- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
TS
aymawishy
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
Di saat kau merasa hidup sendiri
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Quote:
Hai, aku Anes, nama panggilan dari pemilik akun aymawishy ini. Semasa sekolah, aku tinggal di sebuah Kabupaten di Jawa Timur bagian timur.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Ohya..
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Pokok Isi Cerita
Quote:
#Bagian 1
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
Quote:
#Bagian 2 : Proses Perekrutan Pramugari
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
Quote:
#Bagian 3
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
Quote:
#Bagian 4 : Initial Flight Attendant’s Ground Training
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
Quote:
#Bagian 5 : Flight Training
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
Quote:
#Bagian 6 : Kehidupan Seorang Pramugari
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
Diubah oleh aymawishy 02-02-2024 01:38
snf0989 dan 45 lainnya memberi reputasi
46
59.5K
Kutip
1K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
aymawishy
#286
Part 78 - Hari-hari Bersama Papa
Spoiler for Hari-hari Bersama Papa:
Beberapa jam setelah kedatanganku, Alhamdulillah kondisi Papa makin membaik.
Papa terlihat lebih ceria.
Terlihat lebih bersemangat.
Bahkan Papa juga mau disuapin makan olehku.
Aku sangat optimis Papa akan segera sembuh. Meski dokter spesialis jantung yang menangani Papa mengatakan bahwa keadaan jantung Papa sedang tidak baik-baik saja.
“Mba Anes, setelah kami melakukan pemeriksaan mendalam, jantung Pak Chairil ini ada masalah yang sangat serius. Bisa dibilang kalau jantung Bapak ini bocor. Dan jika dilihat dari tingkat keparahannya, Bapak sudah sejak lama merasakan gejalanya, namun mungkindiabaikan.
Karena tidak ditangani dengan cepat dan tepat, masalah jantung yang bocor ini pun berdampak pada beberapa organ lain, terutama paru-paru yang letaknya dekat dengan jantung. Itulah kenapa Bapak mengalami sesak napas. Karena, oksigen yang tidak mengalir dengan benar.
Selain itu, jantung bocor yang dialami Bapak ini juga berdampak pada pergelangan kaki bagian bawah dan juga di bagian dalam perut. Itulah kenapa kaki Bapak dan bagian perut Bapak mengalami pembengkakan.”
“Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk kesembuhan Papa saya, dok?”
“Kita berusaha sama-sama dengan maksimal ya. Ohya, agar kaki Bapak tidak semakin membengkak, tolong minum air putihnya dibatasi, ya Mba.”
“Baik, dok.”
“Sisanya, kita serahkan pada Allah..”, imbuh dokter.
“Makasih dokter..”, aku tersenyum namun air mataku mengalir begitu saja.
“Makasih ya dok..”, ujar Aa. Aa yang sedari tadi menemaniku mendengarkan penjelasan dokter, mulai berusaha menepuk-nepuk pundakku perlahan ketika mengetahui aku sedang menangis.
“Sabar. Yang kuat ya. Insya Allah Papa bisa sembuh.”, ujarnya kemudian.
“Iyaa.. Ohya, Aa jam berapa mau pulang ke rumah?”, potongku kemudian.
“Papa Aa masih ada rapat katanya. Mungkin setelah Papa rapat, Aa langsung balik ya? Anes gapapa ditinggal sendirian?”
Ohya, karena pekerjaan Papa Aa, Aa dan keluarganya pun menjadi pendatang yang kemungkinan akan menetap di kabupaten tempat aku dilahirkan ini.
“Iya gapapa, Aa. Nanti jam 21.00, adekku kesini kog. Dia juga bakal tidur disini sama aku sama Papa.”
“Hm Alhamdulillah kalau gitu…”
Aku melihat Papa yang kini sudah tertidur pulas selepas shalat isya’.
Aa yang bantuin Papa wudhu’ tadi.
Aa juga yang bantuin Papa ganti pampers.
Ngomongin soal pampers, Papa ga mau kalau dipakein pampers sama aku dan kakakku. Malu katanya.
Siapa yang mengira kalau Aa menawarkan diri untuk melakukannya.
“Ah jangan Aa juga, Papa maluu..”, kata Papa sembari cekikian.
“Gapapa Pa. Biar shalatnya nyaman terus tidurnya bisa pules.”
“Papa juga ga boleh banyak gerak kata dokter. Kalau Papa bolak balik turun dari ranjang hanya untuk ke kamar mandi, nanti bisa makin sesak napas.”
Setelah dirayu-rayu Aa, akhirnya Papa pun mau menurut.
Sekitar jam 21.00 lewat beberapa menit, adekku pun akhirnya datang juga. Bersamaan dengan itu, Aa pamit untuk pulang lebih dulu.
Malam itu, adekku banyak menceritakan keadaan Papa seminggu terakhir yang sama sekali tidak ku ketahui.
Ketika sudah memasuki tengah malam, Adekku pamit untuk tidur duluan sebab besok pagi-pagi dia sudah harus berangkat kerja lagi. Sedang aku lebih memilih shalat sunnah dua rakaat lalu membaca surah yaasiin dan surah-surah lainnya di sebelah ranjang Papa.
Ditengah aku membaca Al-Qur’an, sesekali aku memperhatikan Papa.
Membenarkan tangannya yang suka bergerak semaunya padahal ada jarum infus yang terpasang di pergelangannya.
Terkadang Papa juga suka tiba-tiba melepas selang oksigennya dari hidungnya. Mungkin Papa merasa risih ya?
Disaat aku mulai berhenti sejenak membaca Al-Qur’an, Papa suka kebangun untuk bilang, “jangan berhenti. Terus baca, Nduk..”
Aku pun kembali membaca ayat demi ayat. Yang kemungkinan Papa juga mengikuti bacaanku karena ku lihat Papa mulai komat-kamit. Tak lama kemudian, Papa mulai tertidur lagi.
Begitulah kebiasaanku bersama Papa di setiap malam ketika Papa di rumah sakit.
——
Di hari kedua aku bersama Papa, keadaan Papa menunjukkan perubahan dibandingkan dengan kemarin.
Kali ini keadaannya bukan menjadi lebih baik, tapi lebih ke Papa kembali tidak sadar dan lupa bahwa aku sudah ada disana.
“Anes mana? Belum dateng ya?”, tanyanya. Padahal saat itu aku sedang menyuapi Papa.
“Paa, ini Anes. Anes sudah disini..”, ujarku menggenggam tangannya dan mengusap-ngusap keningnya.
“Iyaa kah? Jangan tinggalin Papa lagi yaa…”, kata Papa kemudian sembari menggenggam tanganku sangat erat.
Tatapan matanya kosong. Membuatku tak bisa menahan tangisanku.
“Iya, Anes ga akan ninggalin Papa yaa. Anes disini.. tapi Papa harus sembuh yaa..”
“Aa mana?”, tanyanya kemudian.
“Kemarin ada Aa. Kog sekarang ga ada?”, tanya Papa yang sepertinya ingatannya mulai kembali lagi.
“Iya, Aa masih di perjalanan. Tunggu yaa, Pa. Bentar lagi Aa nyampe..”
Papa terdiam. Dan mulai meminta es sirup.
“Tapi sama dokter, Papa ga boleh minum es sirup. Minum air putih aja ya?”, tawarku.
“Ga mau, Papa ga boleh minum air putih banyak-banyak. Berarti kalau Papa minum es sirup boleh minum banyak-banyak.”, kali ini Papa seperti anak kecil yang sedang merengek.
“Iyaa maaf ya Pa. Kata dokter, kalau Papa minum airnya kebanyakan, nanti kakinya bisa lebih bengkak..”, ujarku memberitahunya perlahan.
“Kalau minum es sirup, juga bikin kaki Papa bengkak?”, tanya Papa lagi.
“Iya betul. Kan es sirup itu ada airnya di dalamnya.”
“Yaudah deh, Papa minum es sirupnya nunggu Aa aja. Pasti kalau sama Aa, dikasih.”
🥹🥹🥹
“Yaudah sekarang maem dulu ya? Ini tinggal dikit maemnya?”
“Ga mau! Nanti kaki Papa bengkak..”
“Kalau makan ga bikin kaki Papa bengkak. Justru bisa bikin Papa sembuh.”, jawabku lagi dengan tangisanku yang makin menjadi.
“Kog Anes nangis?”, Papa mulai menyadari tangisanku.
“Iya Anes seneng karena Papa makannya tinggal dikit. Diabisin ya maemnya?”
Papa menutup mulutnya rapat-rapat. Lalu terdiam cukup lama. Aku pun mulai meletakkan mangkok berisi bubur ini ke atas nakas.
Setelah lama diam, tiba-tiba Papa bercerita tentang masa kecilku.
“Anes dulu waktu kecil, kalau lagi sakit, pasti nyarinya nyari Papa. Kalau Papa ga ada di deket Anes, Anes nangis-nangis.”
Aku mendengarkan Papa sembari memijat-mijat kakinya.
“Terus, kalau Anes sakit, maunya digendong terus. Kalau ditaruh di kasur, langsung nangis lagi.”
“Iyakah?”, tanyaku pura-pura ga tau.
“Anes juga suka dipuk-pukin punggungnya. Suka diusep-usep gini.”, Papa mulai mempraktekkannya seolah tangannya mengusap-ngusap punggungku.
Disaat itu, tanpa aku sadari, Aa sudah berada di sampingku.
“Kalau Papa, suka ga punggungnya diusep-usep?”, tanya Aa menimpali cerita Papa.
“Sukaaa. Papa mau ya diusep-usep Aa..”, jawab Papa seperti anak kecil kegirangan.
“Iyaaa, aku usep-usep ya. Mau pake minyak kayu putih ga?”
“Ga usah. Tadi udah dikasih minyak telon sama Anes!!”
Aa memastikan apa yang diucapkan Papa benar dengan menatap mataku.
“Iya, tadi Anes udah ‘nyeko-in’ Papa pake air anget, Aa. Cuma belum ganti pampers.”, ujarku kemudian.
“Yaudah kita ganti pampers dulu ya Pa? Abis itu aku usap-usap punggung Papa.”
Papa menurut tanpa membantah sedikitpun.
Disitulah aku melihat ketulusan Aa.
Saat itu, Papaku ini bukan orangtuanya.
Tapi dia mau bersihin kotoran Papa. Setelah ‘bagian itu Papa’ dibersihkan dengan air dan sabun, Aa ‘mengelapnya’ sampai kering dan bersih. Lalu baru dipakaikan pampers barunya.
Melihat apa yang Aa lakukan itu, membuatku sangat terharu dan membuatku yakin kalau dialah ‘orangnya’.
Apalagi, di hari ketiga Papa dirawat, Aa meminta izin padaku, apakah dia boleh memperkenalkan orangtuanya kepada Papa.
Dan tentu saja aku menjawab boleh.
-
Meski Papa Aa dan Papaku baru pertama kali bertemu, namun mereka terlihat asik saat berbincang.
Ketika itu, Papa terlihat sangat bahagia. 🥹🥹
“Nes, foto yuk! Selagi ada Papa Mama Aa.”, ajak Papa.
“Hayuk hayuk boleh!!”, jawab Papa Aa.
Aku, Aa, Mama Aa, Mba Dyah dan Bukpen pun menuruti kemauan Papa. Bahkan, Papa sempat berganti pose sebanyak tiga kali kala itu.
Setelah kami berfoto, tiba-tiba Papa menggenggam tangan Papa Aa.
“Pak, Buk, Aa..”, ucap Papa membuat kami semua mengerumuninya.
Aku segera mengusap-ngusap kening Papa.
“Saya nitip Anes, ya.”, kata Papa setelahnya.
“Kasihan dia ga punya siapa-siapa..”, kali ini Papa yang mengusap-ngusap kepalaku.
😭😭😭
Seketika aku memeluk Papa.
“Papa sehat yaa. Sembuh ya. Katanya mau cepet pulang dari rumah sakit..”, ujarku dengan sesunggukan.
“Iyaa.. besok Papa mau pulang ke rumah ya?”, pintanya.
“Iya, nanti kita coba tanya dokter ya, Papa boleh pulang atau engga.”
——
Hari Keempat
// Titin 10.11 : Say, Papa kamu dirawat di Rumah Sakit mana? //
// Anes 10.12 : Di RS ini say. //
// Titin : Dimananya polres? //
// Anes : Di depan polres say! Tapi kamu lewat pintu samping ya say. Jadi dari lampu merah polres, kamu ke kanan. //
Titin, Ody, Sari, dan Deo kebetulan baru saja liburan ke Bali. Mereka ke Bali melalui perjalanan darat, makanya mereka bisa mampir ke rumah sakit, karena kampung halamanku ini menjadi jalan utama untuk bisa ke Bali.
Aku pun mengajak mereka untuk bertemu dengan Papaku.
“Papa, ini Titin.. Sahabat aku waktu aku di Surabaya. Dia ini nih Pa yang selalu nemenin aku dan selalu ada buat aku.”, aku memperkenalkan Titin pada Papa.
“Alhamdulillah. Makasih yaa sudah baik ke Anes. Makasih juga sudah nyempetin jenguk Om.”, Papa terlihat begitu senang ada sahabatku yang datang menjenguknya.
“Sama-sama Om..”
“Nah kalau mereka ini sahabat-sahabat Titin, Pa. Yang otomatis jadi temenan juga sama aku!”, ujarku lagi.
“Alhamdulillah..”
Setelah aku memperkenalkan Titin dan yang lainnya, Papa meminta mereka untuk duduk di sofa dan makan makanan yang sudah disiapin.
“Kalau mau ngomong, ngomong aja. Jangan bisik-bisik!”, kata Papa kepada kami yang memang sedang berbisik-bisik.
Sekitar tiga jam kemudian, Titin dan yang lainnya pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
Ohya, saat itu, itulah momen pertama aku memperkenalkan Aa pada Titin dan yang lainnya.
Dan aku baru tau kalau Aa itu sesupel itu. Ternyata dia mudah beradaptasi dengan orang baru. Sikapnya itu membuatku merasa nyaman ketika memperkenalkannya kepada teman-teman terdekatku.
“Nes, tidur dulu gih. Kata Bukpen, Anes belum tidur lagi ya?”, tanya Aa.
“Hehehe gapapa, Aa. Anes belum ngantuk. Anes mau ngaji sekalian siap-siap dhuhur dulu ya?”
“Hm yaudah kalau gitu.. tapi abis itu tidur ya?”
“Iya, makasih yaa..”
Dan benar saja, saat aku baru ngaji beberapa ayat, akunya ketiduran dalam posisi duduk di samping ranjang Papa. Padahal adzan dhuhur masih belum berkumandang saat itu.
——
Pada sore hari di hari keempat, dokter melakukan visite ke kamar Papa. Dan menyampaikan bahwa Papa bisa pulang ke rumah besok sore. Tapi dengan syarat, di rumah harus tersedia tabung oksigen untuk bisa Papa gunakan seperti saat di rumah sakit.
Papa terlihat bersemangat mendengar kabar itu. Aku bisa merasakannya.
“Nes, Papa pengen minum jus apel. Boleh?”, tanya Papa kepadaku di saat Papa baru saja selesai shalat isya’.
“Boleh. Tapi ini uda malem. Besok pagi yaa insyaAllah Anes beliin jus apel?”
“Pake es ya?”
“Iyaa pake es. Tapi ga banyak ya esnya?”
“Iyaa..”
“Yaudah Papa tidur yaa..”, perintahku.
“Ohya Nes.. selamat ulang tahun yaa.”
“Dih Papa mah, masih 4 hari lagi ulang tahun Anes!”
“Emang ga boleh kalau Papa ngucapin sekarang?”
“Hmm engga boleh!! Nanti aja saat tanggal 12!”
“Papa ga ssszzzzss..”, suara Papa tiba-tiba tidak terdengar dengan jelas.
Namun aku tak menggubrisnya. Dan meminta Papa untuk segera tidur.
“Makasih ya Pa, udah ucapin ulang tahun ke aku. Papa orang pertama yang ngucapin di tahun ini.”, bisikku di telinga Papa.
Papa tersenyum sembari mengangguk-ngangguk.
Papa terlihat lebih ceria.
Terlihat lebih bersemangat.
Bahkan Papa juga mau disuapin makan olehku.
Aku sangat optimis Papa akan segera sembuh. Meski dokter spesialis jantung yang menangani Papa mengatakan bahwa keadaan jantung Papa sedang tidak baik-baik saja.
“Mba Anes, setelah kami melakukan pemeriksaan mendalam, jantung Pak Chairil ini ada masalah yang sangat serius. Bisa dibilang kalau jantung Bapak ini bocor. Dan jika dilihat dari tingkat keparahannya, Bapak sudah sejak lama merasakan gejalanya, namun mungkindiabaikan.
Karena tidak ditangani dengan cepat dan tepat, masalah jantung yang bocor ini pun berdampak pada beberapa organ lain, terutama paru-paru yang letaknya dekat dengan jantung. Itulah kenapa Bapak mengalami sesak napas. Karena, oksigen yang tidak mengalir dengan benar.
Selain itu, jantung bocor yang dialami Bapak ini juga berdampak pada pergelangan kaki bagian bawah dan juga di bagian dalam perut. Itulah kenapa kaki Bapak dan bagian perut Bapak mengalami pembengkakan.”
“Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk kesembuhan Papa saya, dok?”
“Kita berusaha sama-sama dengan maksimal ya. Ohya, agar kaki Bapak tidak semakin membengkak, tolong minum air putihnya dibatasi, ya Mba.”
“Baik, dok.”
“Sisanya, kita serahkan pada Allah..”, imbuh dokter.
“Makasih dokter..”, aku tersenyum namun air mataku mengalir begitu saja.
“Makasih ya dok..”, ujar Aa. Aa yang sedari tadi menemaniku mendengarkan penjelasan dokter, mulai berusaha menepuk-nepuk pundakku perlahan ketika mengetahui aku sedang menangis.
“Sabar. Yang kuat ya. Insya Allah Papa bisa sembuh.”, ujarnya kemudian.
“Iyaa.. Ohya, Aa jam berapa mau pulang ke rumah?”, potongku kemudian.
“Papa Aa masih ada rapat katanya. Mungkin setelah Papa rapat, Aa langsung balik ya? Anes gapapa ditinggal sendirian?”
Ohya, karena pekerjaan Papa Aa, Aa dan keluarganya pun menjadi pendatang yang kemungkinan akan menetap di kabupaten tempat aku dilahirkan ini.
“Iya gapapa, Aa. Nanti jam 21.00, adekku kesini kog. Dia juga bakal tidur disini sama aku sama Papa.”
“Hm Alhamdulillah kalau gitu…”
Aku melihat Papa yang kini sudah tertidur pulas selepas shalat isya’.
Aa yang bantuin Papa wudhu’ tadi.
Aa juga yang bantuin Papa ganti pampers.
Ngomongin soal pampers, Papa ga mau kalau dipakein pampers sama aku dan kakakku. Malu katanya.
Siapa yang mengira kalau Aa menawarkan diri untuk melakukannya.
“Ah jangan Aa juga, Papa maluu..”, kata Papa sembari cekikian.
“Gapapa Pa. Biar shalatnya nyaman terus tidurnya bisa pules.”
“Papa juga ga boleh banyak gerak kata dokter. Kalau Papa bolak balik turun dari ranjang hanya untuk ke kamar mandi, nanti bisa makin sesak napas.”
Setelah dirayu-rayu Aa, akhirnya Papa pun mau menurut.
Sekitar jam 21.00 lewat beberapa menit, adekku pun akhirnya datang juga. Bersamaan dengan itu, Aa pamit untuk pulang lebih dulu.
Malam itu, adekku banyak menceritakan keadaan Papa seminggu terakhir yang sama sekali tidak ku ketahui.
Ketika sudah memasuki tengah malam, Adekku pamit untuk tidur duluan sebab besok pagi-pagi dia sudah harus berangkat kerja lagi. Sedang aku lebih memilih shalat sunnah dua rakaat lalu membaca surah yaasiin dan surah-surah lainnya di sebelah ranjang Papa.
Ditengah aku membaca Al-Qur’an, sesekali aku memperhatikan Papa.
Membenarkan tangannya yang suka bergerak semaunya padahal ada jarum infus yang terpasang di pergelangannya.
Terkadang Papa juga suka tiba-tiba melepas selang oksigennya dari hidungnya. Mungkin Papa merasa risih ya?
Disaat aku mulai berhenti sejenak membaca Al-Qur’an, Papa suka kebangun untuk bilang, “jangan berhenti. Terus baca, Nduk..”
Aku pun kembali membaca ayat demi ayat. Yang kemungkinan Papa juga mengikuti bacaanku karena ku lihat Papa mulai komat-kamit. Tak lama kemudian, Papa mulai tertidur lagi.
Begitulah kebiasaanku bersama Papa di setiap malam ketika Papa di rumah sakit.
——
Di hari kedua aku bersama Papa, keadaan Papa menunjukkan perubahan dibandingkan dengan kemarin.
Kali ini keadaannya bukan menjadi lebih baik, tapi lebih ke Papa kembali tidak sadar dan lupa bahwa aku sudah ada disana.
“Anes mana? Belum dateng ya?”, tanyanya. Padahal saat itu aku sedang menyuapi Papa.
“Paa, ini Anes. Anes sudah disini..”, ujarku menggenggam tangannya dan mengusap-ngusap keningnya.
“Iyaa kah? Jangan tinggalin Papa lagi yaa…”, kata Papa kemudian sembari menggenggam tanganku sangat erat.
Tatapan matanya kosong. Membuatku tak bisa menahan tangisanku.
“Iya, Anes ga akan ninggalin Papa yaa. Anes disini.. tapi Papa harus sembuh yaa..”
“Aa mana?”, tanyanya kemudian.
“Kemarin ada Aa. Kog sekarang ga ada?”, tanya Papa yang sepertinya ingatannya mulai kembali lagi.
“Iya, Aa masih di perjalanan. Tunggu yaa, Pa. Bentar lagi Aa nyampe..”
Papa terdiam. Dan mulai meminta es sirup.
“Tapi sama dokter, Papa ga boleh minum es sirup. Minum air putih aja ya?”, tawarku.
“Ga mau, Papa ga boleh minum air putih banyak-banyak. Berarti kalau Papa minum es sirup boleh minum banyak-banyak.”, kali ini Papa seperti anak kecil yang sedang merengek.
“Iyaa maaf ya Pa. Kata dokter, kalau Papa minum airnya kebanyakan, nanti kakinya bisa lebih bengkak..”, ujarku memberitahunya perlahan.
“Kalau minum es sirup, juga bikin kaki Papa bengkak?”, tanya Papa lagi.
“Iya betul. Kan es sirup itu ada airnya di dalamnya.”
“Yaudah deh, Papa minum es sirupnya nunggu Aa aja. Pasti kalau sama Aa, dikasih.”
🥹🥹🥹
“Yaudah sekarang maem dulu ya? Ini tinggal dikit maemnya?”
“Ga mau! Nanti kaki Papa bengkak..”
“Kalau makan ga bikin kaki Papa bengkak. Justru bisa bikin Papa sembuh.”, jawabku lagi dengan tangisanku yang makin menjadi.
“Kog Anes nangis?”, Papa mulai menyadari tangisanku.
“Iya Anes seneng karena Papa makannya tinggal dikit. Diabisin ya maemnya?”
Papa menutup mulutnya rapat-rapat. Lalu terdiam cukup lama. Aku pun mulai meletakkan mangkok berisi bubur ini ke atas nakas.
Setelah lama diam, tiba-tiba Papa bercerita tentang masa kecilku.
“Anes dulu waktu kecil, kalau lagi sakit, pasti nyarinya nyari Papa. Kalau Papa ga ada di deket Anes, Anes nangis-nangis.”
Aku mendengarkan Papa sembari memijat-mijat kakinya.
“Terus, kalau Anes sakit, maunya digendong terus. Kalau ditaruh di kasur, langsung nangis lagi.”
“Iyakah?”, tanyaku pura-pura ga tau.
“Anes juga suka dipuk-pukin punggungnya. Suka diusep-usep gini.”, Papa mulai mempraktekkannya seolah tangannya mengusap-ngusap punggungku.
Disaat itu, tanpa aku sadari, Aa sudah berada di sampingku.
“Kalau Papa, suka ga punggungnya diusep-usep?”, tanya Aa menimpali cerita Papa.
“Sukaaa. Papa mau ya diusep-usep Aa..”, jawab Papa seperti anak kecil kegirangan.
“Iyaaa, aku usep-usep ya. Mau pake minyak kayu putih ga?”
“Ga usah. Tadi udah dikasih minyak telon sama Anes!!”
Aa memastikan apa yang diucapkan Papa benar dengan menatap mataku.
“Iya, tadi Anes udah ‘nyeko-in’ Papa pake air anget, Aa. Cuma belum ganti pampers.”, ujarku kemudian.
“Yaudah kita ganti pampers dulu ya Pa? Abis itu aku usap-usap punggung Papa.”
Papa menurut tanpa membantah sedikitpun.
Disitulah aku melihat ketulusan Aa.
Saat itu, Papaku ini bukan orangtuanya.
Tapi dia mau bersihin kotoran Papa. Setelah ‘bagian itu Papa’ dibersihkan dengan air dan sabun, Aa ‘mengelapnya’ sampai kering dan bersih. Lalu baru dipakaikan pampers barunya.
Melihat apa yang Aa lakukan itu, membuatku sangat terharu dan membuatku yakin kalau dialah ‘orangnya’.
Apalagi, di hari ketiga Papa dirawat, Aa meminta izin padaku, apakah dia boleh memperkenalkan orangtuanya kepada Papa.
Dan tentu saja aku menjawab boleh.
-
Meski Papa Aa dan Papaku baru pertama kali bertemu, namun mereka terlihat asik saat berbincang.
Ketika itu, Papa terlihat sangat bahagia. 🥹🥹
“Nes, foto yuk! Selagi ada Papa Mama Aa.”, ajak Papa.
“Hayuk hayuk boleh!!”, jawab Papa Aa.
Aku, Aa, Mama Aa, Mba Dyah dan Bukpen pun menuruti kemauan Papa. Bahkan, Papa sempat berganti pose sebanyak tiga kali kala itu.
Setelah kami berfoto, tiba-tiba Papa menggenggam tangan Papa Aa.
“Pak, Buk, Aa..”, ucap Papa membuat kami semua mengerumuninya.
Aku segera mengusap-ngusap kening Papa.
“Saya nitip Anes, ya.”, kata Papa setelahnya.
“Kasihan dia ga punya siapa-siapa..”, kali ini Papa yang mengusap-ngusap kepalaku.
😭😭😭
Seketika aku memeluk Papa.
“Papa sehat yaa. Sembuh ya. Katanya mau cepet pulang dari rumah sakit..”, ujarku dengan sesunggukan.
“Iyaa.. besok Papa mau pulang ke rumah ya?”, pintanya.
“Iya, nanti kita coba tanya dokter ya, Papa boleh pulang atau engga.”
——
Hari Keempat
// Titin 10.11 : Say, Papa kamu dirawat di Rumah Sakit mana? //
// Anes 10.12 : Di RS ini say. //
// Titin : Dimananya polres? //
// Anes : Di depan polres say! Tapi kamu lewat pintu samping ya say. Jadi dari lampu merah polres, kamu ke kanan. //
Titin, Ody, Sari, dan Deo kebetulan baru saja liburan ke Bali. Mereka ke Bali melalui perjalanan darat, makanya mereka bisa mampir ke rumah sakit, karena kampung halamanku ini menjadi jalan utama untuk bisa ke Bali.
Aku pun mengajak mereka untuk bertemu dengan Papaku.
“Papa, ini Titin.. Sahabat aku waktu aku di Surabaya. Dia ini nih Pa yang selalu nemenin aku dan selalu ada buat aku.”, aku memperkenalkan Titin pada Papa.
“Alhamdulillah. Makasih yaa sudah baik ke Anes. Makasih juga sudah nyempetin jenguk Om.”, Papa terlihat begitu senang ada sahabatku yang datang menjenguknya.
“Sama-sama Om..”
“Nah kalau mereka ini sahabat-sahabat Titin, Pa. Yang otomatis jadi temenan juga sama aku!”, ujarku lagi.
“Alhamdulillah..”
Setelah aku memperkenalkan Titin dan yang lainnya, Papa meminta mereka untuk duduk di sofa dan makan makanan yang sudah disiapin.
“Kalau mau ngomong, ngomong aja. Jangan bisik-bisik!”, kata Papa kepada kami yang memang sedang berbisik-bisik.
Sekitar tiga jam kemudian, Titin dan yang lainnya pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
Ohya, saat itu, itulah momen pertama aku memperkenalkan Aa pada Titin dan yang lainnya.
Dan aku baru tau kalau Aa itu sesupel itu. Ternyata dia mudah beradaptasi dengan orang baru. Sikapnya itu membuatku merasa nyaman ketika memperkenalkannya kepada teman-teman terdekatku.
“Nes, tidur dulu gih. Kata Bukpen, Anes belum tidur lagi ya?”, tanya Aa.
“Hehehe gapapa, Aa. Anes belum ngantuk. Anes mau ngaji sekalian siap-siap dhuhur dulu ya?”
“Hm yaudah kalau gitu.. tapi abis itu tidur ya?”
“Iya, makasih yaa..”
Dan benar saja, saat aku baru ngaji beberapa ayat, akunya ketiduran dalam posisi duduk di samping ranjang Papa. Padahal adzan dhuhur masih belum berkumandang saat itu.
——
Pada sore hari di hari keempat, dokter melakukan visite ke kamar Papa. Dan menyampaikan bahwa Papa bisa pulang ke rumah besok sore. Tapi dengan syarat, di rumah harus tersedia tabung oksigen untuk bisa Papa gunakan seperti saat di rumah sakit.
Papa terlihat bersemangat mendengar kabar itu. Aku bisa merasakannya.
“Nes, Papa pengen minum jus apel. Boleh?”, tanya Papa kepadaku di saat Papa baru saja selesai shalat isya’.
“Boleh. Tapi ini uda malem. Besok pagi yaa insyaAllah Anes beliin jus apel?”
“Pake es ya?”
“Iyaa pake es. Tapi ga banyak ya esnya?”
“Iyaa..”
“Yaudah Papa tidur yaa..”, perintahku.
“Ohya Nes.. selamat ulang tahun yaa.”
“Dih Papa mah, masih 4 hari lagi ulang tahun Anes!”
“Emang ga boleh kalau Papa ngucapin sekarang?”
“Hmm engga boleh!! Nanti aja saat tanggal 12!”
“Papa ga ssszzzzss..”, suara Papa tiba-tiba tidak terdengar dengan jelas.
Namun aku tak menggubrisnya. Dan meminta Papa untuk segera tidur.
“Makasih ya Pa, udah ucapin ulang tahun ke aku. Papa orang pertama yang ngucapin di tahun ini.”, bisikku di telinga Papa.
Papa tersenyum sembari mengangguk-ngangguk.
atikamut dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup