“Sini.. duduk sini, Bunda siapin dulu makannya ya”
Setelah selesai makan, aku kembali ke atas, ke kamar dan bersiap-siap.
Melalui jendela kamar, aku mengintip ke arah pagar rumah, menunggu hingga ayah keluar. Nggak seberapa lama, dengan menggunakan baju koko, sarung dan sorban yang melingkar di bahunya, ayah keluar, berjalan menjauh ke arah Mushola yang berada tepat di tengah-tengah komplek perumahan.
Aku berjingkat, keluar dari kamar menuju ke ujung lorong lantai dua. Dimana terdapat sebuah tangga besi yang bisa di naik turunkan. Tangga yang merupakan akses menuju ke atap, yang bisa digunakan untuk mengontrol tandon air atau outdoor AC. Dengan hati-hati, aku meraih ujung besi yang kemudian membuat anak tangga turun kebawah. Aku perlahan naik, membuka slot besi yang digunakan sebagai kunci dan membuka pintu besi yang mengarah ke atas.
Hembusan angin langsung menyambutku begitu aku sudah berada di atap. Sambil menunduk dan berjingkat aku terus berjalan ke area belakang rumah. Tempat dimana terdapat tembok milik tetangga yang menjulang tinggi. Dari sini, aku menyusuri tembok hingga ke ujung kiri bangunan, lalu sedikit melompat turun ke arah balkon rumah tetangga belakang.
Dari balkon belakang rumah tetangga, aku kembali meloncat turun melalui dak penahan outdoor AC hingga ke atap kanopi tetangga sebelahnya. Kemudian merangkak hingga kedepan dan turun melalui sebuah pohon yang berada di depan rumah tersebut.
Jika, ditanya dari mana aku bisa membuat jalur pelarian seperti tadi? Tentu saja dengan riset yang sudah kulakukan beberapa tahun lalu. Saat aku, sempat berniat kabur setelah perselisihan yang melibatkan aku, ayah dan Aris. Namun, pada akhirnya rencana tersebut batal karena Aris keburu meminta maaf dan masalah akhirnya kelar.
Saat hendak pergi, terdengar suara pintu terbuka, suara yang berasal dari rumah yang atap kanopinya baru saja kunaiki. Disusul suara ‘Hush, hush, hush…’ mengira kalau yang di atap barusan adalah kucing.
Aku menutupi kepala dengan hoodie sweater dan berjalan secepat mungkin keluar dari komplek perumahan.
Tempat pertama yang kutuju adalah sebuah agen sembako yang lokasinya nggak begitu jauh dari gerbang perumahan. Agen sembako ini terdapat di salah satu ruko besar, diantara deretan ruko-ruko lainnya yang memanjang hingga ke selatan. Dan semua ruko-ruko ini adalah peninggalan Alm. Kakek. Kini, salah satu agen sembako diwariskan ke ayah, sementara usaha-usaha lain di sebelahnya dikelola oleh adik-adiknya.
Aku membuka hoodie sweater dan masuk ke dalam agen sembako, langsung menuju ke area kasir.
Si karyawan kasir tentu saja langsung mengenaliku. “Eh, kak Tata…” Sapanya.
“Cing Nawan mana?” Tanyaku, merujuk ke salah satu anak buah ayah yang bertanggung jawab akan agen sembako ini.
“Oh Bentar kak” Ia lalu pergi, dan beberapa saat kemudian datang bersama Cing Nawan. Seorang pria berusia akhir 30-an yang selalu tampil dengan peci berwarna merah.
“Kenapa neng?” Tanya Cing Nawan.
“Cing, disuruh ayah ambil duit” Ucapku, berbohong.
“Hah, duit” Respon Cing Nawan penuh keraguan.
Ia lalu meraih ponselnya dan mulai menghubungi Ayah. Yang tentu saja nggak bakal dijawab, karena saat pergi mengaji, ayah selalu mematikan ponselnya.
Yang ku takutkan adalah saat Cing Nawan nanti malah menelpon Bunda. Untuk memastikan hal itu nggak terjadi, aku buru-buru mencegahnya.
“Buruan Cing, ayah udah nungguin di rumah, mau ke pengajian. Ntar aku di omelin…” Ucapku.
Mendapat tekanan seperti itu, Cing Nawan lalu membuka tas pinggang yang dikenakannya. Terlihat gepokan uang dengan pecahan beragam. “Berapa?” Tanyanya.
“3 juta” Jawabku seraya mengangkat tiga jari ke atas.
“Banyak amat neng. Ncing telpon ayah dulu dah, takut salah” Jawab Cing Nawan, masih ragu.
“Yaudah deh, kalo nggak, Ncing aja yang nganterin sendiri ke rumah…” Ucapku, lalu bersiap untuk pergi.
“Tunggu-tunggu, neng…” Cing Nawan memanggilku.
Ia lalu mengeluarkan uang, menghitungnya dan menyerahkannya kepadaku.
Sebelum benar-benar pergi, ia mengajukan sebuah permintaan. “Poto dulu neng, biar sama-sama enak”
Aku tersenyum dan berpose dengan gepokan uang dari Cing Nawan. Mungkin foto tersebut sebentar lagi akan berada di ponsel ayah. Sementara, aku sudah berada di tempat lain, tempat yang nggak bakal diketahui olehnya.
Selepas dari agen, aku langsung naik taksi, menyebutkan sebuah alamat yang terletak di daerah Serpong, Tangerang.
Hampir satu jam berikutnya, aku sudah tiba di depan sebuah rumah dengan kondisi gelap gulita. Berbekal keberanian, aku membuka pagarnya yang nggak terkunci, lalu mendekat ke pintu utama. Tepat di teras, terdapat sepasang kursi kayu dengan sebuah meja kecil di tengahnya. Di atas meja kecil tersebut berdiri tanaman anthurium dengan pot plastik berwarna hitam. Akun mengangkat pot tersebut, dan menemukan sebuah anak kunci tertempel pada bagian bawah pot dengan perekat selotip. Dengan anak kunci tersebut aku membuka pintu dan masuk.
Setelah menyalakan lampu ruangan, aku menatap sekeliling. Terlihat foto Ocha dan orang tuanya berada dalam sebuah frame.
Iya, ini merupakan rumah orang tua Ocha yang sudah tak ditempati, karena saat ini mereka tinggal di luar negeri. Karena enggan hidup sendirian, Ocha akhirnya memilih ngekost dan pulang kesini seminggu sekali, di kala weekend.
Sambil menunggu, aku merokok di ruang makan dengan sekaleng soda dan cemilan yang kutemukan di kulkas.
Nggak seberapa lama terdengar suara pagar terbuka, lalu disusul langkah kaki memasuki rumah dan teriakan khas Ocha yang membahana; “Ta…”
Begitu melihatku duduk di ruang makan, ia lantas berlari dan langsung memberiku pelukan. “Kenapa sih lo, Ta… Kok nggak cerita. Lo emang sakit apa?” Tanyanya seraya mencoba memeriksa tubuhku dengan tangannya. Aku tersenyum dan menjawab; “Aku Gapapa, cha…”
Sisa malam itu, kuhabiskan untuk menceritakan semuanya ke Ocha. Tentang masa laluku, tentang kasus di gudang olahraga dan bahkan tentang Marshall. Saat mendengar ceritaku, sesekali ia menutup mulutnya karena kaget, kadang ia berteriak histeris dan kemudian menangis sesenggukan sambil memelukku.
“Oke kalo gitu, untuk sementara lo tinggal disini dulu” Ucap Ocha.
“...” Aku nggak memberi tanggapan.
“... Besok pas libur, gua anter lo untuk nyari si Marshall itu”
Aku mengangguk.
“Cha, Aku mau minta tolong satu lagi ke kamu…”
“Apa?”
“Besok boleh ambilin kemeja seragam yang ada di kasur di kamar kost?” Pintaku seraya menyerahkan kunci kamar kost kepadanya.
“Hah, buat apa?” Tanyanya.
“Biar aku bisa tidur nyenyak lagi” Jawabku.
Sesuai dengan permintaanku, besoknya Ocha kembali datang. Kali ini dengan membawa sebuah paper bag yang sepertinya berisi pesananku. Sementara aku masih duduk dalam kegelapan, di sofa ruang keluarga sambil menatap kosong ke layar televisi yang entah menayangkan apa. Buku-buku jariku terasa perih karena luka bakar akibat puntung rokok yang tanpa sengaja membakar tanganku. Sejak aku berada disana, ruang keluarga milik Ocha menjadi lembab, gelap, dan pengap.
Tapi, nggak sekalipun Ocha memusingkan hal itu. Yang ia pedulikan hanyalah kondisi mentalku.
“Nih kemeja seragamnya…” Ucap Ocha seraya meletakkan kemeja seragam milik Marshall di sebelah sofa tepat di sebelahku.
Tanpa berpaling, aku meraih kemeja tersebut dan memeluknya. Sementara tatapanku masih ke arah layar televisi.
“Ini HP Baru lo… Gue beli second di mall tadi” Ocha menambahkan, kemudian meletakkan ponsel baru kepadaku.
“Itu gua udah pasang nomor baru, aplikasi chat dan email. Nomer lo udah gua save di gua. Dan nomer gua juga udah gua save ke lo” Ocha menambahkan seraya menggoyangkan ponsel miliknya.
Aku mengangguk pelan, sementara mata ini masih menatap ke arah lain.
Ocha lalu duduk di sebelah, menatap sambil membelai rambutku. Dengan wajah datar, aku menoleh dan balik menatapnya; terlihat Ocha tengah menangis.
Mungkin nggak tega melihat kondisiku saat ini. Yang sudah berhari-hari nggak melakukan apapun, hanya duduk di tempat yang sama dalam kegelapan.
Terakhir, ia mengeluarkan sekotak makanan berlogo resto ala jepang cepat saji; “Makan dulu ya Ta..”
Aku menggeleng.
Ocha lalu menghela nafas panjang.
“Yaudah kalo lo nggak mau makan, besok gua nggak mau nganterin lo nyari Marshall” Ancamnya lalu berdiri dan bersiap pergi sambil membawa kotak makanan yang tadi ia tawarkan.
Mendapat ancaman darinya, aku langsung bangkit dan merebut kotak makan darinya. Kembali ke sofa dan mulai makan. Sementara, Ocha mulai mengumpulkan kaleng soda yang bertebaran di lantai dan sisa bungkus dan puntung rokok di atas meja.
Setelah selesai beres-beres, ia kembali duduk di sebelahku.
“Tidur ya Ta… Biar seger, besok kita cari Marshall” Ocha berusaha membujukku.
Aku turun dari sofa lalu meringkuk di lantai beralas karpet sambil memeluk kemeja milik Marshall dan berusaha untuk tidur.
Besok paginya, aku terbangun masih dengan posisi yang sama; meringkuk di lantai sambil memeluk kemeja seragam milik Marshall. Hanya saja, kini sebuah selimut berada menutupi seluruh tubuh, entah kapan Ocha menyelimutiku semalam.
Dari arah dapur terdengar dentingan alat masak dan aroma harum yang menggugah selera. Aku bangkit, duduk di sofa, meraih bungkusan rokok dan mulai menyulutnya. Kemudian berdiri dan menuju ke ruang makan.
“Makan dulu, terus mandi, siap-siap dandan yang cantik” Ucap Ocha seraya merebut batang rokok dari tanganku kemudian membuangnya ke wastafel. Lalu meletakkan telur mata sapi ke atas piring berisi nasi goreng, dan menggesernya ke arahku.
Sebelum berangkat, Ocha membantuku merias wajah, berusaha menutupi lingkaran hitam di bagian bawah mataku. Namun, ia menyerah. Ia berdiri, meraih kacamata hitam dari sebuah laci dan memasangkannya di wajahku.
“Udah gini aja deh” Gumamnya.
Kami lalu mulai berangkat.
Tujuan pertama kami adalah kedai kopi tempatnya bekerja.
Sementara aku menunggu di mobil di area parkir, Ocha masuk ke dalam kedai. Berusaha mencari informasi melalui rekan kerjanya Marshall. Setelah menunggu cukup lama, Ocha kembali. Kini dengan dua buah gelas plastik yang masing-masing berisi kopi.
“Bad News and good news” Ucapnya begitu masuk ke dalam mobil.
“Apa?” Tanyaku.
“Yang mana dulu?” Tanyanya sambil menyodorkan salah satu gelas plastik berisi kopi ke arahku.
“Bad news dulu” Jawabku, penasaran.
“Marshall ‘dirumahkan’” Jawab Ocha, sambil mengangkat kedua tangan dan dua jarinya ia goyangkan, memberi kode ‘tanda kutip’.
“Hah!?”
“Iya, kata temennya tadi. Ternyata kasus yang lo ceritain kemarin, lumayan gede di sosmed” Ucap Ocha.
“Terus, terus…”
“Si Bos kedai, nggak mau nama baik kedainya buruk. Jadi, si Marshall dirumahkan dulu, sambil nunggu doi nanti bakal ditempatin di cabang kedai lain” Jelas Ocha.
“Terus, good newsnya?” Tagihku.
Sambil tersenyum Ocha lalu mengeluarkan lembaran tisu dari saku celana jeansnya dan membentangkannya di hadapanku. Terlihat sebuah tulisan dan coretan pulpen yang abstrak.
Aku mengernyitkan dahi dan memberi tatapan bingung.
“Alamat rumahnya Marshall” Ucapnya, lalu tertawa.
Mendengar ucapannya barusan, aku buru-buru meletakkan gelas kopi pada cup holder dan memasang sabuk pengaman.
“Ngapain? Turun… Orang rumahnya deket. Naik mobil malah nggak ada parkirannya” Ocha menjelaskan. Sepertinya ia telah mendapat kisi-kisi dari salah satu teman Marshall.
Aku melepas sabuk pengaman dan bersiap keluar.
Menit berikutnya, kami berdua sudah melangkah bersama, menyusuri jalan. Ocha sempat bertanya beberapa kali kepada penduduk sekitar tentang alamat di atas tisu. Berdasar alamat dan petunjuk dari penduduk sekitar, setelah keluar-masuk gang padat penduduk, kami akhirnya tiba di depan sebuah gang super sempit. Gang kecil yang mungkin hanya bisa dilalui satu orang.
Ocha berdiri di depan gang dan menoleh ke arahku. Tatapannya seakan bicara; ‘ini beneran, kita masuk kesini?’
Aku meraih tisu berisi alamat yang sejak tadi berada di tangan Ocha dan masuk lebih dulu ke dalam gang.
Setelah bertanya sekali lagi, akhirnya kami mendapat petunjuk pasti tentang posisi tempat tinggal Marshall. “Nih, neng masuk lewat pager itu, naik keatas, ke lantai tiga, kamarnya nomer dua dari tangga, di sebelah kiri” Ucap seorang ibu setengah baya sambil menunjukkan arah.
“Makasih ya bu” Ucapku kemudian bergegas menuju ke posisi yang ia tunjukkan.
"Tunggu, Ta" Seru Ocha, dan langsung menyusulku. Ia lalu mengeluarkan alat makeup sederhana dari dalam tasnya, dan mulai membetulkan riasan di wajahku. Kemudian diraihnya kacamata hitam yang masih terpasang di wajah. Ia menyeka lensa hitamnya dengan ujung kaos dan memasangkannya kembali.
"Ya paling nggak, lo nggak kucel lah pas ketemu sama dia" Gumamnya.
Aku berpaling dan melanjutkan langkah.
“Pelan-pelan Ta…” Seru Ocha, saat melihatku berlari dan melompati dua anak tangga besi sekaligus. Aku nggak menggubrisnya, malah terus mempercepat langkah.
Dari posisi ku saat ini, terlihat kamar yang sesuai petunjuk, kamar nomer dua dari tangga, di sebelah kiri, terlihat pintu dalam kondisi terbuka dan terdapat sepasang sandal dan sepasang sepatu perempuan disana.
Aku melangkah mendekat, dan berdiri di ambang pintu.
Terlihat seorang perempuan dengan seragam minimarket yang khas tengah duduk sambil memasukkan barang-barang kedalam sebuah plastik berwarna hitam. Begitu menyadari kehadiranku, ia mengernyitkan dahi, menghentikan kegiatannya, berdiri dan mendekat ke arahku.
Saat dilihat dari dekat, barulah aku menyadari kalau perempuan yang berdiri tepat di hadapanku ini adalah sosok perempuan yang berada di latar ponsel milik Marshall. Dan, sungguh, percayalah, perempuan ini cantik luar biasa.
“Marshall-nya kemana?” Tanyaku.
“Lo siapa?” Perempuan itu balik bertanya.
“Kamu siapa?” Aku balik bertanya.
Ocha lalu menyusul, dengan nafas tersengal-sengal, sambil ngedumel sendiri karena kelelahan harus menaiki tangga hingga ke lantai tiga.
“Ada Ta, Marshall-nya?” Tanya Ocha.
Perempuan di hadapanku yang kebetulan mendengar ucapan Ocha lantas pasang tampang jutek luar biasa.
“Elo Tata?” Tanyanya.
“Iya” Jawabku singkat, sambil mencoba membangun kepercayaan diri guna ‘melawan’ perempuan super cantik sepertinya.
Perempuan itu lalu meraih ember dilantai, memindahkan gagang pel, mengangkatnya dan menuangkannya tepat diatas kepalaku.
—