- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
TS
aymawishy
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
Di saat kau merasa hidup sendiri
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Quote:
Hai, aku Anes, nama panggilan dari pemilik akun aymawishy ini. Semasa sekolah, aku tinggal di sebuah Kabupaten di Jawa Timur bagian timur.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Ohya..
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Pokok Isi Cerita
Quote:
#Bagian 1
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
Quote:
#Bagian 2 : Proses Perekrutan Pramugari
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
Quote:
#Bagian 3
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
Quote:
#Bagian 4 : Initial Flight Attendant’s Ground Training
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
Quote:
#Bagian 5 : Flight Training
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
Quote:
#Bagian 6 : Kehidupan Seorang Pramugari
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
Diubah oleh aymawishy 02-02-2024 01:38
snf0989 dan 45 lainnya memberi reputasi
46
59.6K
Kutip
1K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
aymawishy
#279
Part 77 - Turbulensi
Spoiler for Turbulensi:
Selama penerbangan, aku seringkali menghadapi turbulensi kecil maupun turbulensi besar.
Pada awalnya, itu cukup menakutkan.
Namun, setelah terbang lebih dari seribu jam, hal itu sudah membuatku terbiasa, bahkan membuatku hampir tak bereaksi apa-apa.
Berbeda ketika aku sedang menghadapi turbulensi yang terjadi dalam kehidupan.
Aku tak pernah bisa merasa siap karena ia selalu datang dengan tiba-tiba.
// Mba Dyah 09.00 : Nes, kamu dimana? //
// Anes 09.01 : Aku di Manado nih Mba. Mba sehat? Papa sehat? //
// Mba Dyah : Alhamdulillah aku sehat. //
// Anes : Alhamdulillah //
// Mba Dyah : Nes, kamu jangan bilang Papa yaa kalau aku chat kamu.. //
// Anes : Hm? Oke… //
// Mba Dyah : Hmm Nes.. kamu jangan kaget ya.. //
// Mba Dyah : Papa udah seminggu ini sakit, Nes. //
// Mba Dyah : Bahkan Papa udah ga mau makan. Buat jalan juga susah. Papa ga biasanya sakit seperti ini Nes. //
// Mba Dyah : Kalau bisa, kamu pulang ya? //
// Anes : Papa sakit apa Mba? Kog sampe ga bisa jalan? Demam tinggi kah?
// Anes : Kenapa baru ngabarin aku sekarang, Mba? //
// Anes : Aku jadi merasa bersalah karena selama beberapa hari terakhir merasa baik-baik saja padahal Papa lagi sakit //
// Mba Dyah : Iyaa, maaf yaa Nes. Soalnya Papa keukeuh ga boleh ada yang ngasih tau kamu kalau Papa sakit. //
// Anes : Tapi Mba, kemarin Papa masih sempet bales chat aku saat aku mau terbang ke Hangzhou, Mba.. //
// Mba Dyah : Iyaa, Papa kuat-kuatin untuk balas chat kamu itu, Nes. Setelah itu Papa udah ga bisa pegang handphone.. //
Deg!!
Seketika kabar tentang Papa ini membuatku menangis sejadi-jadinya.
Aku menangis di bawah selimut dan menutupi wajahku dengan bantal agar suara tangisanku ini tak membangunkan seniorku yang sedang tidur di kasur yang tak jauh dari kasurku berada.
// Anes : Mba, tolong antar Papa ke rumah sakit yaaa //
// Mba Dyah : Papa ga mau ke rumah sakit, Nes. Tau sendiri Papa paaling benci kesana.. //
// Anes : Hm Insya Allah besok aku pulang yaaa. Maafin aku ga bisa pulang hari ini karena aku baru balik ke Jakarta ntar malem, Mba //
// Mba Dyah : Iyaa gapapa, yang penting besok kamu bisa pulang yaa. //
Saat itu aku lupa bahwa lusanya, aku masih ada jadwal terbang.
Tanpa berpikir panjang, aku pun memberanikan diri untuk izin langsung ke chief FA (biasanya jika izin ga bisa terbang harus melalui tracking dan scheduling lebih dulu) untuk ga bisa jalanin tugasku besok lusa karena besok pagi aku berencana pulang ke kampung halaman karena Papa sedang sakit.
// Chief FA : Maaf banget ya Nes, dalam beberapa waktu ke depan, ada banyak FA yang cuti, jadi ga ada yang ngegantiin schedule kamu besok lusa. Saya doakan semoga Papa kamu lekas sehat ya. //
Aku bingung harus berbuat apa.
Karena kebingunganku ini, aku pun lupa akan janjiku kepada Kakakku.
// Anes 13.10 : Pa.. kata Mba Dyah, Papa sakit? Papa sakit apa? Papa ke rumah sakit yaa? Biar cepat ditanganin dokter.. //
Papa tak kunjung membalas pesanku.
Aku semakin was-was.
Berkali-kali aku melihat layar ponselku dan menunggu pesan dari Papa. Namun belum juga ada balasan.
// Papa 15.00 : Nduk, Papa ga kenapa-kenapa kog. Ini sakit biasa mungkin karena kecapean aja. Jadi ga usah khawatir.. //
Membaca pesan Papa itu, membuat dadaku terasa sesak dan air mataku tak bisa lagi ku bendung.
Tak berapa lama, Papa kembali mengirimiku pesan. Kali ini, Papa mengirim foto.
// Papa : Lihat, Papa sehat kan? //
Yang aku tau, foto yang Papa kirim ini adalah foto Papa beberapa bulan lalu. Sepertinya Papa lupa pernah mengirimnya kepadaku.
Sepanjang hari aku di Manado, hatiku sangat kalut. Pikiranku acak kadut. Takut!
Tak berhenti disitu, selama penerbangan dari Manado menuju Jakarta pun rasa takut itu masih bergelayut membuatku makin hanyut dalam kesedihan dan kekhawatiran yang semakin akut.
Ketika aku sudah melakukan semua pekerjaanku, aku menyempatkan untuk mengambil handphoneku yang ku simpan di dalam kontainer, lalu mulai membuka pesan terakhirku yang ku kirim pada Kakakku tadi tepat sebelum pesawat take-off.
// Anes 18.50 : Mba Dyah, maafin aku, besok aku ga jadi pulang ketemu Papa. Karena.. aku ga dapet izin dari atasan. Maafin aku :”( //
Membaca pesan itu, membuat hatiku sangat sakit. :”(
———
Hari itu hari Minggu.
Jika saja aku menepati janjiku pada Kakakku untuk pulang hari ini, kemungkinan jam segini aku sudah berada di Juanda-Surabaya.
Tapi kini, aku hanya bisa mendoakan Papa dari jauh dan memantau keadaan Papa melalui Kakakku yang entah dia memberikan informasi secara jujur atau banyak yang disembunyikan dariku.
Selain itu, aku juga sibuk menghubungi rekanku satu per satu dan bertanya apakah mereka bisa menggantikan schedule terbangku. Namun hasilnya nihil. Mereka pun memiliki schedule terbang yang sama padatnya denganku.
Bukpen—Adikku, menelponku di saat aku sudah mulai tertidur, membuat jantungku seketika berdegup tak karuan.
“Assalamu’alaikum, ya Buk??”, ucapku setelah menerima panggilan itu.
“Nyesss..”, ujarnya terbata.
“Iyaa? Kenapa Buk?”, aku memang tidak memanggil adikku dengan sebutan dek melainkan Buk.
“Papa masuk ICU, Nyees!!”, sedang adikku tidak memanggilku dengan sebutan Mbak melainkan Anyes. Dia terdengar begitu panik dibalik telpon.
“Innalillahi.. kenapa kog sampe masuk ICU, Buk?”
“Keadaan Papa uda kritis. Aku saranin kamu untuk pulang, karena Papa manggilin kamu terus daritadi. Kayanya Papa kangen kamu, Nyes.”, seketika aku pun menangis. :”(
“Buk, nanti aku kabarin yaaa gimana-gimananya..”, ujarku sembari sesunggukan dan segera mengakhiri panggilan telpon itu.
Setelahnya, aku kembali nekat untuk menghubungi Chief FA.
// Anes 20.27 : Assalamu’alaikum, Bu. Selamat malam. Mohon maaf sebelumnya saya menghubungi Ibu di jam segini. Bu, saya minta tolong kali ini saja Bu.. Saya harus pulang kampung besok, karena Papa saya sedang sakit Bu. Sekarang, Papa saya ada di ICU.”
// Bu Chief 21.00 : Wa’alaikumsalam. Malam, Dek.. Aduh gimana ya.. boleh ga saya minta bukti foto keadaan Papa kamu? //
Aku memaklumi kenapa Bu Chief seolah tidak mempercayaiku. Sebab ada banyak FA yang nakal dan bohongin beliau agar bisa bolos kerja.
Tapi Alhamdulillah, tak berselang lama dari aku mengirimkan foto Papa yang sedang berada di ruang ICU, Bu Chief mengizinkanku untuk cuti dadakan.
Setelahnya, aku mencoba mengabari seseorang…
// Anes 21.35 : Aa, udah tidur? //
// My Superkindboy❤️ 21.37 : Belum. Anes kog belum tidur? //
Sedetik setelahnya, aku pun menelponnya dan mencoba mengajaknya untuk menemaniku pulang dan bertemu dengan Papa.
Setelah dia bilang ‘Yaudah, Aa ikut Anes pulang yaa.. nanti jam 3.00 kita ketemu di bandara..’, maka saat itu juga, aku segera memesan dua tiket pesawat dengan tujuan Jakarta ke Surabaya di penerbangan pertama—jam 05.00.
Karena jarak dari Surabaya ke kampung halamanku cukup jauh—sekitar 5-6jam-an perjalanan, jadi.. mau mendarat sepagi apapun di Juanda, tetap saja akan tiba di kampungku pada siang hari menjelang sore hari.
Kepulanganku hari itu, aku memutuskan untuk langsung ke Rumah Sakit.
Dan Alhamdulillahnya, ketika aku tiba di ‘Rumah Sakit Swasta’ tempat Papa dirawat, Papa tidak lagi di ruang ICU, melainkan sudah dipindahkan ke kamar VIP.
“Mbaa Dyaaah!!!”, teriakku ketika melihat Kakakku yang sedang menungguku di pintu masuk rumah sakit.
Aku pun memeluknya begitu erat.
“Alhamdulillah kamu bisa pulang..”, ujarnya sembari menepuk-nepuk punggungku.
Lalu Kakakku tersenyum kepada seseorang yang tengah berdiri di belakangku.
Mereka berbincang sebentar kemudian kami pun berjalan bersama-sama menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar Papa.
Kata Kakakku, keadaan Papa mulai membaik setelah Adikku membisikkan kalimat bahwa aku akan segera pulang di telinga Papa.
Sepertinya benar, Papa merindukanku.
~~~
Sama seperti tahun lalu, aku segera pulang ke kampungku disaat aku tau Papa sedang sakit. Bedanya, ketika itu Papa tidak sampai masuk Rumah Sakit. Dan aku tidak sampai mengambil cuti, karena ketika itu kebetulan aku sedang terbang ke Surabaya.
Malam itu, seharusnya aku akan tiba di Juanda sekitar jam 20.00. Namun karena menunggu pesawat yang delay dari Medan, aku tiba di Juanda sekitar jam 22.00.
Kala itu, tidak mudah untukku bisa pulang ke kampungku karena keesokan harinya, aku masih ada jadwal terbang dari Surabaya ke Jakarta pukul 16.00.
“Mba, maaf, setiba di Surabaya nanti, apakah boleh jika saya izin untuk pulang kampung?”, tanyaku pada Senior FA yang saat itu adalah Pramugari. Aku pikir dia akan bisa berempati ya, tapi..
“Kalau Captain izinin, aku izinin.”
Lalu, ketika Captain baru saja selesai melakukan briefing di ruang briefing, aku memberanikan diri untuk minta izin ke Captain.
“Captain, mohon maaf, nanti setibanya di Juanda..”, aku mulai terisak tanpa diduga. Karena tak bisa dipungkiri bahwa aku khawatir banget sama Papa.
“Loh loh, kenapa Mba? Jangan nangis, jangan nangis..”, katanya.
“Captain, maaf, Papa saya sedang sakit di kampung. Ketika nanti sudah mendarat di Juanda, apakah boleh saya pergi menjenguk Papa saya?”
“Kamu naik apa kesana? Butuh waktu berapa lama dalam perjalanan?”
“Nanti saya coba menyewa mobil dan drivernya, Capt. Jika kesananya nyewa mobil gitu, kemungkinan 4 jam sudah sampai Capt.”
“Hm jauh juga ya. Tapi gapapa, saya izinkan. Tapi nanti tolong terus mengabari Mba SFAnya yaa. Ohya, besok kalau jam 14.00 udah sampe bandara bisa ga??”
“InsyaAllah bisa Capt..”, jawabku tanpa berpikir panjang.
“Oke kalau gitu.”
Dan siapa sangka, ketika kami sudah mendarat di Juanda, dan ketika mobil jemputan hotel sudah standby, Captain tidak segera masuk ke mobil itu. Melainkan ia menemaniku dan memastikan aku sudah dijemput dengan driver mobil travel yang aku sewa.
“Assalamu’alaikum, Pak. Saya titip Mba Anes kepada Bapak. Tolong menyetirnya hati-hati ya. Karena bagaimanapun, Mba Anes ini menjadi tanggung jawab saya hingga besok kami kembali ke Jakarta.”
“Siap Pak..”, jawab Pak Wahyu sembari menjabat tangan Captain.
“Yaudah, hati-hati ya Pak. Nes, hati-hati yaa. Salam untuk Papa kamu, semoga lekas kembali sehat!.”, ujar Capt yang jika aku tebak, usianya tidak beda jauh dengan Papaku.
Karena kebaikannya itu, sampai saat ini aku pun masih ingat nama beliau, namanya adalah Captain Dadyo Prasetyo.
Berbeda dengan Senior FA-ku yang seorang perempuan, yang aku pikir akan lebih bersimpati, justru selama penerbangan memberikanku pertanyaan-pertanyaan seolah aku ini sedang melakukan competency check. Padahal sudah diwarning oleh Bu Chief, bahwa dilarang seorang SFA melakukan hal ini kepada Junior FA karena bukan ranahnya. Beda lagi jika SFA tersebut adalah seorang instruktur.
“Aku ga peduli yaa kamu lagi kepikiran soal Papa kamu yang sakit, aku hanya mau kamu tetap harus bisa fokus kerja dan bisa jawab pertanyaan-pertanyaan aku.”
Yaa kalian bisa bayangin ga sih? Lagi khawatirin orang tua yang sakit, tapi malah ditanya-tanya soal prosedur. Seharusnya aku bisa kerja dengan baik dan benar aja udah cukup. Dia ga perlu nambah-nambahin beban pikiran aku.
Dan benar saja, disaat aku lupa beberapa prosedur dalam penerbangan darurat, dia memaki-makiku.
“Wah yang kaya kamu gini nih yang membahayakan penerbangan!! Harusnya kamu lebih profesional dong, Mba! Kalau amit-amit nanti kita emergency landing, terus kamunya begini, gimana mau nyelametin penumpang??!!!”
“Iya Mba maaf..”, jawabku.
“Pokoknya aku ga mau tau ya. Besok saat aku tanya lagi hal-hal begini dan kamu ga bisa jawab, aku bakal report kamu!”
Alhasil, selama 8 jam perjalanan bolak-balik Surabaya ke dan dari kampungku, aku gunakan untuk membaca ulang segala prosedur.
Dan yang membuatku kesal, keesokan harinya dalam penerbangan Surabaya ke Jakarta, SFAku ini diemin aku. Dan ga menanyakanku satu soal pun!! :”(
~~
“Assalamu’alaikum..”, ujarku ketika akan memasuki kamar Papa.
“Wa’alaikumsalam..”, jawab Papa tertatih.
Aku segera meletakkan tas ranselku di sofa kemudian mencium tangan Papa yang kini sedang terbaring di atas ranjang pasien.
Setelah mencium tangannya, aku mencium pipi kiri dan pipi kanan Papa.
“Ini Anes?”, tanyanya.
“Iya Pa, ini aku.”
Papa sumringah.
“MasyaAllah menantu Papa yang ganteng ikut juga?”, ujarnya ketika menyapa kekasihku.
Aku hanya tersenyum melihat mereka terlihat akrab.
Kekasihku ini memang sempat bertemu Papa ketika lebaran Idul Fitri tahun lalu, meski saat itu akunya ga sempat pulang karena sibuk terbang.
“Nes, padahal sebelum kamu nyampe, Papa itu masih belum sadar total loh. Kayanya Papa seneng deh kamu dan Aa dateng.”, bisik Kakakku.
“Alhamdulillah yaa, Mba..”
“Makasih ya Nes uda pulang.”, kakakku mulai terisak.
“Keadaan Papa udah ngedrop banget kemarin, Nes. Makanya sampe masuk ICU. Tapi alhamdulillah, hari ini Papa bisa sumringah gitu. Padahal aku uda khawatir Nes, aku takut Papa pergi.”
“InsyaAllah Papa sehat ya Mba. InsyaAllah Papa akan sembuh.”, ujarku optimis.
Kami pun secara bersamaan melihat Papa yang sedang dipijitin kakinya oleh Aa sembari mendengarkan Aa bercerita dan sesekali membuat Papa ketawa karena lelucon Aa yang menurut Papa lucu. Sesekali Papa memberikan lelucon juga, yang disambut dengan tawa oleh Aa.
“Nes, kamu beneran ada uang untuk biaya rumah sakit Papa?”
“InsyaAllah ada Mba.”, ucapku berbohong.
Jujur, ketika itu, aku hanya punya sedikit tabungan. Sebab, aku baru saja melunasi semua hutang-hutangku yang nominalnya lumayan besar itu.
“Maaf ya Nes, aku ga bisa bantuin kamu.”
“Mba, ga perlu minta maaf. Dengan Mba ngerawat dan jagain Papa selama ini aja aku tuh sangat berterima kasih ke Mba.. dan semua yang Mba lakuin untuk Papa itu ga sebanding dengan uang yang aku keluarkan untuk Papa.”
“Makasih ya Nes..”
“Sama-sama ya Mba. Aku juga makasih. Udah ga usah kepikiran ya, sekarang kita fokus untuk kesembuhan Papa dulu.”
Tak lama kemudian, ada beberapa teman sekolah Papa menjenguk Papa.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam.”, jawabku dan Mba Ita.
“Wa’alaikumsalam. Hei sini masuk-masuk. Sini sini, aku kenalin, mantuku, dia pilot!”, ujar Papa dengan bangga.
Aku dan Aa saling bertatap-tatapan dari kejauhan.
Lalu aku memberikan isyarat ‘Maaf’, khawatir dia risih dengan perkataan Papaku.
Kemudian dia meresponnya dengan senyum dan bilang ‘Gapapa..’.
Pada awalnya, itu cukup menakutkan.
Namun, setelah terbang lebih dari seribu jam, hal itu sudah membuatku terbiasa, bahkan membuatku hampir tak bereaksi apa-apa.
Berbeda ketika aku sedang menghadapi turbulensi yang terjadi dalam kehidupan.
Aku tak pernah bisa merasa siap karena ia selalu datang dengan tiba-tiba.
// Mba Dyah 09.00 : Nes, kamu dimana? //
// Anes 09.01 : Aku di Manado nih Mba. Mba sehat? Papa sehat? //
// Mba Dyah : Alhamdulillah aku sehat. //
// Anes : Alhamdulillah //
// Mba Dyah : Nes, kamu jangan bilang Papa yaa kalau aku chat kamu.. //
// Anes : Hm? Oke… //
// Mba Dyah : Hmm Nes.. kamu jangan kaget ya.. //
// Mba Dyah : Papa udah seminggu ini sakit, Nes. //
// Mba Dyah : Bahkan Papa udah ga mau makan. Buat jalan juga susah. Papa ga biasanya sakit seperti ini Nes. //
// Mba Dyah : Kalau bisa, kamu pulang ya? //
// Anes : Papa sakit apa Mba? Kog sampe ga bisa jalan? Demam tinggi kah?
// Anes : Kenapa baru ngabarin aku sekarang, Mba? //
// Anes : Aku jadi merasa bersalah karena selama beberapa hari terakhir merasa baik-baik saja padahal Papa lagi sakit //
// Mba Dyah : Iyaa, maaf yaa Nes. Soalnya Papa keukeuh ga boleh ada yang ngasih tau kamu kalau Papa sakit. //
// Anes : Tapi Mba, kemarin Papa masih sempet bales chat aku saat aku mau terbang ke Hangzhou, Mba.. //
// Mba Dyah : Iyaa, Papa kuat-kuatin untuk balas chat kamu itu, Nes. Setelah itu Papa udah ga bisa pegang handphone.. //
Deg!!
Seketika kabar tentang Papa ini membuatku menangis sejadi-jadinya.
Aku menangis di bawah selimut dan menutupi wajahku dengan bantal agar suara tangisanku ini tak membangunkan seniorku yang sedang tidur di kasur yang tak jauh dari kasurku berada.
// Anes : Mba, tolong antar Papa ke rumah sakit yaaa //
// Mba Dyah : Papa ga mau ke rumah sakit, Nes. Tau sendiri Papa paaling benci kesana.. //
// Anes : Hm Insya Allah besok aku pulang yaaa. Maafin aku ga bisa pulang hari ini karena aku baru balik ke Jakarta ntar malem, Mba //
// Mba Dyah : Iyaa gapapa, yang penting besok kamu bisa pulang yaa. //
Saat itu aku lupa bahwa lusanya, aku masih ada jadwal terbang.
Tanpa berpikir panjang, aku pun memberanikan diri untuk izin langsung ke chief FA (biasanya jika izin ga bisa terbang harus melalui tracking dan scheduling lebih dulu) untuk ga bisa jalanin tugasku besok lusa karena besok pagi aku berencana pulang ke kampung halaman karena Papa sedang sakit.
// Chief FA : Maaf banget ya Nes, dalam beberapa waktu ke depan, ada banyak FA yang cuti, jadi ga ada yang ngegantiin schedule kamu besok lusa. Saya doakan semoga Papa kamu lekas sehat ya. //
Aku bingung harus berbuat apa.
Karena kebingunganku ini, aku pun lupa akan janjiku kepada Kakakku.
// Anes 13.10 : Pa.. kata Mba Dyah, Papa sakit? Papa sakit apa? Papa ke rumah sakit yaa? Biar cepat ditanganin dokter.. //
Papa tak kunjung membalas pesanku.
Aku semakin was-was.
Berkali-kali aku melihat layar ponselku dan menunggu pesan dari Papa. Namun belum juga ada balasan.
// Papa 15.00 : Nduk, Papa ga kenapa-kenapa kog. Ini sakit biasa mungkin karena kecapean aja. Jadi ga usah khawatir.. //
Membaca pesan Papa itu, membuat dadaku terasa sesak dan air mataku tak bisa lagi ku bendung.
Tak berapa lama, Papa kembali mengirimiku pesan. Kali ini, Papa mengirim foto.
// Papa : Lihat, Papa sehat kan? //
Yang aku tau, foto yang Papa kirim ini adalah foto Papa beberapa bulan lalu. Sepertinya Papa lupa pernah mengirimnya kepadaku.
Sepanjang hari aku di Manado, hatiku sangat kalut. Pikiranku acak kadut. Takut!
Tak berhenti disitu, selama penerbangan dari Manado menuju Jakarta pun rasa takut itu masih bergelayut membuatku makin hanyut dalam kesedihan dan kekhawatiran yang semakin akut.
Ketika aku sudah melakukan semua pekerjaanku, aku menyempatkan untuk mengambil handphoneku yang ku simpan di dalam kontainer, lalu mulai membuka pesan terakhirku yang ku kirim pada Kakakku tadi tepat sebelum pesawat take-off.
// Anes 18.50 : Mba Dyah, maafin aku, besok aku ga jadi pulang ketemu Papa. Karena.. aku ga dapet izin dari atasan. Maafin aku :”( //
Membaca pesan itu, membuat hatiku sangat sakit. :”(
———
Hari itu hari Minggu.
Jika saja aku menepati janjiku pada Kakakku untuk pulang hari ini, kemungkinan jam segini aku sudah berada di Juanda-Surabaya.
Tapi kini, aku hanya bisa mendoakan Papa dari jauh dan memantau keadaan Papa melalui Kakakku yang entah dia memberikan informasi secara jujur atau banyak yang disembunyikan dariku.
Selain itu, aku juga sibuk menghubungi rekanku satu per satu dan bertanya apakah mereka bisa menggantikan schedule terbangku. Namun hasilnya nihil. Mereka pun memiliki schedule terbang yang sama padatnya denganku.
20.21 Bukpen is calling…
Bukpen—Adikku, menelponku di saat aku sudah mulai tertidur, membuat jantungku seketika berdegup tak karuan.
“Assalamu’alaikum, ya Buk??”, ucapku setelah menerima panggilan itu.
“Nyesss..”, ujarnya terbata.
“Iyaa? Kenapa Buk?”, aku memang tidak memanggil adikku dengan sebutan dek melainkan Buk.
“Papa masuk ICU, Nyees!!”, sedang adikku tidak memanggilku dengan sebutan Mbak melainkan Anyes. Dia terdengar begitu panik dibalik telpon.
“Innalillahi.. kenapa kog sampe masuk ICU, Buk?”
“Keadaan Papa uda kritis. Aku saranin kamu untuk pulang, karena Papa manggilin kamu terus daritadi. Kayanya Papa kangen kamu, Nyes.”, seketika aku pun menangis. :”(
“Buk, nanti aku kabarin yaaa gimana-gimananya..”, ujarku sembari sesunggukan dan segera mengakhiri panggilan telpon itu.
Setelahnya, aku kembali nekat untuk menghubungi Chief FA.
// Anes 20.27 : Assalamu’alaikum, Bu. Selamat malam. Mohon maaf sebelumnya saya menghubungi Ibu di jam segini. Bu, saya minta tolong kali ini saja Bu.. Saya harus pulang kampung besok, karena Papa saya sedang sakit Bu. Sekarang, Papa saya ada di ICU.”
// Bu Chief 21.00 : Wa’alaikumsalam. Malam, Dek.. Aduh gimana ya.. boleh ga saya minta bukti foto keadaan Papa kamu? //
Aku memaklumi kenapa Bu Chief seolah tidak mempercayaiku. Sebab ada banyak FA yang nakal dan bohongin beliau agar bisa bolos kerja.
Tapi Alhamdulillah, tak berselang lama dari aku mengirimkan foto Papa yang sedang berada di ruang ICU, Bu Chief mengizinkanku untuk cuti dadakan.
Setelahnya, aku mencoba mengabari seseorang…
// Anes 21.35 : Aa, udah tidur? //
// My Superkindboy❤️ 21.37 : Belum. Anes kog belum tidur? //
Sedetik setelahnya, aku pun menelponnya dan mencoba mengajaknya untuk menemaniku pulang dan bertemu dengan Papa.
Setelah dia bilang ‘Yaudah, Aa ikut Anes pulang yaa.. nanti jam 3.00 kita ketemu di bandara..’, maka saat itu juga, aku segera memesan dua tiket pesawat dengan tujuan Jakarta ke Surabaya di penerbangan pertama—jam 05.00.
Karena jarak dari Surabaya ke kampung halamanku cukup jauh—sekitar 5-6jam-an perjalanan, jadi.. mau mendarat sepagi apapun di Juanda, tetap saja akan tiba di kampungku pada siang hari menjelang sore hari.
Kepulanganku hari itu, aku memutuskan untuk langsung ke Rumah Sakit.
Dan Alhamdulillahnya, ketika aku tiba di ‘Rumah Sakit Swasta’ tempat Papa dirawat, Papa tidak lagi di ruang ICU, melainkan sudah dipindahkan ke kamar VIP.
“Mbaa Dyaaah!!!”, teriakku ketika melihat Kakakku yang sedang menungguku di pintu masuk rumah sakit.
Aku pun memeluknya begitu erat.
“Alhamdulillah kamu bisa pulang..”, ujarnya sembari menepuk-nepuk punggungku.
Lalu Kakakku tersenyum kepada seseorang yang tengah berdiri di belakangku.
Mereka berbincang sebentar kemudian kami pun berjalan bersama-sama menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar Papa.
Kata Kakakku, keadaan Papa mulai membaik setelah Adikku membisikkan kalimat bahwa aku akan segera pulang di telinga Papa.
Sepertinya benar, Papa merindukanku.
~~~
Sama seperti tahun lalu, aku segera pulang ke kampungku disaat aku tau Papa sedang sakit. Bedanya, ketika itu Papa tidak sampai masuk Rumah Sakit. Dan aku tidak sampai mengambil cuti, karena ketika itu kebetulan aku sedang terbang ke Surabaya.
Malam itu, seharusnya aku akan tiba di Juanda sekitar jam 20.00. Namun karena menunggu pesawat yang delay dari Medan, aku tiba di Juanda sekitar jam 22.00.
Kala itu, tidak mudah untukku bisa pulang ke kampungku karena keesokan harinya, aku masih ada jadwal terbang dari Surabaya ke Jakarta pukul 16.00.
“Mba, maaf, setiba di Surabaya nanti, apakah boleh jika saya izin untuk pulang kampung?”, tanyaku pada Senior FA yang saat itu adalah Pramugari. Aku pikir dia akan bisa berempati ya, tapi..
“Kalau Captain izinin, aku izinin.”
Lalu, ketika Captain baru saja selesai melakukan briefing di ruang briefing, aku memberanikan diri untuk minta izin ke Captain.
“Captain, mohon maaf, nanti setibanya di Juanda..”, aku mulai terisak tanpa diduga. Karena tak bisa dipungkiri bahwa aku khawatir banget sama Papa.
“Loh loh, kenapa Mba? Jangan nangis, jangan nangis..”, katanya.
“Captain, maaf, Papa saya sedang sakit di kampung. Ketika nanti sudah mendarat di Juanda, apakah boleh saya pergi menjenguk Papa saya?”
“Kamu naik apa kesana? Butuh waktu berapa lama dalam perjalanan?”
“Nanti saya coba menyewa mobil dan drivernya, Capt. Jika kesananya nyewa mobil gitu, kemungkinan 4 jam sudah sampai Capt.”
“Hm jauh juga ya. Tapi gapapa, saya izinkan. Tapi nanti tolong terus mengabari Mba SFAnya yaa. Ohya, besok kalau jam 14.00 udah sampe bandara bisa ga??”
“InsyaAllah bisa Capt..”, jawabku tanpa berpikir panjang.
“Oke kalau gitu.”
Dan siapa sangka, ketika kami sudah mendarat di Juanda, dan ketika mobil jemputan hotel sudah standby, Captain tidak segera masuk ke mobil itu. Melainkan ia menemaniku dan memastikan aku sudah dijemput dengan driver mobil travel yang aku sewa.
“Assalamu’alaikum, Pak. Saya titip Mba Anes kepada Bapak. Tolong menyetirnya hati-hati ya. Karena bagaimanapun, Mba Anes ini menjadi tanggung jawab saya hingga besok kami kembali ke Jakarta.”
“Siap Pak..”, jawab Pak Wahyu sembari menjabat tangan Captain.
“Yaudah, hati-hati ya Pak. Nes, hati-hati yaa. Salam untuk Papa kamu, semoga lekas kembali sehat!.”, ujar Capt yang jika aku tebak, usianya tidak beda jauh dengan Papaku.
Karena kebaikannya itu, sampai saat ini aku pun masih ingat nama beliau, namanya adalah Captain Dadyo Prasetyo.
Berbeda dengan Senior FA-ku yang seorang perempuan, yang aku pikir akan lebih bersimpati, justru selama penerbangan memberikanku pertanyaan-pertanyaan seolah aku ini sedang melakukan competency check. Padahal sudah diwarning oleh Bu Chief, bahwa dilarang seorang SFA melakukan hal ini kepada Junior FA karena bukan ranahnya. Beda lagi jika SFA tersebut adalah seorang instruktur.
“Aku ga peduli yaa kamu lagi kepikiran soal Papa kamu yang sakit, aku hanya mau kamu tetap harus bisa fokus kerja dan bisa jawab pertanyaan-pertanyaan aku.”
Yaa kalian bisa bayangin ga sih? Lagi khawatirin orang tua yang sakit, tapi malah ditanya-tanya soal prosedur. Seharusnya aku bisa kerja dengan baik dan benar aja udah cukup. Dia ga perlu nambah-nambahin beban pikiran aku.
Dan benar saja, disaat aku lupa beberapa prosedur dalam penerbangan darurat, dia memaki-makiku.
“Wah yang kaya kamu gini nih yang membahayakan penerbangan!! Harusnya kamu lebih profesional dong, Mba! Kalau amit-amit nanti kita emergency landing, terus kamunya begini, gimana mau nyelametin penumpang??!!!”
“Iya Mba maaf..”, jawabku.
“Pokoknya aku ga mau tau ya. Besok saat aku tanya lagi hal-hal begini dan kamu ga bisa jawab, aku bakal report kamu!”
Alhasil, selama 8 jam perjalanan bolak-balik Surabaya ke dan dari kampungku, aku gunakan untuk membaca ulang segala prosedur.
Dan yang membuatku kesal, keesokan harinya dalam penerbangan Surabaya ke Jakarta, SFAku ini diemin aku. Dan ga menanyakanku satu soal pun!! :”(
~~
“Assalamu’alaikum..”, ujarku ketika akan memasuki kamar Papa.
“Wa’alaikumsalam..”, jawab Papa tertatih.
Aku segera meletakkan tas ranselku di sofa kemudian mencium tangan Papa yang kini sedang terbaring di atas ranjang pasien.
Setelah mencium tangannya, aku mencium pipi kiri dan pipi kanan Papa.
“Ini Anes?”, tanyanya.
“Iya Pa, ini aku.”
Papa sumringah.
“MasyaAllah menantu Papa yang ganteng ikut juga?”, ujarnya ketika menyapa kekasihku.
Aku hanya tersenyum melihat mereka terlihat akrab.
Kekasihku ini memang sempat bertemu Papa ketika lebaran Idul Fitri tahun lalu, meski saat itu akunya ga sempat pulang karena sibuk terbang.
“Nes, padahal sebelum kamu nyampe, Papa itu masih belum sadar total loh. Kayanya Papa seneng deh kamu dan Aa dateng.”, bisik Kakakku.
“Alhamdulillah yaa, Mba..”
“Makasih ya Nes uda pulang.”, kakakku mulai terisak.
“Keadaan Papa udah ngedrop banget kemarin, Nes. Makanya sampe masuk ICU. Tapi alhamdulillah, hari ini Papa bisa sumringah gitu. Padahal aku uda khawatir Nes, aku takut Papa pergi.”
“InsyaAllah Papa sehat ya Mba. InsyaAllah Papa akan sembuh.”, ujarku optimis.
Kami pun secara bersamaan melihat Papa yang sedang dipijitin kakinya oleh Aa sembari mendengarkan Aa bercerita dan sesekali membuat Papa ketawa karena lelucon Aa yang menurut Papa lucu. Sesekali Papa memberikan lelucon juga, yang disambut dengan tawa oleh Aa.
“Nes, kamu beneran ada uang untuk biaya rumah sakit Papa?”
“InsyaAllah ada Mba.”, ucapku berbohong.
Jujur, ketika itu, aku hanya punya sedikit tabungan. Sebab, aku baru saja melunasi semua hutang-hutangku yang nominalnya lumayan besar itu.
“Maaf ya Nes, aku ga bisa bantuin kamu.”
“Mba, ga perlu minta maaf. Dengan Mba ngerawat dan jagain Papa selama ini aja aku tuh sangat berterima kasih ke Mba.. dan semua yang Mba lakuin untuk Papa itu ga sebanding dengan uang yang aku keluarkan untuk Papa.”
“Makasih ya Nes..”
“Sama-sama ya Mba. Aku juga makasih. Udah ga usah kepikiran ya, sekarang kita fokus untuk kesembuhan Papa dulu.”
Tak lama kemudian, ada beberapa teman sekolah Papa menjenguk Papa.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam.”, jawabku dan Mba Ita.
“Wa’alaikumsalam. Hei sini masuk-masuk. Sini sini, aku kenalin, mantuku, dia pilot!”, ujar Papa dengan bangga.
Aku dan Aa saling bertatap-tatapan dari kejauhan.
Lalu aku memberikan isyarat ‘Maaf’, khawatir dia risih dengan perkataan Papaku.
Kemudian dia meresponnya dengan senyum dan bilang ‘Gapapa..’.
Diubah oleh aymawishy 11-12-2023 21:28
atikamut dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas
Tutup