cololuAvatar border
TS
cololu
Pengungsi Rohingya di Aceh: Saat Warga Lokal Dorong Kapal Kami, Anak Saya Meninggal



"Ketika saya sampai pertama kalinya ke Indonesia, saya punya dua anak. Ketika warga lokal mendorong kembali kapal kami, satu anak saya meninggal dunia di kapal karena kekurangan makanan dan sakit."

Yasmin Fatoum tertunduk lesu kala melontarkan ceritanya ketika ditemui BBC News Indonesia di tempat penampungan pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, Aceh.

Perempuan berusia 25 tahun itu merupakan salah satu dari 265 pengungsi Rohingya yang kapalnya sempat dua kali ditolak warga saat hendak berlabuh di Tanah Rencong pada pertengahan November 2023.

Setelah bertaruh nyawa mengarungi lautan dari kamp pengungsian di Bangladesh, mereka akhirnya mendekat ke pesisir Bireuen pada 16 November.

Baca juga: Pengungsi Rohingya Terdampar di Sabang Dipindahkan Warga ke Halaman Kantor Wali Kota

Namun, ketika mereka hendak mendekat ke bibir pantai, warga menolak dan meminta para pengungsi Rohingya untuk kembali lagi ke kapal.

Mereka hanya membekali pengungsi dengan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas, kemudian melepas kembali para pengungsi ke laut lepas.

"Saya dapat dua botol air, dua biskuit. Saya berikan ke anak saya," ujar Yasmin.

Meski demikian, bantuan dari warga itu tak cukup untuk ratusan orang yang memadati kapal. Kondisi kesehatan mereka sendiri sudah menurun setelah berhari-hari mengarungi lautan tanpa makanan yang cukup, kata Yasmin.

Dalam sekejap, seluruh bantuan dari masyarakat sudah lenyap. Dalam kelaparan, mereka pun kembali mengarungi lautan hingga mencapai pesisir Aceh Utara.

Di sana, mereka kembali ditolak. Saat itu, kondisi salah satu anak Yasmin sudah sangat parah karena kekurangan asupan.

"Saya tidak punya air dan makanan, jadi saya memberikan air laut kepada anak saya," tutur Yasmin, sembari menahan air matanya yang sudah mengambang di pelupuk.

Baca juga: Soal Pengungsi Rohingya, Mahfud MD: Sebenarnya RI Bisa Tolak Mentah-mentah, tapi Kita Punya Perikemanusiaan

"Setelah meminum air asin itu, kondisi anak saya memburuk dan dia meninggal. Kami tidak bisa melakukan apa-apa dan saya melarung anak saya ke laut."

Kabar kematian anak itu sampai ke telinga para pengungsi lainnya di dalam kapal, termasuk Rohima, seorang perempuan penyandang disabilitas yang berlayar ke Aceh bersama tiga putranya.

"Saya sendiri membawa sejumlah makanan dari kamp [di Bangladesh], tapi empat anak meninggal di dalam kapal karena kekurangan makanan," tutur Rohima.

Setelah menerjang perairan, Rohima dan para pengungsi lainnya kembali merapat ke pesisir Bireuen. Kali ini, mereka diperbolehkan mendarat.

Saat itu, mesin perahu yang mereka tumpangi memang sudah rusak. Para pengungsi pun berlomba turun dari kapal, lantas berlari ke pesisir.

Ketika pengungsi lainnya dengan leluasa berlari, Rohima harus dipanggul oleh ketiga anaknya yang tertatih.

Baca juga: Belum Jelas ke Mana 139 Pengungsi Rohingya yang Berlabuh di Sabang Akan Ditampung
Kesulitan disabilitas meretas batas

Kedatangan terbaru pengungsi Rohingya di Aceh.
Lihat Foto
Kedatangan terbaru pengungsi Rohingya di Aceh.(AFP/AMANDA JUFRIAN via BBC INDONESIA)
Sejak lama, kaki Rohima memang bermasalah sehingga ia harus menggunakan penyangga untuk membantunya berjalan. Meski sudah memakai penyangga itu, Rohima masih kesulitan melangkahkan kakinya.

"Saya akhirnya dipanggul oleh anak-anak saya ke daratan," ucap Rohima sembari sesekali memegang kakinya.

Di Bireuen, para pengungsi berdiam tiga hari di Desa Lapang Barat. Sebagian dari mereka beristirahat di ruang terbuka beralas terpal di bawah pepohonan, sementara yang lainnya menempati bangunan tempat pelelangan ikan.

Setelah tiga hari, mereka diboyong bertahap menggunakan truk dan bus sekolah milik pemerintah Kabupaten Bireuen ke kamp pengungsian yang disediakan di bekas kantor imigrasi di Lhokseumawe.

Baca juga: Diperintah Jokowi Urus Pengungsi Rohingya, Mahfud MD Agendakan Rapat dengan Pemda

Di pengungsian itu, mereka tidur berdesakan. Udara di dalam ruangan juga pengap karena beberapa jendela ditutup.

Di tengah ruangan, melintang tali yang digunakan untuk menjemur pakaian, membuat pergerakan kerap terhambat.

Dengan masalah di kakinya, Rohima tentu merasa ruang geraknya kian terbatas. Namun, ia mengaku lega dapat berada di tempat yang relatif aman ketimbang kamp di Cox's Bazar di Bangladesh.

Tak hanya Rohima, sejumlah pengungsi Rohingya lainnya juga harus berupaya ekstra untuk dapat menginjakkan kaki di Tanah Rencong, salah satunya Muhammad Siddiq.

Bocah tunanetra itu harus melalui perjalanan panjang bersama ibunya, Zohora Begum, dan kedua adiknya dari kamp pengungsian di Bangladesh.

Baca juga: Alasan Kenapa Pengungsi Rohingya Datang ke Indonesia

Mereka datang menggunakan kapal yang berbeda dari Rohima dan Yasmin. Ibu dan ketiga anak tersebut merupakan penumpang kapal pertama dari enam armada yang masuk ke Aceh dalam beberapa pekan terakhir.

Siddiq, rela mengarung laut demi dapat bertemu kembali dengan ayahnya, Zakaria, yang sudah lebih dulu menetap di Malaysia sejak 2015 silam.

Sebagai tunanetra, Siddiq tak bisa jauh-jauh dari ibu dan kedua adiknya selama perjalanan. Siddiq pun sempat panik ketika tiba-tiba badai menghantam kapal di suatu malam.

Sambil sesekali bersandar ke bahu ibunya, Siddiq bercerita, "Saat badai datang, saya merasa hilang arah. Saya pikir saya akan mati. Saya menangis dan sangat takut."

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri dalam catatan di situs resminya mengakui bahwa saat ini, belum ada kerangka normatif yang memadai untuk menangani secara khusus pengungsi-pengunsi penyandang disabilitas.

Baca juga: PBB Serukan Penyelamatan 400 Warga Rohingya yang Terombang-ambing di Laut Andaman

UNHCR hanya pernah mengeluarkan seruan pada 2010 lalu agar negara-negara dan badan PBB lainnya melindungi dan membantu pengungsi penyandang disabilitas.

Kendati demikian, tak ada ketetapan resmi atau panduan cara yang tepat untuk menangani pengungsi yang menyandang disabiliatas.

PBB pun terus mendesak agar negara-negara anggota mau menyisihkan waktunya untuk memikirkan nasib para pengungsi disabiliatas yang mereka anggap masuk dalam kategori “sangat rentan”.

Bagaimana pun, para pengungsi saat ini tak dapat mengeluh. Lagipula, Begum sendiri mengatakan bahwa orang-orang di kapal terus membantunya untuk memastikan anaknya baik-baik saja.

Begum pun menganggap masalah terbesar di dalam kapal bukanlah menjaga anak-anaknya.

"Kesulitan utamanya adalah menemukan makanan untuk mereka. Kami delapan hari di kapal, tapi hanya makan empat kali," katanya.

Baca juga: Pengungsi Rohingya Kembali Mendarat di Sabang, Kali Ini Jumlahnya 139 Orang

Setelah perjalanan panjang itu, Siddiq pun bahagia ketika mendengar suara lolongan dari kejauhan, pertanda daratan sudah dekat.

Ia bersama ibu dan kedua adiknya kemudian ditempatkan di penampungan sementara di gedung bekas Yayasan Mina Raya, Pidie.

Tidak Perlu Menjadi Muslim Untuk perduli Rohingya, Cukup Menjadi Manusia


ya allah, biadab sekali umat islam aceh, saudara seukhwah mereka sendiri yg sedang kesusahan justru diusir dgn biadabnya hingga anaknya meninggal


jika umat islam rohingya yg ditanah islam sendiri tidak dipelakukan manusiawi, bagaimana bisa2 nya umat islam sok perduli kemanusian di palestina di seberang laut sana


kalau saja israel yg mengusir dan menyebabkan anak2 meninggal,
pasti israel sudah dikecam habis2an dan dikatakan sebagai negara zionis biadab


karena yg mengusir sesama umat islam, maka diaminkan saja emoticon-thumbsup
Diubah oleh cololu 05-12-2023 08:36
bukan.bomat
jakenesse
aldonistic
aldonistic dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.2K
65
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ncubAvatar border
ncub
#6

Quote:




Lah....itu tanggungjawab negara asalnya dong. 
Kenapa warganya pada mengungsi dan nyusahin negara lain
Diubah oleh ncub 06-12-2023 01:58
maroonia
aldonistic
knoopy
knoopy dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup