama menghargai perbedaan. Pembedaan datang karena perasaan subjektif dari manusia, pembedaan wajar terjadi, karena pada hakikatnya, nafsu manusia adalah sama. Yang membedakannya adalah apakah kita bisa menahan nafsu tersebut menjadi kenormalan ataukah tidak. Contoh sederhana adalah menggeneralisasikan pandangan terhadap suatu kaum yang sudah dikenal secara umum atau yang lebih dikenal dengan stereotip. Pembedaan dalam hal itu, digambarkan dengan orang Padang, yang hampir semua orang berasumsi bahwa mereka mempunyai sifat pelit, kemudian orang Batak digambarkan dengan keras dan teguh, padahal tidak semua orang Padang pelit, dan tidak orang Batak saja yang bisa dikaitkan kekerasan, karena SEMUA orang, dari suku manapun, umur berapapun, sehebat apapun, bisa mempunyai perilaku yang sama dengan apa yang digeneralisasikan.
Namun, perbedaan kultural adalah hal yang wajar di bumi ini. Contohnya adalah apabila di Korea sedang tren K-Pop, dan di Indonesia sedang nge-hitsnya Isyana, maka tidak ada satupun permasalahan yang akan muncul. Sedangkan pembedaan, yang diperhatikan bukanlah kekayaan dalam kebudayaan, tetapi membandingkan antar kultur yang tidak bisa disamakan tolak ukurnya. Faktanya, ada seorang fans menghina penyanyi solo di Indonesia dengan membandingkannya dengan salah satu personil anggota girlband dikarenakan penyanyi solo di Indonesia tidak mahir dalam koreografi di saat ia bernyanyi, dibandingkan dengan soloist Indonesia. Keluwesan dalam berpikir, dan berpikir sebelum berbicara adalah 2 hal yang tepat untuk menyindir secara sarkas fans K-Pop tersebut. Fans tersebut mengambil kesimpulan tanpa menyamakan tolak ukurnya. Soloist dengan anggota girlband bukan merupakan tolak ukur yang sama. Pada kenyataannya, hal tersebut bukan pembedaan, apalagi diskriminasi. Kesimpulan yang bisa diambil adalah, diskriminasi pun harus berada pada satu tolak ukur yang sama, dan apabila telah sama kemudian mendapat perlakuan yang berbeda, maka itulah yang disebut diskriminasi.
Apabila perbedaan dipasangkan dengan toleran, maka pembedaan haruslah dipasangkan dengan objektif, intoleransi mendatangkan pertanyaan “Mengapa harus berbeda?” sedangkan subjektif mendatangkan pertanyaan “Mengapa harus sama?”. Seseorang memandang secara subjektif bukan memandang dari “Dia, kamu, dan orang itu, suka matematika, maka saya akan mengajarkan matematika pada ketiganya dengan sama,” melainkan “Dia, kamu, dan orang itu memang suka matematika, tapi akan lebih malas apabila aku mengajarkan dia matematika tetapi ia tidak bisa memahaminya, lebih baik aku mengajarkan kepada kamu karena kamu adalah anak cerdas,”. Tolak ukurnya sama, sama sama menyukai matematika, tetapi guru tersebut memberi kesan “Mengapa sama? Toh Dia tidak akan mengerti sedangkan kamu akan mengerti, mengapa diberikan materi yang sama?”
Pembedaan atau diskriminasi ini dampak psikologisnya mengerikan, studi menyimpulkan, “Mengalami diskriminasi membuat kita tertekan dan sering juga mempengaruhi kesehatan tingkah laku sebagai hasilnya,” ungkap Lauren McCarl Dutra, peneliti dari University of California, San Francisco.
Mengerikannya, studi sebelumnya pun telah menunjukkan hubungan antara diskriminasi ras dengan tingkat kematian yang tinggi. Studi lainnya juga menunjukkan pengaruh stres kronis dengan kesehatan mental serta fisik.
(baca: http://tabloidnova.com/Kesehatan/Umu...up-Tidak-Sehat)
Contoh kasus diskriminasi yang terjadi yaitu pada warga Aceh Singkil, dimana seluruh media informasi menyebutkan bahwa terdapat pengusiran dari Aceh Singkil karena dianggap rumah ibadahnya tidak memiliki izin, padahal informasinya tidak betul, tidak ada pengusiran yang dilakukan. Menurut Menurut Sekjen Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM), Rozaq Asyhari, diskriminasi informasi ini menjadikan bias, terbukti mereka yang mengungsi pun dapat pulang dengan aman. Diskriminasi informasi ini, menurut dia, berakibat berbeda penanganan dari pemerintah dan aparat keamanan. Ia membandingkan dengan kasus Tolikara yang mendapat perlakuan lebih baik, ketika GIDI sebagai organisasi pemicu konflik diundang di Istana oleh Presiden. Sedangkan kasus Aceh Singkil yang masalah utamanya perizinan rumah ibadah, umat Islam di sana tidak diundang ke Istana untuk penjelasan. Pada dasarnya, semua orang berhak untuk mendapatkan penanganan hukum yang sejajar dan semua orang berada sejajar di ranah hukum dalam hal ini, menurut saya pemerintah lalai dalam menangani kasus tersebut.
Akhir kata, mari kita melawan diskriminasi, Para Pemuda! Karena bukan dibedakan melainkan perbedaan. Perbedaan tidaklah membuat orang-orang menjadi terpecah, bukan pula saling membedakan secara subjektif. Pada akhirnya semua sama, semua sejajar, semua manusia dibuat dari tanah, mengapa harus dibedakan? Tentu terciptaknya Indonesia tanpa diskriminasi akan mendatangkan sebuah berkah bagi negara. Saya yakin orang-orang Indonesia bisa menjadi panutan dunia yang sangat rentan akan diskriminasi, khususnya pada kaum minoritas.
#MelawanDiskriminasi
Salman Rifky
Ditunggu tanggapannya
0
1.6K
Kutip
7
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan