TS
4Rtistic
[Orific] Animus
Halo para penghuni fanstuff
izinkan nubi ini meng-share karyanya
masih chapter 0 sih, masih cari-cari referensi dulu soalnya hehe
Genre : Drama, Supernatural, Romance
enjoy
ditunggu kripik pedasnya
izinkan nubi ini meng-share karyanya
masih chapter 0 sih, masih cari-cari referensi dulu soalnya hehe
Genre : Drama, Supernatural, Romance
enjoy
ditunggu kripik pedasnya
Spoiler for chapter 0:
Putih, putih, dan putih. Hanya itu yang bisa kulihat saat aku menoleh ke segala arah. Tidak peduli aku melihat ke atas, bawah, kiri, kanan, bahkan berputar-putar pun gambaran yang kudapatkan melalui mataku ini hanyalah warna putih. Tidak ada warna pelangi seperti yang terdapat dalam lagu anak ‘Pelangi’.
Tunggu. Jangankan warna, aku tidak bisa melihat adanya kehidupan disini. Tidak ada manusia, hewan, ataupun gedung-gedung tempat berinteraksi. Dimana aku?
Ah, ini pasti hanya mimpi, pikirku.
Kuangkat tangan kananku dan kemudian aku menutup hidungku dengannya, lalu aku mencoba menarik nafas. Ini termasuk cara untuk mengetahui apakah kita ada di dalam mimpi atau tidak. Setidaknya itulah yang kubaca dalam satu buku.
Dan ternyata, aku masih bisa bernafas dengan hidungku masih ditutup. Berarti ini memang mimpi!
Aku majukan tubuhku. Melangkahkan kaki kananku ke depan, dan menolak dataran dengan kuat saat sudah berpijak. Kaki kiriku. Terus. Sampai aku merasakan bahwa aku telah berlari. Meski sebenarnya aku tidak tau apakah aku benar-benar berlari karena tidak ada perubahan dari pemandangan yang aku liat. Masih tetap sama. Putih.
Tidak sampai sepuluh menit, badanku terasa mulai melemah. Perlahan namun pasti aku mulai berhenti. Memegangi lututku sambil mengambil nafas-nafas pendek.
Kenapa aku lelah? Ini kan di dalam mimpi? Hanya pertanyaan itu yang muncul dalam benakku.
Kalau aku tidak bisa menemukan jalan keluar, berarti aku harus membuat jalan keluarku sendiri.
Karena satu-satunya hal yang berwujud disini adalah dataran tempat aku berpijak yang tetap berwarna putih, sepertinya ada satu cara. Aku mengangkat tanganku ke atas, menggenggam sekuat mungkin, dan meninju dataran tempat aku berpijak. Tidak terjadi apa-apa. Aku tinju kembali, tetap tak ada reaksi. Aku ulangi lagi sampai sekitar sepuluh kali, barulah muncul sedikit retakan. Senang karena ada harapan, aku meninju ‘dataran’ itu berkali-kali. Kalau aku sempat menghitung, mungkin ada sekitar puluhan kali. Retakan yang awalnya kecil itu pun akhirnya membesar sehingga aku yakin tinju terakhirku akan berguna. Jadi, aku lakukan lagi dengan sekuat tenaga.
Retakan itu pecah dan membentuk sebuah lubang kecil berdiameter tangan manusia. Senyum bangga tertoreh di mulutku. Tidak lama, karena lubang itu makin lama makin membesar. Seperti kaca yang mulai hancur dan jatuh. Aku berjalan mundur untuk menghindari lubang itu. Sayangnya pembesarannya cepat, jadi aku kemudian berbalik dan mulai berlari. Sesekali aku menengok ke belakang, memastikan aku tidak akan terjatuh karenanya.
Semakin besar lubang itu merambat, suara pecahan kaca juga mulai terdengar semakin keras, menambah rasa panik di dalam diriku. Yang ada di dalam lubang itu hanyalah kegelapan. Pekat. Seakan-akan menghisap semua rasa kebahagiaan dari dalam diri setiap manusia. Jelas aku tidak mau tenggelam di dalamnya. Tapi lubang ini berkata tidak. Dataran putih yang seperti kaca yang aku injak terakhir saat berlari ini mendadak pecah. Badanku terjatuh untuk beberapa saat sampai aku berpegangan pada dataran putih yang belum pecah. Menahan berat dengan hanya satu tangan ini bukanlah hal yang mudah. Mungkin memang sudah jalan ceritanya di mimpi ini, peganganku akhirnya ikut pecah. Menjadikan aku terjun bebas dalam kegelapan ini
BRUK!
Aku akhirnya terjatuh begitu saja dalam keadaan terlentang. Tulang punggung ini terasa panas seketika. Ah, kegelapan. Tak ayal banyak orang yang tidak menyukainya. Untunglah rasa panas ini tergantikan oleh indahnya langit malam. Dihiasi oleh jutaan sinar bintang yang tergantung. Diterangi cahaya semu bulan.
Eh? Langit malam?
Aku bangkit. Dan mendapati bahwa aku berada di lapangan dengan ukiran-ukiran garis di tanahnya. Terdapat juga dua ring basket di dua sisi lapangan, kanan dan kiriku. Di belakang terdapat tembok setinggi sekitar 2 meter, dan diatasnya pagar. Sepertinya itu merupakan pembatas. Karena di sisi luar adalah jalan raya.
Di depanku, ng, sebuah gedung. Lebih tepatnya susuran tembok, dengan jendela besar berteralis besi. Jika ada lapangan basketnya, berarti ini mungkin sebuah halaman sekolah. Entahlah. Aku sendiri bingung. Ada sesuatu yang jarang aku lihat di sekolah. Tiga orang pemuda yang babak belur, yang semua tangannya terborgol ke atas di setiap jendela. Ada apa ini?
“Sudah puas dengan tidurmu?”
Dengan sigap aku menoleh ke arah suara itu. Suara lelaki yang berpostur cukup besar. Otot-otot kekar terlihat dari cetakan tangannya. Tipe orang yang memang cocok menjadi bos. Berkata begitu saja tidak sambil melihatku. Malah menatap tajam ke arah tiga pemuda itu
“Siapa kau? Apa yang terjadi disini?” Aku bertanya padanya dengan sedikit gugup.
“Sudah, jangan banyak bicara” Katanya sembari tangannya merogoh saku belakang celanaya, lalu menyodorkan pisau kepadaku.
“Maksudnya apa?”
Kepalanya menoleh padaku. “Sesuai perjanjian, kan? Aku yang membawa mereka kemari, dan bagianmu adalah membunuh mereka bertiga.”
“Perjanjian apa? Aku tidak mengerti maksudmu!”
“Oh, jadi kamu lebih suka kalau orang itu yang mati?”
Deg. Meskipun aku tidak bisa mengingat siapa, aku langsung merasakan ketakutan saat lelaki ini mengatakan ‘orang itu’. Aku tidak mau kalau ‘orang itu’ mati. Pokoknya tidak mau. Dengan bergemetar aku mengambil pisau dari tangan lelaki ini, kemudian aku berjalan ke arah pemuda terborgol yang di tengah. Aku mengacungkan pisau ke arahnya. Aku masih berpikir apakah layak aku membunuh manusia untuk nyawa manusia yang lain?
“Hei, apa kau yakin?” Kata pemuda itu, lirih.
“Yang jelas, aku tidak mau ‘orang itu’ mati.”
“Kalau memang dia begitu berharga, jagalah dia baik-baik. Jangan sampai kau menganggap sesuatu itu berharga saat sesuatu itu sudah tak ada. Terima kasih untuk semuanya. Mungkin mereka juga berpikiran sama denganku.” Pemuda itu mengisyaratkan kepalanya kepada kedua pemuda di sebelahnya. Kemudian pemuda itu menutup matanya. Seakan sudah siap terhadap apa yang akan terjadi dengannya.
Getaran dalam tubuhku mulai terasa kencang setelah mendengar kata-kata pemuda ini. Ada sesuatu dalam hubungan aku dan ketiga pemuda ini. Siapa sebenarnya mereka? Haruskah aku membunuh mereka?
“Cepat! Bunuh Mereka!” teriak lelaki kekar itu dari belakangku
Bagaimana ini? Apa yang harus ku perbuat?
“Cepat!” lelaki itu membentak. Panik, aku pun menusuk pemuda di depanku tepat di perutnya.
“Aaargh!”
Perutku tiba-tiba sakit seperti tertusuk. Darah merah segar mengalir deras dari tubuhku.
“Kau...” Aku menggeram kepada pemuda itu.
Tubuh pemuda itu perlahan berubah menjadi asap hitam. Menguap hilang ke udara. Tak sendirian, kedua pemuda yang lain juga mengalami hal yang sama. Gedungnya. Tanah tempat aku berpijak. Semuanya berasap.
“Hei, bagaimana i....” Kalimatku tak selesai saat aku mencoba melihat lelaki kekar itu. Percuma, dia juga seperti pemuda itu.
Lambat laun, semua yang ada disini akhirnya menjadi hitam. Menjadi hamparan gelap yang membutakan. Kembali menjadi ruang hampa keputus-asaan yang kusebut dengan, kegelapan.
Tunggu. Jangankan warna, aku tidak bisa melihat adanya kehidupan disini. Tidak ada manusia, hewan, ataupun gedung-gedung tempat berinteraksi. Dimana aku?
Ah, ini pasti hanya mimpi, pikirku.
Kuangkat tangan kananku dan kemudian aku menutup hidungku dengannya, lalu aku mencoba menarik nafas. Ini termasuk cara untuk mengetahui apakah kita ada di dalam mimpi atau tidak. Setidaknya itulah yang kubaca dalam satu buku.
Dan ternyata, aku masih bisa bernafas dengan hidungku masih ditutup. Berarti ini memang mimpi!
Aku majukan tubuhku. Melangkahkan kaki kananku ke depan, dan menolak dataran dengan kuat saat sudah berpijak. Kaki kiriku. Terus. Sampai aku merasakan bahwa aku telah berlari. Meski sebenarnya aku tidak tau apakah aku benar-benar berlari karena tidak ada perubahan dari pemandangan yang aku liat. Masih tetap sama. Putih.
Tidak sampai sepuluh menit, badanku terasa mulai melemah. Perlahan namun pasti aku mulai berhenti. Memegangi lututku sambil mengambil nafas-nafas pendek.
Kenapa aku lelah? Ini kan di dalam mimpi? Hanya pertanyaan itu yang muncul dalam benakku.
Kalau aku tidak bisa menemukan jalan keluar, berarti aku harus membuat jalan keluarku sendiri.
Karena satu-satunya hal yang berwujud disini adalah dataran tempat aku berpijak yang tetap berwarna putih, sepertinya ada satu cara. Aku mengangkat tanganku ke atas, menggenggam sekuat mungkin, dan meninju dataran tempat aku berpijak. Tidak terjadi apa-apa. Aku tinju kembali, tetap tak ada reaksi. Aku ulangi lagi sampai sekitar sepuluh kali, barulah muncul sedikit retakan. Senang karena ada harapan, aku meninju ‘dataran’ itu berkali-kali. Kalau aku sempat menghitung, mungkin ada sekitar puluhan kali. Retakan yang awalnya kecil itu pun akhirnya membesar sehingga aku yakin tinju terakhirku akan berguna. Jadi, aku lakukan lagi dengan sekuat tenaga.
Retakan itu pecah dan membentuk sebuah lubang kecil berdiameter tangan manusia. Senyum bangga tertoreh di mulutku. Tidak lama, karena lubang itu makin lama makin membesar. Seperti kaca yang mulai hancur dan jatuh. Aku berjalan mundur untuk menghindari lubang itu. Sayangnya pembesarannya cepat, jadi aku kemudian berbalik dan mulai berlari. Sesekali aku menengok ke belakang, memastikan aku tidak akan terjatuh karenanya.
Semakin besar lubang itu merambat, suara pecahan kaca juga mulai terdengar semakin keras, menambah rasa panik di dalam diriku. Yang ada di dalam lubang itu hanyalah kegelapan. Pekat. Seakan-akan menghisap semua rasa kebahagiaan dari dalam diri setiap manusia. Jelas aku tidak mau tenggelam di dalamnya. Tapi lubang ini berkata tidak. Dataran putih yang seperti kaca yang aku injak terakhir saat berlari ini mendadak pecah. Badanku terjatuh untuk beberapa saat sampai aku berpegangan pada dataran putih yang belum pecah. Menahan berat dengan hanya satu tangan ini bukanlah hal yang mudah. Mungkin memang sudah jalan ceritanya di mimpi ini, peganganku akhirnya ikut pecah. Menjadikan aku terjun bebas dalam kegelapan ini
***
BRUK!
Aku akhirnya terjatuh begitu saja dalam keadaan terlentang. Tulang punggung ini terasa panas seketika. Ah, kegelapan. Tak ayal banyak orang yang tidak menyukainya. Untunglah rasa panas ini tergantikan oleh indahnya langit malam. Dihiasi oleh jutaan sinar bintang yang tergantung. Diterangi cahaya semu bulan.
Eh? Langit malam?
Aku bangkit. Dan mendapati bahwa aku berada di lapangan dengan ukiran-ukiran garis di tanahnya. Terdapat juga dua ring basket di dua sisi lapangan, kanan dan kiriku. Di belakang terdapat tembok setinggi sekitar 2 meter, dan diatasnya pagar. Sepertinya itu merupakan pembatas. Karena di sisi luar adalah jalan raya.
Di depanku, ng, sebuah gedung. Lebih tepatnya susuran tembok, dengan jendela besar berteralis besi. Jika ada lapangan basketnya, berarti ini mungkin sebuah halaman sekolah. Entahlah. Aku sendiri bingung. Ada sesuatu yang jarang aku lihat di sekolah. Tiga orang pemuda yang babak belur, yang semua tangannya terborgol ke atas di setiap jendela. Ada apa ini?
“Sudah puas dengan tidurmu?”
Dengan sigap aku menoleh ke arah suara itu. Suara lelaki yang berpostur cukup besar. Otot-otot kekar terlihat dari cetakan tangannya. Tipe orang yang memang cocok menjadi bos. Berkata begitu saja tidak sambil melihatku. Malah menatap tajam ke arah tiga pemuda itu
“Siapa kau? Apa yang terjadi disini?” Aku bertanya padanya dengan sedikit gugup.
“Sudah, jangan banyak bicara” Katanya sembari tangannya merogoh saku belakang celanaya, lalu menyodorkan pisau kepadaku.
“Maksudnya apa?”
Kepalanya menoleh padaku. “Sesuai perjanjian, kan? Aku yang membawa mereka kemari, dan bagianmu adalah membunuh mereka bertiga.”
“Perjanjian apa? Aku tidak mengerti maksudmu!”
“Oh, jadi kamu lebih suka kalau orang itu yang mati?”
Deg. Meskipun aku tidak bisa mengingat siapa, aku langsung merasakan ketakutan saat lelaki ini mengatakan ‘orang itu’. Aku tidak mau kalau ‘orang itu’ mati. Pokoknya tidak mau. Dengan bergemetar aku mengambil pisau dari tangan lelaki ini, kemudian aku berjalan ke arah pemuda terborgol yang di tengah. Aku mengacungkan pisau ke arahnya. Aku masih berpikir apakah layak aku membunuh manusia untuk nyawa manusia yang lain?
“Hei, apa kau yakin?” Kata pemuda itu, lirih.
“Yang jelas, aku tidak mau ‘orang itu’ mati.”
“Kalau memang dia begitu berharga, jagalah dia baik-baik. Jangan sampai kau menganggap sesuatu itu berharga saat sesuatu itu sudah tak ada. Terima kasih untuk semuanya. Mungkin mereka juga berpikiran sama denganku.” Pemuda itu mengisyaratkan kepalanya kepada kedua pemuda di sebelahnya. Kemudian pemuda itu menutup matanya. Seakan sudah siap terhadap apa yang akan terjadi dengannya.
Getaran dalam tubuhku mulai terasa kencang setelah mendengar kata-kata pemuda ini. Ada sesuatu dalam hubungan aku dan ketiga pemuda ini. Siapa sebenarnya mereka? Haruskah aku membunuh mereka?
“Cepat! Bunuh Mereka!” teriak lelaki kekar itu dari belakangku
Bagaimana ini? Apa yang harus ku perbuat?
“Cepat!” lelaki itu membentak. Panik, aku pun menusuk pemuda di depanku tepat di perutnya.
“Aaargh!”
Perutku tiba-tiba sakit seperti tertusuk. Darah merah segar mengalir deras dari tubuhku.
“Kau...” Aku menggeram kepada pemuda itu.
Tubuh pemuda itu perlahan berubah menjadi asap hitam. Menguap hilang ke udara. Tak sendirian, kedua pemuda yang lain juga mengalami hal yang sama. Gedungnya. Tanah tempat aku berpijak. Semuanya berasap.
“Hei, bagaimana i....” Kalimatku tak selesai saat aku mencoba melihat lelaki kekar itu. Percuma, dia juga seperti pemuda itu.
Lambat laun, semua yang ada disini akhirnya menjadi hitam. Menjadi hamparan gelap yang membutakan. Kembali menjadi ruang hampa keputus-asaan yang kusebut dengan, kegelapan.
Diubah oleh 4Rtistic 14-02-2013 11:15
0
1.1K
Kutip
4
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan