nasional.chipsAvatar border
TS
nasional.chips
Pegawai Accounting Naik Gaji Paling Akhir?
Dari judul tulisan ini sudah nyebelin banget ya, haha… Tapi benar atau tidak ‘sih’ kalau pegawai accounting prioritas naik gaji paling akhir? Ya. It’s sad but true, ada semacam pandangan umum yang menganggap bahwa pegawai accounting masuk diurutan paling akhir dalam daftar pegawai yang akan naik gaji. Pandangan ini menimbulkan kesenjangan, dimana anak-anak accounting dan keuangan seperti “anak bawang,” seolah-olah hanya jadi “pelengkap derita.”

Memperihatinkan? Yup, anak-anak accounting yang selalu berdedikasi tinggi, disiplin, patuh terhadap SOP, tidak pernah neko-neko, memperoleh perlakuan yang menurut saya sangat tidak layak.

Yang lebih menyakitkan lagi, anak accounting yang tiap hari ngurusin keuangan perusahaan, justru yang paling jauh dari rejeki—badan mereka kurus-kurus, sementara anak-anak di bagian lain pada gendut-gendut, makmur.

Maaf mungkin terdengar sedikit ‘lebay’, tapi pemandangan seperti itulah yang sering saya temukan—nyaris di semua wilayah di Indonesia, terutama di perusahaan-perusahaan di mana bagian accounting adalah species langka, minoritas. Termasuk di beberapa perusahaan di mana saya duduk sebagai financial controller.

Dari daftar gaji beberapa perusahaan yang saya tangani, saya bisa menemukan kesenjangan itu. Sebagai contoh: pegawai se-level supervisor di bagian accounting mungkin gajinya antara Rp 3 – 5 juta per bulan. Sementara supervisor di bagian lain sudah ada di kisaran Rp 5-7 juta. Nyaris dua kali lipatnya, untuk level yang sama.

Bila situasi ini yang saya temukan di malam hari (saat memerika lembar kerja di rumah), besok paginya biasanya saya langsung mengumpulkan semua pegawai di bagian accounting, pajak dan keuangan. Bukan untuk memanas-manasi, ngajak demo atau yang sejenisnya. Itu bukan karakter orang accounting.

Termasuk tulisan inipun saya publikasikan bukan untuk memanas-manasi, apalagi untuk menimbulkan friksi. Samasekali tidak. Melainkan untuk memberikan dorongan moral, memberi motivasi dan coaching yang saya anggap perlu, agar mereka TIDAK menjadi pegawai yang DIPANDANG ‘SEBELAH-MATA’ di dalam perusahaan.

Secara profesional, saya tidak dibenarkan untuk berpikir partial (terkotak-kotak oleh bagian/department). Mestinya saya menempatkan kepentingan bisnis secara kesuluruhan. Tetapi bagaimanapun juga harus saya akui bahwa saya masih memiliki kedekatan emosi dengan mereka. Saya pernah ada di posisi mereka saat ini. Saya pernah mengalami situasi yang kurang lebih sama.

Bagaimana mengubah situasi seperti itu?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kita urai beberapa hal yang membuat kondisi seperti itu bisa terjadi. Kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan awal:

Mengapa ada pandangan seperti di judul tulisan ini?
Mengapa program kenaikan gaji dan bentuk remunerasi lainnya di perusahaan (rata-rata) tidak memihak kepada anak-anak accounting?
Tak ada asap jika tidak ada api. Yang namanya pandangan umum, tak akan terbentuk begitu saja. Ada logika-logika umum, yang bisa dibilang TAK SEPENUHNYA KELIRU, yang terlanjur banyak bercokol dalam mindset publik—terutama mereka-mereka (di luar accounting) yang berpandangan demikian.

Premise dasarnya:

Pertimbangan utama program kenaikan gaji, pemberian bonus, incentive, dan bentuk remumenarsi lainnya, adalah: tingkat profitabilitas perusahaan. Artinya: kenaikan gaji hanya terjadi bila perusahaan dalam kondisi untung (profit)—semakin tinggi untung perusahaan, logikanya, semakin tinggi pula porsi kenaikan gaji (tunjangan, dll) yang bisa diberikan ke pegawai. Masuk akal tidak?

Menurut saya pribadi, IYA, lebih dari sekedar masuk akal—memang demikianlah seharusnya.

Nah, pada saat perusahaan membukukan untung yang tinggi, tentu tida ada masalah samasekali. Tetapi akan menjadi persoalan ketika untung perusahaan kecil. Jikapun ada kenaikan gaji, maka kenaikan itu tidak sampai ke bagian accounting.

Dari hasil ngobrol dengan beberapa orang di luar bagian accounting dan keuangan (ada marketing manager, production manager, research & development manager, human resource manager,) saya menemukan, entah mengapa mereka memiliki pandangan serupa bahwa: mereka memang “PANTAS” berada diurutan pertama dalam program kenaikan gaji. Sementara pegawai accounting “TIDAK PANTAS.”

Misalanya:

1. Menurut kawan di Marketing: “Penjualan tahun ini meningkat 2.5 Milyar dibandingkan tahun lalu, wajar dong kalau staff gue naik gaji, dapat tunjangan plus bonus.”

2. Menurut kawan di Production: “Output produksi kita meningkat 50,000 units dibandingkan tahun lalu, jika di rupiahkan yah sekitar 5 M-an lah. Wajar dong kalau anak-anak produksi naik gaji dan dapat bonus.”

3. Menurut kawan di Research & Development: “Wow! Produk yang kita develop bulan lalu, belum selesai sentuhan akhirnya sudah di pesan oleh department store terbesar di Eropa!”

Lalu di bagian accounting? Prestasi kerja apa yang bisa di-quantitative-kan—di ukur dalam unit atau rupiah? Mungkin nggak jika saya katakan: “Di accounting, jumlah jurnal yang berhasil dirampungkan tahun ini meningkat 10,000 baris dibandingkan tahun lalu”?

Pada perusahaan-perusahaan yang masih menerapkan menejemen konvensional, ada 2 anggapan pokok yang sering dijadikan dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan remunerasi (kenaikan gaji, tunjangan, bonus, incentive, dll), yaitu:

1. FIXED/VARIABLE COST – Terutama di perusahaan-perusahaan non-jasa, staff kantor—termasuk accounting, jika kita bawa ke ‘Laporan Laba-Rugi’ jatuh ke FIXED COST (bukan variable cost.) Sehingga secara natural, manajemen perusahaan yang masih menerapkan ‘pendekatan tradisional’ cenderung menganggap bahwa peranan pegawai di wilayah ini TIDAK MEMPENGARUHI OUTPUT. Kecenderungan anggapan ini membuat profit yang dihasilkan oleh perusahaan jarang dihubungkan dengan aktivitas di accounting. Lebih parahnya lagi, jika terjadi kemerosotan, maka pegawai yang pertama di eliminasi biasanya di wilayah fixed cost ini.

2. RESPONSIBILITY CENTERS – Nyaris semua bagian lain adalah “Revenue Center,” kecuali accounting, IT dan HR yang jika dipandang secara partial adalah “cost center.” Sehingga sampai ‘lebaran monyet’ juga tidak akan pernah memiliki prestasi kerja yang bisa diukur secara kuantitative. Tidak akan pernah ada prestasi kerja yang bisa dikonversikan ke nilai rupiah. Yang ada hanya pengeluaran. Dengan kata lain, bagian accounting bukan bagian yang dianggap ikut berkontribusi terhadap profit yang berhasil dicapai, tetapi dianggap ikut serta jika terjadi kerugian.

Sayang sekali manajemen model seperti ini masih diterapkan di banyak perusahaan, hingga saat ini. Apalagi di perusahaan-perusahaan keluarga (family businesses.) Lebih sayang lagi ketika anggapan seperti ini masih di pakai oleh mereka-mereka yang sudah se-level manajer dan eksekutif.

SAH. Pandangan itu, sah adanya jika berasal dari mereka yang berada di luar accounting. Tetapi akan menjadi sangat berbahaya bila pandangan seperti itu di sepakati (dalam mindset) oleh orang accounting sendiri.

Oke. Stop. Pola pikir seperti itu samasekali tidak produktif dan konstruktif. Bahwa ada pandangan umum seperti itu, IYA. Bahwa aktivitas di bagian accounting tergolong fixed cost, IYA. Bahwa secara tradisional bagian accounting digolongkan ke dalam kelompok cost center, IYA. Semua itu memang FAKTA yang tidak perlu dibantah. Bahwa materi bukan hal yang utama dalam hidup ini, IYA. Bahwa kepuasan kerja jauh lebih berarti ketimbang angka rupiah yang kita terima, IYA. Saya setuju dengan semua itu. Tetapi apa yang benar mestinya kita tempatkan dengan benar. Sesuatu yang salah, jika bisa ya dikoreksi supaya menjadi lebih baik.

Pertanyaan saya: Apa iya demikian? Apa iya mau pasrah menerima kenyataan seperti itu?

JIKA MAU, ada yang bisa dilakukan oleh kawan-kawan di accounting (terutama yang menerima perlakuan seperti itu) untuk membalikan keadaan. Kita ke belakang sedikit, kembali ke ekspresi jumawa yang biasa di lontarkan oleh bagian lain. Misalnya:

1. Di Marketing: “Penjualan tahun ini meningkat 2.5 Milyar dibandingkan tahun lalu, wajar dong kalau staff gue naik gaji, dapat tunjangan plus bonus.”

Pertanyaan yang perlu diajukan: dari peningkatan 2.5 milyar, berapa peningkatan cost yang terjadi sehubungan dengan hal itu? Berapa komisi yang dikeluarkan untuk salesman dan distributor? Berapa bed-debt yang timbul? Berapa banyak cost yang timbul akibat proses penagihan? Sehingga berapa kas yang sungguh-sungguh masuk ke perusahaan?

2. Di Production: “Output produksi kita meningkat 50,000 units dibandingkan tahun lalu, jika di rupiahkan yah sekitar 5 M-an lah. Wajar dong kalau anak-anak produksi naik gaji dan dapat bonus.”

Pertanyaan yang perlu diajukan: dari peningkatan output 50,000 unit, berapa material buangan yang timbul? Berapa barang cacat? Berapa overtime? Berapa tingkat kesusutan mesin? Dan seterusnya. Pada kenyataannya: volume dan speed mudah digenjot jika kualitas diabaikan.

3. Menurut kawan di Research & Development: “Wow! Produk yang kita develop bulan lalu, belum selesai sentuhan akhirnya sudah di pesan oleh department store terbesar di Eropa!”

Pertanyaan yang perlu diajukan: dari product development yang begitu diminati, berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses rekayasa, berapa kali mengalami trial & error, berapa sumberdaya yang dikonsumsi? Dan seterusnya.

Artinya apa?

Suatu entitas bisnis tidak bisa dipandang secara parsial.
Penggolongan fixed dan variable cost hanya relevan untuk keperluan perencanaan dan pengawasan—BUKAN untuk menentukan kebijakan remunerasi.
Responsibility centers hanya relevan untuk pereluan perencanaan dan pengawasan—BUKAN untuk menentukan kebijakan reward.


Quote:


Quote:
0
2.2K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan