gan.jingiAvatar border
TS
gan.jingi
Apa hubungan antara sumpah pemuda 1928 dengan musik rock di Indonesia?
Sebelumnya saya minta maaf gan, kalo emoticon-Salah Kamar apalagi emoticon-Blue Repost

Disini saya hanya share gan, setelah membaca sebuah artikel yang (saya anggap) menarik. Mohon bimbingan dan pencerahan Sesepuh Forsex semua emoticon-I Love Indonesia (S)




Tadinya saya pikir tak ada hubungan langsung antara keduanya. Paling-paling ada hubungan "tidak langsung"  yang dalam konteks berteori-teori atau speculative thinking, biasanya tak jauh dari bermakna "mengada-ada" atau "dihubung-hubungkan".

Tahu-tahu saya mendapat naskah buku kecil Keith Foulcher yang akan diterbitkan oleh Komunitas Bambu (Kobam). Buku itu diterbitkan dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda tahun 2000, mengulas  apalagi?  makna dan peran sumpah pemuda 1928 bagi kebangsaan Indonesia dari masa ke masa. Di dalamnya saya menemukan bahwa secara faktual pernah terjadi persinggungan antara sumpah pemuda 1928 tersebut dengan musik rock di Indonesia.

Bahkan pada mulanya, tanggal 28 Oktober dirayakan bukan untuk memperingati Sumpah Pemuda, tapi untuk merayakan sebuah peristiwa musikal yang penting bagi bangsa kita: lahirnya lagu Indonesia Raya.
Tentang lagu itu, yang secara sistematis disakralkan oleh negara dan bangsa kita selama Orla dan Orba, Van Der Plas melaporkan: "dengan melodi yang berbau Eropa dan pengulangan kalimat yang tidak punya gaya, adalah ringkasan degenerasi atas selera yang baik, juga secara politis tidak berbahaya".

Mungkin benar bahwa secara musikal, Indonesia Raya bukanlah karya terbaik. Pada dekade 1990-an, misalnya, sebagai eulogia atas bangsa, Indonesia Raya kalah menggetarkan dibanding Kebyar-kebyar dari Gombloh. (Sampai-sampai ada yang mengusulkan untuk mengganti lagu kebangsaan kita dengan karya Gombloh tersebut). Atau coba dengar betapa syahdu lagu Jangan Menangis Indonesia dari Kang Harry Roesli (si Akang saja sampai menangis terus kalau menyanyikan lagu ini  sebelum cengengesan lagi nyanyi lagu lain). Lagu-lagu dari Kusbini, C. Simandjuntak, Ismail Marzuki juga barangkali lebih ciamik secara musikal daripada lagu kebangsaan kita itu.

Memang nilai Indonesia Raya adalah pada bobot historisnya. Wage Rudolf Supratman yang sakit-sakitan membawakan lagu itu pertama kali di akhir Kerapatan Besar Pemuda Indonesia 1928, dengan biola diiring gitar. Begitu selesai, seluruh peserta kongres menyambut dengan gempita, meminta Wage menyanyikannya dengan syair. Wage kemudian menyanyi sambil diiring gitar. "Indonesia" masih dilafalkan "Indones" dalam lagu itu.

Van Der Plas telah meremehkan konteks kelahiran dan diperdengarkannya lagu tersebut. Bayangkan suasana emosional dalam kongres tersebut: untuk pertama kalinya sebuah kesepakatan resmi (dan bersifat publik) dibuat untuk menciptakan sebuah imagined community baru, yang bukan komunitas tradisional-lokal muasal kelahiran para peserta; juga bukan komunitas rekaan Belanda yang jadi kenyataan waktu itu; tapi sesuatu yang lain: Indonesia. Dan baru sepakat demikian, sebuah lagu/himne pemujaan akan bangsa yang hendak dibayangkan itu telah tercipta!

Nilai historis itulah yang kemudian dieksploitasi oleh jagoan simbol semasa revolusi, Soekarno. Pada tahun 1949  21 tahun setelah Sumpah Pemuda 1928  Soekarno sebagai presiden kita yang pertama menghadapi masalah khas negara baru: mendapat pengakuan dari luar dan memapankan integrasi di dalam. Soekarno membuat perayaan di istana kepresidenan di Yogya untuk memperingati lagu kebangsaan tersebut, dan menjadikannya momen untuk menghidupkan integrasi bangsa. Dalam perayaan itu Soekarno memperingatkan setiap anggota militer untuk tak memperhatikan kepentingan pribadi dan kedaerahan demi kepentingan bangsa.

Dalam tahun-tahun selanjutnya, tanggal 28 Oktober selalu dijadikan Soekarno (dibantu Mohammad Yamin hingga pertengahan 1950-an; dan PKI hingga tahun 1960-an) momen untuk menciptakan simbol-simbol kebangsaan, simbol-simbol sebuah komunitas bersama yang dibayangkan. Pada tahun 1953, untuk pertamakali ada yang mengaitkan perayaan 28 Oktober dengan Sumpah Pemuda 1928. Koran PKI, Harian Rakyat, memuat refleksi "Sumber Inspirasi jang Tak Kundjung Kering (Menjambut Seperempat Abad Indonesia Raya)" dari Njoto  pimpinan PKI yang juga musikus ulung (dikenal biasa main musik dengan Bubi Chen dan Bing Slamet di tahun 1960-an). Dalam artikel Njoto itulah disebut-sebut kongres pemuda 1928. Yamin (seorang sejarahwan sekaligus pelaku sejarah yang menyusun resolusi kongres pemuda 1928) menghidupkan kembali nilai Sumpah Pemuda 1928 itu pada tahun 1954. Pada tahun 1955, tanggal 28 Oktober telah dirayakan besar-besaran sebagai peringatan Sumpah Pemuda.

Setelah kemenangan atas pemberontakan PRRI-Permesta, Soekarno mengenalkan sebuah tema politik identitas baru dalam perayaan Sumpah Pemuda 1958, yaitu seruan untuk kembali kepada kepribadian sendiri _ sesuatu yang menurut Foulcher adalah asing dalam kongres 1928 sendiri. Pada tahun 1959, seruan itu makin keras dan makin spesifik. Dan musik rock pun dibidik. Dalam pidato perayaan di tahun 1959, Soekarno mengasosiasikan Sumpah Pemuda dengan identitas "Indonesia". Di hadapan massa di Surabaya, ia bahkan menyerukan "perintah" untuk  kembali pada kebudayaannya sendiri, kembali pada kepribadiannya sendiri. Itu menjadi tanda bahwa para penyelenggara negara diarahkan untuk melawan "kebudajaan asing yang gila-gilaan". Ia menyerukan masyarakat untuk menolak bentuk-bentuk yang "tidak lazim" dari kebudayaan Barat, dan secara khusus mengkhawatirkan musik bend Indonesia yang menggunakan nama-nama Inggris dan "bertahan dalam kebodohan ciri musik Elvis Presley yang 'ngak ngik ngok'."

Hingga tahun 1960-an, kita tahu, pelecehan atas musik Barat yang ngak ngik ngok dipertahankan, bahkan memakan korban dipenjaranya Koes Ploes. Mendengarkan lagu-lagu Beatles atau rock 'n roll pada umumnya adalah terlarang, dianggap sebagai dekadensi serta bertentangan dengan semangat revolusi. Pada pidato tahun 1959 itu, Soekarno juga mengoposisikan musik ngak ngik ngok dengan karya musik dari "Beethoven, Bach, Schubert dan bahkan Shostakovitch". Soekarno dengan gamblang menyatakan bahwa kebudayaan "asli" dapat diakomodasikan dengan budaya Barat yang "tinggi".

Di sini kita bisa memetik hikmah rangkaian peristiwa seputar perayaan Sumpah Pemuda di atas sehubungan dengan perkembangan musik (populer) nasional kita. Hikmah itu berupa beberapa pertanyaan mendasar seputar perkembangan musik (populer) nasional kita.

(Saya menyelipkan kata "populer", di atas untuk mencirikan sebutan sekarang bagi musik ngak ngik ngok yang dimusuhi Soekarno. Elvis dan The Beatles pada akhirnya menginspirasi musik baru (berbeda dengan musik klasik atau tradisional Barat) yang dikonsumsi secara massal dan diproduksi secara industrial, baik di Barat maupun di Indonesia. Jenis musik itu, oleh Dieter Mack, disebut sebagai "musik populer"  entah itu beraliran rock, blues, pop, jazz, dangdut dan lain-lain.)

Pertanyaan awal tentu saja mengenai pengertian "musik (populer) nasional" itu  bagaimana definisinya, apakah ciri-ciri formalnya (apa yang membedakaannya dengan jenis "musik nasional" dari khasanah kebudayaan daerah macam, misalnya, gending atau degung Sunda), dan bagaimana perkembangannya. Tapi barangkali pertanyaan-pertanyaan formalistis demikian lebih merupakan masalah-masalah akademis.

Mungkin yang lebih menarik adalah pertanyaan seputar, katakanlah, masalah politik identitas sehubungan dengan musik (populer) nasional itu. Masalah politik identitas itu layak dilekatkan pada perkembangan musik ini karena bagaimanapun musik adalah bagian yang nyaris sehari-hari dari proyek "kebudayaan nasional Indonesia" yang tak kunjung jelas maknanya itu. Apalagi jika dalam perkembangannya, musik ngak ngik ngok yang dulu dianggap musuh budaya nasional, kini malah telah berkembang pesat sebagai salah satu wilayah besar "musik Indonesia".

Jelasnya, ada pertanyaan-pertanyaan reflektif berikut:
Pertama, apakah (atau adakah) "musik Indonesia"? Hal ini penting untuk dijawab dalam rangka sebuah studi kasus proyek "kebudayaan nasional". Dengan kata lain, pertanyaan tadi bernaung di bawah pertanyaan yang lebih besar: apakah kita memiliki "kebudayaan nasional"? Dalam kasus musik, mungkin sekali telusur sejarah musik modern di Indonesia dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Tapi pertanyaan ini saya kira punya tekanan pada soal "pengaruh asing" terhadap kebudayaan/musik kita.

Kedua, bagaimana mengakomodir musik-musik daerah dalam proyek musik Indonesia tersebut? Dalam sejarahnya  sejak lahirnya hingga era reformasi ini, Sumpah Pemuda seringkali terkait dengan ketegangan-ketegangan antara yang nasional dengan yang lokal. Cukup layak kita menelaah bagaimana ketegangan itu terefleksikan juga dalam musik kontemporer Indonesia. Apalagi dalam dekade 1990-an sepertinya pengaruh etnis jadi tren dalam musik kita.

Dan kenyataannya adalah musik ngak ngik ngok telah jadi keseharian kita, jangan-jangan telah jadi bagian identitas kita..
Diubah oleh gan.jingi 05-02-2013 06:25
0
2.7K
5
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan