- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[Karnaval Karya] Kisah2 Pendek Mengagumkan
TS
ctcpuccat
[Karnaval Karya] Kisah2 Pendek Mengagumkan
Sebuah Cerpen : Pertanyaan Di Benak Lyra
Cerita Part 1
Cerita Part 2
Cerita Part 3
Cerita Part 4 (Ending)
Lyra menatap langit senja yang kuning menawan, bertanya-tanya dalam hati tentang arti dari keberadaannya di dunia ini. Lyra menghembuskan nafas, lalu kembali masuk ke dalam gubuk mungilnya, menghentikan sejenak perenungannya. Ia membuat segelas teh manis hangat untuk ibunya tercinta. Ibunya sebentar lagi akan pulang dari kerjanya, beliau pasti akan sangat lelah. Ditaruhnya teh manis itu di meja di depan sebuah bangku kusam, bangku bersantai khusus ibunya. Ia agak tersentak begitu mendengar suara pintu di buka.
“Gue pulang, mana teh gue?” Ibunya merangsek masuk, terlihat sempoyongan dan sangat lelah. Baju seksinya tak dapat menyembunyikan umurnya yang makin menua. Ketika melihat segelas teh, wanita paruh baya itu langsung menyeruputnya tak sabar.
“Bu, ajarin Wika bikin cerita!” Gadis kecil itu menghampiri ibunya dan menyodorkan sebuah buku tulis. Ialah adik Lyra satu-satunya, kini masih SD di sekolah gratis.
“Noh sama kakaklu aja!” Dengan malas ibunya mengoper tugas ke Lyra.
Lyra dengan pesimis menatap buku tulis itu. Terlihat sebait tulisan yang begitu rapi, pasti guru Wika yang menulisnya. Namun di pandangan Lyra tulisan itu teracak-acak, tak terdefinisi artinya. Ia tahu mana a, b hingga z, tapi jika huruf-huruf itu sudah berbaris, berderet membentuk kata atau kalimat, otaknya tak dapat merepresentasikan maknanya. Lyra menggeleng lemas.
“Ah bego lu!” Ibunya menoyor kepala Lyra dengan kesal. “Buat apa lu susah-susah gue gedein. Lu bukannya banggain gue malah jadi aib. Lagian susah banget sih lu gue gugurin dulu. Sekarang buat apa lu hidup?” Wanita berpakaian seksi itu terus menghujat Lyra. Kata-kata itu memberi sabetan di hati Lyra, membuat air matanya mengalir. “Dasar anak bego. Bingung gue, kenapa gue harus punya anak kayak loe.”
Malam mengambil alih langit, menguasainya dengan berjuta bintang memaku. Nyanyian jangkrik sahut menyahut bergema, terdengar hingga ke dalam gubuk mungil Lyra. Saat semua sudah terlelap tidur, ia masih menangis, teringat kenangan buruknya di masa lalu. Saat ia dikucilkan di SD karena tak pernah mampu menulis dan membaca. Saat ibunya dengan penuh rasa malu menghadiri panggilan gurunya karena kelainannya itu. Saat akhirnya ibunya merasa tak ada gunanya menyekolahkannya.
Lyra menyibak selimutnya, sebelum ditinggalkannya ranjang kumalnya ia melirik dan mencium kening ibunya yang tidur di sebelahnya penuh kasih. Ia keluar untuk memandang bintang, berharap dapat menenangkan hatinya.
Hatinya memang sakit mendengar cacian ibunya setiap hari. Tapi demi Tuhan, bukan itu yang Lyra permasalahkan. Ia justru merasa bersalah pada ibunya, menyesali diri yang terlanjur terlahir bodoh dan mengecewakan ibunya.
Seandainya bisa, ia ingin membuat ibunya tersenyum bangga terhadapnya, membuktikan bahwa usaha ibunya membesarkannya tidak sia-sia. Sekarang yang terjadi sebaliknya, ibunya malah tampak menyesal melahirkannya. Sekarang pertanyaan itu kembali muncul di benaknya, mengapa ia terlahir kedunia? Mengapa Tuhan tak membiarkannya mati ketika ibunya berusaha menggugurkannya?
Lanjutan :
Surya begitu terik menyorot bumi, tubuh kecil Wika berlari semangat menuju gubuknya. Di tangannya terlihat buku tulis usang yang diperlihatkan kemarin. Begitu melihat ibu dan kakaknya di rumah, ia langsung memperlihatkan sebuah halaman kepada keduanya.
“Bu, kak, aku dapet nilai sepuluh! Kata bu guru ceritaku paling bagus.” Pamer Wika bangga.
Ibunya yang awalnya asyik masyuk memoles muka, segera mengamati buku itu. “Anak ibu memang pinter!” Spontan Ibu memeluk Wika penuh kasih dan rasa bangga yang membuncah. “Wika nanti gedenya pasti jadi orang sukses. Wika pasti bisa banggain ibu, merubah hidup kita jadi lebih enak. Ya kan Wika? Wika kan pinter!” Wanita paruh baya itu memotivasi dengan optimis. “Nggak kayak kakaklu.” Lalu ibu melirik sinis Lyra. “Minta ajarin noh dari adiklu!” Sindirnya tajam.
Ibunya kembali menatap Wika penuh sayang. “Wika, ibu berangkat manggung dulu ya. Nanti sepulang dangdutan, ibu janji deh bawain bakpau kesukaan Wika.” Janji ibunya itu membuat Wika kecil sumringah dan girang tak terkira.
Lyra yang dari awal sudah merasa iri dengan pelukan kasih ibunya terhadap adiknya, makin tersakiti. Ia tidak pernah dipeluk mesra, dianggap berharga dan dibangga-banggakan seperti adiknya. Ia bahkan tidak pernah dijanjikan hadiah berupa makanan kesukaannya seperti yang ibunya janjikan pada Wika. Ia selalu dipersalahkan. Lalu kembali pertanyaan itu muncul di benaknya. Mengapa Tuhan membiarkannya hidup hingga kini? Apa tujuannya ia dibiarkan hidup di dunia?
Lyra menikmati hembusan angin pagi, duduk menunggu seseorang di rerumputan hijau, dinaungi oleh gumulan awan tebal gemuk diatasnya.
“Kamu sudah disini?” Seorang pemuda mendekatinya, umurnya tidak jauh berbeda dari Lyra.
“Aku nggak sabar lanjutin pelajaran yang kemarin!” Lyra menoleh dan gembira menyadari pemuda itu membawa barang-barang yang disukainya. Kanvas berukuran sedang, seperangkat cat minyak, kuas, dan lain-lain.
“Kamu memang berbakat. Tapi yang lebih mengagumkan semangat kamu, itu lebih penting.” Pemuda itu memasang tatakan kanvas dan tempat duduk lipat yang dibawanya. “Oke, sekarang mau melukis apa?”
“Taman.” Jawab Lyra antusias. “Kalau aku bisa membangunkan rumah untuk ibuku suatu hari nanti, maka aku akan buat tamannya seperti bayanganku ini. Taman yang berlimpah bunga dan tanaman-tanaman indah bagai dinegeri peri.”
Pemuda itu tersenyum. “Silakan mulai.” Ia mempersilakan Lyra duduk di bangkunya. Lyra mulai mencari warna yang ia suka dan menorehkannya di kanvas, merubah putihnya menjadi bertabur warna. Dan seperti biasa, hasilnya selalu mengundang decak kagum pemuda itu. Padahal pemuda itu mahasiswa seni di sebuah universitas yang juga berbasis seni, namun ia merasa kalah dengan kreatifitas Lyra. Ia masih perlu pengajar untuk dapat mengajarkannya melukis dengan indah, tetapi Lyra bagai mempunyai bakat alam. Meski Lyra tidak pernah mendapat pengajaran formal dari siapapun, namun ia bisa melukis dengan penuh estetika dan bernilai artistik tinggi.
Pemuda itu merasa beruntung bertemu Lyra, rasanya bagai menemukan gumpalan batu permata indah yang tersisih diantara batu-batu kerikil hitam.
Awal perkenalan mereka bermula ketika pemuda itu melukis di lapangan ini, mencari inspirasi untuk tugas rutinnya melukis. Saat asyik melukis datang seorang gadis, Lyra, memperhatikannya bekerja.
“Ini apa?” Tanya Lyra menunjuk kanvas yang lebih kecil tercecer di rerumputan.
“Itu kanvas, untuk melukis.” Sahut pemuda itu cuek, masih berkonsentrasi dengan lukisannya.
“Kok nggak dipakai?” Lyra kembali bertanya.
“Kanvas itu terlalu kecil buatku. Aku nggak perlu.” Pemuda itu menjawab, menunjukkan kanvas besar yang sedang dikerjakannya.
“Boleh aku pakai?” Lyra meminta izin, disambut anggukan malas dari pemuda tersebut. Dengan modal cat minyak pinjaman, ia mulai melukiskan imajinasinya di kanvas itu. Seselesainya Lyra, pemuda itu tercengang melihat karya indahnya.
Pemuda itu terbangun dari kenangannya, menyadari Lyra sudah merampungkan lukisannya. Tergambar suasana sebuah taman artistik dengan air mancur klasik dan berbagai tanaman bunga mengitarinya.
“Kamu nggak pulang? Apa nggak ditunggu di rumah?” Pemuda itu memperlihatkan Lyra jam tangannya, membuat Lyra terbelalak, tersadar akan waktu.
Kaskuser smuanya, makasih ya yg udh mau mampir. Diharapkan dukungannya, rate atau komen lah gitu...sukur2 cendol...
Itu juga kalo kalian ngerasa karya ini bagus.
Terima kasih atas perhatiannya.
"Karya yang saya posting disini adalah karya saya sendiri: Siti Khodijah Lubis, tidak melanggar hak cipta pihak manapun dan diperbolehkan untuk dipublikasikan di Forum KASKUS"
Quote:
Cerita Part 1
Cerita Part 2
Cerita Part 3
Cerita Part 4 (Ending)
Quote:
Lyra menatap langit senja yang kuning menawan, bertanya-tanya dalam hati tentang arti dari keberadaannya di dunia ini. Lyra menghembuskan nafas, lalu kembali masuk ke dalam gubuk mungilnya, menghentikan sejenak perenungannya. Ia membuat segelas teh manis hangat untuk ibunya tercinta. Ibunya sebentar lagi akan pulang dari kerjanya, beliau pasti akan sangat lelah. Ditaruhnya teh manis itu di meja di depan sebuah bangku kusam, bangku bersantai khusus ibunya. Ia agak tersentak begitu mendengar suara pintu di buka.
“Gue pulang, mana teh gue?” Ibunya merangsek masuk, terlihat sempoyongan dan sangat lelah. Baju seksinya tak dapat menyembunyikan umurnya yang makin menua. Ketika melihat segelas teh, wanita paruh baya itu langsung menyeruputnya tak sabar.
“Bu, ajarin Wika bikin cerita!” Gadis kecil itu menghampiri ibunya dan menyodorkan sebuah buku tulis. Ialah adik Lyra satu-satunya, kini masih SD di sekolah gratis.
“Noh sama kakaklu aja!” Dengan malas ibunya mengoper tugas ke Lyra.
Lyra dengan pesimis menatap buku tulis itu. Terlihat sebait tulisan yang begitu rapi, pasti guru Wika yang menulisnya. Namun di pandangan Lyra tulisan itu teracak-acak, tak terdefinisi artinya. Ia tahu mana a, b hingga z, tapi jika huruf-huruf itu sudah berbaris, berderet membentuk kata atau kalimat, otaknya tak dapat merepresentasikan maknanya. Lyra menggeleng lemas.
“Ah bego lu!” Ibunya menoyor kepala Lyra dengan kesal. “Buat apa lu susah-susah gue gedein. Lu bukannya banggain gue malah jadi aib. Lagian susah banget sih lu gue gugurin dulu. Sekarang buat apa lu hidup?” Wanita berpakaian seksi itu terus menghujat Lyra. Kata-kata itu memberi sabetan di hati Lyra, membuat air matanya mengalir. “Dasar anak bego. Bingung gue, kenapa gue harus punya anak kayak loe.”
Malam mengambil alih langit, menguasainya dengan berjuta bintang memaku. Nyanyian jangkrik sahut menyahut bergema, terdengar hingga ke dalam gubuk mungil Lyra. Saat semua sudah terlelap tidur, ia masih menangis, teringat kenangan buruknya di masa lalu. Saat ia dikucilkan di SD karena tak pernah mampu menulis dan membaca. Saat ibunya dengan penuh rasa malu menghadiri panggilan gurunya karena kelainannya itu. Saat akhirnya ibunya merasa tak ada gunanya menyekolahkannya.
Lyra menyibak selimutnya, sebelum ditinggalkannya ranjang kumalnya ia melirik dan mencium kening ibunya yang tidur di sebelahnya penuh kasih. Ia keluar untuk memandang bintang, berharap dapat menenangkan hatinya.
Hatinya memang sakit mendengar cacian ibunya setiap hari. Tapi demi Tuhan, bukan itu yang Lyra permasalahkan. Ia justru merasa bersalah pada ibunya, menyesali diri yang terlanjur terlahir bodoh dan mengecewakan ibunya.
Seandainya bisa, ia ingin membuat ibunya tersenyum bangga terhadapnya, membuktikan bahwa usaha ibunya membesarkannya tidak sia-sia. Sekarang yang terjadi sebaliknya, ibunya malah tampak menyesal melahirkannya. Sekarang pertanyaan itu kembali muncul di benaknya, mengapa ia terlahir kedunia? Mengapa Tuhan tak membiarkannya mati ketika ibunya berusaha menggugurkannya?
Lanjutan :
Spoiler for Part 1:
Surya begitu terik menyorot bumi, tubuh kecil Wika berlari semangat menuju gubuknya. Di tangannya terlihat buku tulis usang yang diperlihatkan kemarin. Begitu melihat ibu dan kakaknya di rumah, ia langsung memperlihatkan sebuah halaman kepada keduanya.
“Bu, kak, aku dapet nilai sepuluh! Kata bu guru ceritaku paling bagus.” Pamer Wika bangga.
Ibunya yang awalnya asyik masyuk memoles muka, segera mengamati buku itu. “Anak ibu memang pinter!” Spontan Ibu memeluk Wika penuh kasih dan rasa bangga yang membuncah. “Wika nanti gedenya pasti jadi orang sukses. Wika pasti bisa banggain ibu, merubah hidup kita jadi lebih enak. Ya kan Wika? Wika kan pinter!” Wanita paruh baya itu memotivasi dengan optimis. “Nggak kayak kakaklu.” Lalu ibu melirik sinis Lyra. “Minta ajarin noh dari adiklu!” Sindirnya tajam.
Ibunya kembali menatap Wika penuh sayang. “Wika, ibu berangkat manggung dulu ya. Nanti sepulang dangdutan, ibu janji deh bawain bakpau kesukaan Wika.” Janji ibunya itu membuat Wika kecil sumringah dan girang tak terkira.
Lyra yang dari awal sudah merasa iri dengan pelukan kasih ibunya terhadap adiknya, makin tersakiti. Ia tidak pernah dipeluk mesra, dianggap berharga dan dibangga-banggakan seperti adiknya. Ia bahkan tidak pernah dijanjikan hadiah berupa makanan kesukaannya seperti yang ibunya janjikan pada Wika. Ia selalu dipersalahkan. Lalu kembali pertanyaan itu muncul di benaknya. Mengapa Tuhan membiarkannya hidup hingga kini? Apa tujuannya ia dibiarkan hidup di dunia?
Lyra menikmati hembusan angin pagi, duduk menunggu seseorang di rerumputan hijau, dinaungi oleh gumulan awan tebal gemuk diatasnya.
“Kamu sudah disini?” Seorang pemuda mendekatinya, umurnya tidak jauh berbeda dari Lyra.
“Aku nggak sabar lanjutin pelajaran yang kemarin!” Lyra menoleh dan gembira menyadari pemuda itu membawa barang-barang yang disukainya. Kanvas berukuran sedang, seperangkat cat minyak, kuas, dan lain-lain.
“Kamu memang berbakat. Tapi yang lebih mengagumkan semangat kamu, itu lebih penting.” Pemuda itu memasang tatakan kanvas dan tempat duduk lipat yang dibawanya. “Oke, sekarang mau melukis apa?”
“Taman.” Jawab Lyra antusias. “Kalau aku bisa membangunkan rumah untuk ibuku suatu hari nanti, maka aku akan buat tamannya seperti bayanganku ini. Taman yang berlimpah bunga dan tanaman-tanaman indah bagai dinegeri peri.”
Pemuda itu tersenyum. “Silakan mulai.” Ia mempersilakan Lyra duduk di bangkunya. Lyra mulai mencari warna yang ia suka dan menorehkannya di kanvas, merubah putihnya menjadi bertabur warna. Dan seperti biasa, hasilnya selalu mengundang decak kagum pemuda itu. Padahal pemuda itu mahasiswa seni di sebuah universitas yang juga berbasis seni, namun ia merasa kalah dengan kreatifitas Lyra. Ia masih perlu pengajar untuk dapat mengajarkannya melukis dengan indah, tetapi Lyra bagai mempunyai bakat alam. Meski Lyra tidak pernah mendapat pengajaran formal dari siapapun, namun ia bisa melukis dengan penuh estetika dan bernilai artistik tinggi.
Pemuda itu merasa beruntung bertemu Lyra, rasanya bagai menemukan gumpalan batu permata indah yang tersisih diantara batu-batu kerikil hitam.
Awal perkenalan mereka bermula ketika pemuda itu melukis di lapangan ini, mencari inspirasi untuk tugas rutinnya melukis. Saat asyik melukis datang seorang gadis, Lyra, memperhatikannya bekerja.
“Ini apa?” Tanya Lyra menunjuk kanvas yang lebih kecil tercecer di rerumputan.
“Itu kanvas, untuk melukis.” Sahut pemuda itu cuek, masih berkonsentrasi dengan lukisannya.
“Kok nggak dipakai?” Lyra kembali bertanya.
“Kanvas itu terlalu kecil buatku. Aku nggak perlu.” Pemuda itu menjawab, menunjukkan kanvas besar yang sedang dikerjakannya.
“Boleh aku pakai?” Lyra meminta izin, disambut anggukan malas dari pemuda tersebut. Dengan modal cat minyak pinjaman, ia mulai melukiskan imajinasinya di kanvas itu. Seselesainya Lyra, pemuda itu tercengang melihat karya indahnya.
Pemuda itu terbangun dari kenangannya, menyadari Lyra sudah merampungkan lukisannya. Tergambar suasana sebuah taman artistik dengan air mancur klasik dan berbagai tanaman bunga mengitarinya.
“Kamu nggak pulang? Apa nggak ditunggu di rumah?” Pemuda itu memperlihatkan Lyra jam tangannya, membuat Lyra terbelalak, tersadar akan waktu.
Kaskuser smuanya, makasih ya yg udh mau mampir. Diharapkan dukungannya, rate atau komen lah gitu...sukur2 cendol...
Itu juga kalo kalian ngerasa karya ini bagus.
Terima kasih atas perhatiannya.
"Karya yang saya posting disini adalah karya saya sendiri: Siti Khodijah Lubis, tidak melanggar hak cipta pihak manapun dan diperbolehkan untuk dipublikasikan di Forum KASKUS"
Diubah oleh ctcpuccat 07-09-2013 19:02
0
4K
Kutip
25
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan