- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
TS
aymawishy
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
Di saat kau merasa hidup sendiri
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Quote:
Hai, aku Anes, nama panggilan dari pemilik akun aymawishy ini. Semasa sekolah, aku tinggal di sebuah Kabupaten di Jawa Timur bagian timur.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Ohya..
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Pokok Isi Cerita
Quote:
#Bagian 1
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
Quote:
#Bagian 2 : Proses Perekrutan Pramugari
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
Quote:
#Bagian 3
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
Quote:
#Bagian 4 : Initial Flight Attendant’s Ground Training
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
Quote:
#Bagian 5 : Flight Training
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
Quote:
#Bagian 6 : Kehidupan Seorang Pramugari
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
Diubah oleh aymawishy 02-02-2024 01:38
snf0989 dan 45 lainnya memberi reputasi
46
59.9K
Kutip
1K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
aymawishy
#226
Part 58 - Briefing Before Flight
Spoiler for Briefing Before Flight:
“Mba, tensinya kog rendah ya?”, tanya Mba Dita.
“Memang berapa Mba?”, aku kembali bertanya dan bersiap menulis hasil tensi di lembar rekap data yang sudah tersedia. Rekap data ini nantinya akan diperiksa oleh orang DKPPU secara acak disaat mereka melalukan RAMP Check, dan jika ditemukan ada aircrewyang tidak melakukan cek kesehatan berupa cek tensi darah dan cek kadar alkohol, aircrew tersebut bisa dikenakan sanksi tegas.
“90/60. Pusing ga?”, tanya Mba Dita lagi sembari menyerahkan pipa tiup yang masih terbungkus plastik.
“Engga sih Mba..”, seru-ku sembari menerima pipa tiup itu dan segera membukanya dari bungkusnya lalu kupasangkan ke alat uji kadar alkohol.
“Bentar lagi, Mbanya minum air putih lalu makan permen atau makan-minum yang manis-manis yaa. Nanti kalau saat terbang ngerasa pusing, minum ini.”, Mba Dita kembali menjelaskan dan memberikan dua butir obat yang katanya untuk naikin tekanan darahku.
“Makasih ya Mba Dita..”, sahutku lalu mulai meniup pipa kecil yang sudah terpasang di alat uji kadar alkohol sampai angka yang tertera di alat tersebut berkedip.
“Mana Anes?? Udah selesai belum?? Kan saya sudah bilang ga pake lama yaa!!?”, teriak Mba Mba yang mengaku namanya Sabinem.
Aku yang baru saja menulis angka 0 di lembar rekap data di kolom kadar alkohol dalam tubuh, segera beranjak dari dudukku dan berlalu pergi setelah berterima kasih kepada Mba Dita.
Teriakan Mba Mustika tersebut, berhasil menjadikanku sebagai pusat perhatian. Tak banyak dari mereka yang sedang duduk di sofa hitam melihatku dengan tatapan menyeringai atau bahkan saling berbisik, seolah aku telah melakukan kesalahan besar. Ah ya, benar. Mba Mustika paling benci sama FA yang datang terlambat!
Tapi aku ga menyangka kalau situasinya akan menjadi seburuk ini.
Ruang tracking tempat FA melakukan absensi dan juga melakukan pengecekan kesehatan, berada di sudut terjauh ruangan. Ruangannya terbuka tanpa pintu, hanya ada sekat berukuran satu meter di sisi kanan-kirinya, dimana sekat itu menjadi pembatas antara ruang tracking dan ruang aircrew. Di ruang aircrew, terdapat sofa panjang berwarna hitam saling berhadapan. Sekilas aku menghitungnya, sekitar ada 8 sofa di sana.
Di sebelah kiri ruang aircrew, ada ruangan lain yang ku tau adalah ruang FOO atau disebut dengan FLOPS. Disana, ada banyak flightcrew yang sedang briefing dengan FOO. Jika kita berbelok ke kanan dari ruang FLOPS, ada beberapa ruang briefing kecil dengan dinding kaca transparan.
Nah, saat itu, aku sedang mencari-cari dimana keberadaan Mba Mustika dan rekan-rekanku.
“Selamat pagi, Capt, Mas Mas, dan Mba Mba..”, salamku saat setelah mengetuk pintu kaca transparan dan mendorongnya. Di dalam ruangan sudah ada Captain (Capt), First Officer (FO), 5 FA yang aktif, Mba Mustika, Disa, dan Ari. Begitu aku melihat mereka satu per satu, aku mendapati Mba Okta, yang tadi semobil denganku duduk dengan melipat tangannya di dada.
“Selamat pagi… Wah dia ini FA yang telat ya, Ti?”, tanya Capt pada Mba Mustika yang kini duduk tepat disebelahnya.
“Ho’oh! Baru juga flight training, udah berani-beraninya dateng terlambat.”
“Maaf ya Capt, Maaf ya Mba. Tadi mobil jemputannya telat jemput saya.”, aku berusaha membela diri. Mba Okta hanya memberikan tatapan tajam padaku. Mungkin dari tatapannya itu, dia sedang mengancamku untuk ga ngaduin kalau yang telat tuh sebenernya adalah dia.
“Tadi kamu sudah kenalan belum?”, tanya Mba Mustika yang belum juga menyuruhku duduk.
“Belum, Mba.”
“Yaudah, kenalan dulu!”
“Selamat pagi semuanya. Saya Anestya Dewi dari batch 50. Izin ikutan yaa, Capt, Mas Mas, dan Mba Mba..”, ujarku berusaha tersenyum.
“Ngapain Mba?! Mau presentasi??”, hardik Mba Mustika.
“….”
“Diajarinnya gitu saat di ground?”, nada Mba Mustika lebih tinggi, kali ini sambil melotot.
“Maaf Mba..”, jawabku. Aku segera berjabat tangan dengan semua orang yang ada dalam ruangan itu sembari mengucapkan “Pagi, Capt/Mas/Mba, saya Anestya Dewi batch 50. Izin ikutan.”
Begitu aku sudah berkenalan seperti yang distandarkan, aku pun dipersilahkan duduk.
Lalu, satu per satu mulai memperkenalkan diri, menginformasikan kondisi kesehatan pagi itu, juga menyebutkan waktu expired terdekat dari license yang mereka miliki.
Dari perkenalan itu, aku baru mengetahui bahwa Mba Okta adalah Senior FA dalam penerbanganku.
Setelah memperkenalkan diri, mereka saling memberikan informasi tentang kondisi pesawat, tentang kondisi cuaca, tentang jumlah penumpang, lalu kembali nge-remind prosedur dalam keadaan darurat.
Sedang aku, Ari, Disa, dan Mba Mustika, hanya memperhatikan briefing yang dilakukan oleh mereka.
Beberapa menit kemudian, briefing pun telah selesai. Crew aktifnya segera beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju ruang aircrew di ruangan sebelah.
“Tadi kata Capt jam berapa kita ke pesawat?”, tanya Mba Mustika kemudian kepada aku dan dua rekanku.
“Jam 05.10, Mba..”, jawabku.
“Dua puluh lima menit lagi lah yaa..”
“Mba, mohon maaf. Boleh saya izin untuk shalat subuh lebih dulu?”, tanyaku ragu. Jujur, aku sedih menanyakan hal semacam ini, masalahnya, shalat subuh itu kan kewajiban seorang muslim ya. Tapi kenapa aku malah takut-takut begini bahkan bisa-bisanya minta izin lebih dulu.
“Oh ya, saya juga mau shalat subuh. Kalian?”
“…”
“Ohya. Lupa. Kalian kan chinese ya. Sorry sorry.”
—
Begitu aku dan Mba Mustika selesai shalat subuh di mushollah bandara yang letaknya berdempetan dengan ruang tunggu aircrew, aku mendapati Ari dan Disa menunggu kami di dekat koper-koper.
“Heh, ngapain kalian?”, tanya Mba Mustika.
“Hehehe nunggu Mba sama Mba Anes, Mba..”, jawab mereka hampir bersamaan.
Mba Mustika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mendorong pintu ruang tunggu crew.
“Ops!”, ujarnya mengurungkan niat untuk memasuki ruang tunggu.
“Oh jadi kalian sebenernya berdiri disitu karena di dalem penuh ya? Sok-sok-an bilang nungguin gue segala!!”, Mba Mustika kembali ketus, bedanya kali ini ada sedikit candaan dalam mimik wajahnya.
Dia kemudian berjalan beberapa langkah ke samping kanan. Kemudian mendorong pintunya.
‘Loh, disana ada pintu?’, bathinku.
“Kalian bawa travel bagnya ya!!”, perintah Mba Mustika yang sudah masuk ke dalam ruangan itu.
Kami bertiga dengan cekatan segera mengambil travel bag dan membawanya ke ruangan dimana Mba Mustika berada.
Ternyata, hidden door ini tembusannya adalah koridor yang kanan kirinya terdapat ruang briefing dan di ujung koridornya adalah ruang flops. Aku perhatikan, pintu ini sebagai pintu masuk dan pintu keluarnya Capt dan FO.
Sesaat kemudian, kami sudah duduk di ruang briefing yang ukurannya lebih kecil dari ruang briefing sebelumnya. Mba Mustika memilih duduk di kursi yang terletak di pojok ruangan dengan papan clipboard berbahan kayu di atas mejanya. Sedang Ari dan Disa memilih duduk di depan Mba Mustika. Jadi bisa ketebak kan, aku duduk dimana? Ya, di sebelah Mba Mustika.
“Coba keluarkan isi hand bag kalian!”, perintahnya kepadaku dan Disa.
“Maaf Mba, saya ga dikasih handbag..”, jawab Ari.
“Haha ya kan kamu pramugara, Mas Ari…..”
“Hehehe..”, jawab Ari. Dia udah mulai ngelawak nih!
“Coba kamu keluarin isi travel bag kamu!”, perintah Mba Mustika kemudian pada Ari.
“Flashlight dan spare baterai, lengkap. QRH, ada.
Sertifikat Medex, ada. Paspor, ada..”, Mba Mustika mulai mengecek satu per satu perlengkapan dalam handbag yang wajib kami bawa selama terbang.
“Guys, kalian wajib ngehapalin nomor license juga paspor kalian ya. Juga tanggal expirednya.”, ujarnya.
“Baik, Mba..”, jawab kami hampir bersamaan.
“Ohya, Mba?”, dia sepertinya lupa namaku.
“Anes..”, seruku.
“Mba Anes.. lain kali, kalau sekiranya mobil jemputannya datang terlambat, segera konfirmasi ke transport ya. Dan minta untuk ditaksi-in (naik taksi). Kalau mereka ACC untuk Mba naik taksi, nanti biaya taksinya akan ditanggung perusahaan.”
“Baik Mba. Terima kasih..”
“Jangan sampe bikin Capt dan crew yang lain nungguin!”, tegasnya.
“Baik Mba..”, jawabku lagi.
“Oke lanjut sekarang coba keluarin isi travel bag kalian.”, perintahnya kepadaku dan Disa disaat dia sedang mengecek isi travel bag Ari.
“Mas Ari, isi travel bag kamu hanya ada FAM dan dokumen aja? First aid kit kamu mana?”, nada bicara Mba Mustika mulai meninggi lagi.
Ari merogoh isi travel bagnya. Kemudian dia menunjukkan satu jamu sachet.
“Ini, Mba..”, jawabnya.
“Hah? Kamu hanya bawa ini?”
“Iya Mba..”
“Kalau kamu diare gimana?”
“Ya minum ini Mba..”, dia menunjuk ke arah jamu sachet yang kini berada di atas meja.
“Kalau kamu pusing?”
“Ya minum ini Mba..”, dia bergesture sama seperti sebelumnya.
“Kalau kamu kegores sesuatu dan luka?”
“Hm..”
“Pake ini juga??”, teriak Mba Mustika mengagetkan kami. Gimana ga kaget, suaranya tiba-tiba kenceng banget, yang aku tebak tuh suara terdengar sampai flops bahkan ke ruang tracking.
“Ga ada alasan ya Mas, besok saat terbang harus bawa first aid kit!”, ujarnya kemudian masih dengan volume suara yang sama seperti sebelumnya.
Kemudian Mba Mustika beralih mengecek first aid kit Disa dan aku. Alhamdulillah, kami berdua membawa first aid kit yang isinya sangat lengkap. Aku berpikir, semua drama ini akan berakhir. Rupanya, dia mencari kesalahan kami yang lain.
“Kalian pada ga bawa sewing kit ya?”, Mba Mustika mulai melototi kami dengan suaranya yang kali ini bervolume lebih rendah.
Kami saling bertatapan. Dan mengangguk hampir bersamaan.
Jujur saat itu aku ga ‘ngeh’ kalau sewing kit itu hal yang wajib dibawa oleh FA.
“Kalau seragam kalian robek, gimana?”
“Kan bisa pake spare seragam yang selalu kami bawa di dalam koper Mba..”, jawab Ari.
‘Masuk akal jawaban Ari kali ini..’, bathinku.
“Dengan seragam yang robek, kamu mau ngambil koper gitu? Diliat penumpang dong!! Kan koper kalian juga diletakkan di luggage bins yang sama dengan penumpang?!”, Mba Mustika tak terbantahkan.
“Next kalau terbang, bawa sewing kit ya!!”, ujarnya otoriter sembari melihat jam tangan di tangan kanannya.
“Baik, Mba..”, lagi-lagi kami menjawab hampir bersamaan.
“Teh Uti, Capt udah mau ke pesawat yaaa…”, ujar salah satu FA aktif memberitahu kami.
’But wait… tadi siapa dia bilang? Teh Uti?’, bathinku lagi.
Seketika percakapan antara Mia dan Mei terngiang dengan sangat jelas dalam benakku.
“Bun, kata Mas Prima, Mba Mustika itu instruktur paling galak loh.”, ujar Mei saat itu.
“Yee bukan, yang paling galak itu Teh Uti, bukan Mba Mustika!”, bantah Mia.
Ternyata, Mba Mustika dan Teh Uti itu adalah orang yang sama.
“Memang berapa Mba?”, aku kembali bertanya dan bersiap menulis hasil tensi di lembar rekap data yang sudah tersedia. Rekap data ini nantinya akan diperiksa oleh orang DKPPU secara acak disaat mereka melalukan RAMP Check, dan jika ditemukan ada aircrewyang tidak melakukan cek kesehatan berupa cek tensi darah dan cek kadar alkohol, aircrew tersebut bisa dikenakan sanksi tegas.
“90/60. Pusing ga?”, tanya Mba Dita lagi sembari menyerahkan pipa tiup yang masih terbungkus plastik.
“Engga sih Mba..”, seru-ku sembari menerima pipa tiup itu dan segera membukanya dari bungkusnya lalu kupasangkan ke alat uji kadar alkohol.
“Bentar lagi, Mbanya minum air putih lalu makan permen atau makan-minum yang manis-manis yaa. Nanti kalau saat terbang ngerasa pusing, minum ini.”, Mba Dita kembali menjelaskan dan memberikan dua butir obat yang katanya untuk naikin tekanan darahku.
“Makasih ya Mba Dita..”, sahutku lalu mulai meniup pipa kecil yang sudah terpasang di alat uji kadar alkohol sampai angka yang tertera di alat tersebut berkedip.
“Mana Anes?? Udah selesai belum?? Kan saya sudah bilang ga pake lama yaa!!?”, teriak Mba Mba yang mengaku namanya Sabinem.
Aku yang baru saja menulis angka 0 di lembar rekap data di kolom kadar alkohol dalam tubuh, segera beranjak dari dudukku dan berlalu pergi setelah berterima kasih kepada Mba Dita.
Teriakan Mba Mustika tersebut, berhasil menjadikanku sebagai pusat perhatian. Tak banyak dari mereka yang sedang duduk di sofa hitam melihatku dengan tatapan menyeringai atau bahkan saling berbisik, seolah aku telah melakukan kesalahan besar. Ah ya, benar. Mba Mustika paling benci sama FA yang datang terlambat!
Tapi aku ga menyangka kalau situasinya akan menjadi seburuk ini.
Ruang tracking tempat FA melakukan absensi dan juga melakukan pengecekan kesehatan, berada di sudut terjauh ruangan. Ruangannya terbuka tanpa pintu, hanya ada sekat berukuran satu meter di sisi kanan-kirinya, dimana sekat itu menjadi pembatas antara ruang tracking dan ruang aircrew. Di ruang aircrew, terdapat sofa panjang berwarna hitam saling berhadapan. Sekilas aku menghitungnya, sekitar ada 8 sofa di sana.
Di sebelah kiri ruang aircrew, ada ruangan lain yang ku tau adalah ruang FOO atau disebut dengan FLOPS. Disana, ada banyak flightcrew yang sedang briefing dengan FOO. Jika kita berbelok ke kanan dari ruang FLOPS, ada beberapa ruang briefing kecil dengan dinding kaca transparan.
Nah, saat itu, aku sedang mencari-cari dimana keberadaan Mba Mustika dan rekan-rekanku.
“Selamat pagi, Capt, Mas Mas, dan Mba Mba..”, salamku saat setelah mengetuk pintu kaca transparan dan mendorongnya. Di dalam ruangan sudah ada Captain (Capt), First Officer (FO), 5 FA yang aktif, Mba Mustika, Disa, dan Ari. Begitu aku melihat mereka satu per satu, aku mendapati Mba Okta, yang tadi semobil denganku duduk dengan melipat tangannya di dada.
“Selamat pagi… Wah dia ini FA yang telat ya, Ti?”, tanya Capt pada Mba Mustika yang kini duduk tepat disebelahnya.
“Ho’oh! Baru juga flight training, udah berani-beraninya dateng terlambat.”
“Maaf ya Capt, Maaf ya Mba. Tadi mobil jemputannya telat jemput saya.”, aku berusaha membela diri. Mba Okta hanya memberikan tatapan tajam padaku. Mungkin dari tatapannya itu, dia sedang mengancamku untuk ga ngaduin kalau yang telat tuh sebenernya adalah dia.
“Tadi kamu sudah kenalan belum?”, tanya Mba Mustika yang belum juga menyuruhku duduk.
“Belum, Mba.”
“Yaudah, kenalan dulu!”
“Selamat pagi semuanya. Saya Anestya Dewi dari batch 50. Izin ikutan yaa, Capt, Mas Mas, dan Mba Mba..”, ujarku berusaha tersenyum.
“Ngapain Mba?! Mau presentasi??”, hardik Mba Mustika.
“….”
“Diajarinnya gitu saat di ground?”, nada Mba Mustika lebih tinggi, kali ini sambil melotot.
“Maaf Mba..”, jawabku. Aku segera berjabat tangan dengan semua orang yang ada dalam ruangan itu sembari mengucapkan “Pagi, Capt/Mas/Mba, saya Anestya Dewi batch 50. Izin ikutan.”
Begitu aku sudah berkenalan seperti yang distandarkan, aku pun dipersilahkan duduk.
Lalu, satu per satu mulai memperkenalkan diri, menginformasikan kondisi kesehatan pagi itu, juga menyebutkan waktu expired terdekat dari license yang mereka miliki.
Dari perkenalan itu, aku baru mengetahui bahwa Mba Okta adalah Senior FA dalam penerbanganku.
Setelah memperkenalkan diri, mereka saling memberikan informasi tentang kondisi pesawat, tentang kondisi cuaca, tentang jumlah penumpang, lalu kembali nge-remind prosedur dalam keadaan darurat.
Sedang aku, Ari, Disa, dan Mba Mustika, hanya memperhatikan briefing yang dilakukan oleh mereka.
Beberapa menit kemudian, briefing pun telah selesai. Crew aktifnya segera beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju ruang aircrew di ruangan sebelah.
“Tadi kata Capt jam berapa kita ke pesawat?”, tanya Mba Mustika kemudian kepada aku dan dua rekanku.
“Jam 05.10, Mba..”, jawabku.
“Dua puluh lima menit lagi lah yaa..”
“Mba, mohon maaf. Boleh saya izin untuk shalat subuh lebih dulu?”, tanyaku ragu. Jujur, aku sedih menanyakan hal semacam ini, masalahnya, shalat subuh itu kan kewajiban seorang muslim ya. Tapi kenapa aku malah takut-takut begini bahkan bisa-bisanya minta izin lebih dulu.
“Oh ya, saya juga mau shalat subuh. Kalian?”
“…”
“Ohya. Lupa. Kalian kan chinese ya. Sorry sorry.”
—
Begitu aku dan Mba Mustika selesai shalat subuh di mushollah bandara yang letaknya berdempetan dengan ruang tunggu aircrew, aku mendapati Ari dan Disa menunggu kami di dekat koper-koper.
“Heh, ngapain kalian?”, tanya Mba Mustika.
“Hehehe nunggu Mba sama Mba Anes, Mba..”, jawab mereka hampir bersamaan.
Mba Mustika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mendorong pintu ruang tunggu crew.
“Ops!”, ujarnya mengurungkan niat untuk memasuki ruang tunggu.
“Oh jadi kalian sebenernya berdiri disitu karena di dalem penuh ya? Sok-sok-an bilang nungguin gue segala!!”, Mba Mustika kembali ketus, bedanya kali ini ada sedikit candaan dalam mimik wajahnya.
Dia kemudian berjalan beberapa langkah ke samping kanan. Kemudian mendorong pintunya.
‘Loh, disana ada pintu?’, bathinku.
“Kalian bawa travel bagnya ya!!”, perintah Mba Mustika yang sudah masuk ke dalam ruangan itu.
Kami bertiga dengan cekatan segera mengambil travel bag dan membawanya ke ruangan dimana Mba Mustika berada.
Ternyata, hidden door ini tembusannya adalah koridor yang kanan kirinya terdapat ruang briefing dan di ujung koridornya adalah ruang flops. Aku perhatikan, pintu ini sebagai pintu masuk dan pintu keluarnya Capt dan FO.
Sesaat kemudian, kami sudah duduk di ruang briefing yang ukurannya lebih kecil dari ruang briefing sebelumnya. Mba Mustika memilih duduk di kursi yang terletak di pojok ruangan dengan papan clipboard berbahan kayu di atas mejanya. Sedang Ari dan Disa memilih duduk di depan Mba Mustika. Jadi bisa ketebak kan, aku duduk dimana? Ya, di sebelah Mba Mustika.
“Coba keluarkan isi hand bag kalian!”, perintahnya kepadaku dan Disa.
“Maaf Mba, saya ga dikasih handbag..”, jawab Ari.
“Haha ya kan kamu pramugara, Mas Ari…..”
“Hehehe..”, jawab Ari. Dia udah mulai ngelawak nih!
“Coba kamu keluarin isi travel bag kamu!”, perintah Mba Mustika kemudian pada Ari.
“Flashlight dan spare baterai, lengkap. QRH, ada.
Sertifikat Medex, ada. Paspor, ada..”, Mba Mustika mulai mengecek satu per satu perlengkapan dalam handbag yang wajib kami bawa selama terbang.
“Guys, kalian wajib ngehapalin nomor license juga paspor kalian ya. Juga tanggal expirednya.”, ujarnya.
“Baik, Mba..”, jawab kami hampir bersamaan.
“Ohya, Mba?”, dia sepertinya lupa namaku.
“Anes..”, seruku.
“Mba Anes.. lain kali, kalau sekiranya mobil jemputannya datang terlambat, segera konfirmasi ke transport ya. Dan minta untuk ditaksi-in (naik taksi). Kalau mereka ACC untuk Mba naik taksi, nanti biaya taksinya akan ditanggung perusahaan.”
“Baik Mba. Terima kasih..”
“Jangan sampe bikin Capt dan crew yang lain nungguin!”, tegasnya.
“Baik Mba..”, jawabku lagi.
“Oke lanjut sekarang coba keluarin isi travel bag kalian.”, perintahnya kepadaku dan Disa disaat dia sedang mengecek isi travel bag Ari.
“Mas Ari, isi travel bag kamu hanya ada FAM dan dokumen aja? First aid kit kamu mana?”, nada bicara Mba Mustika mulai meninggi lagi.
Ari merogoh isi travel bagnya. Kemudian dia menunjukkan satu jamu sachet.
“Ini, Mba..”, jawabnya.
“Hah? Kamu hanya bawa ini?”
“Iya Mba..”
“Kalau kamu diare gimana?”
“Ya minum ini Mba..”, dia menunjuk ke arah jamu sachet yang kini berada di atas meja.
“Kalau kamu pusing?”
“Ya minum ini Mba..”, dia bergesture sama seperti sebelumnya.
“Kalau kamu kegores sesuatu dan luka?”
“Hm..”
“Pake ini juga??”, teriak Mba Mustika mengagetkan kami. Gimana ga kaget, suaranya tiba-tiba kenceng banget, yang aku tebak tuh suara terdengar sampai flops bahkan ke ruang tracking.
“Ga ada alasan ya Mas, besok saat terbang harus bawa first aid kit!”, ujarnya kemudian masih dengan volume suara yang sama seperti sebelumnya.
Kemudian Mba Mustika beralih mengecek first aid kit Disa dan aku. Alhamdulillah, kami berdua membawa first aid kit yang isinya sangat lengkap. Aku berpikir, semua drama ini akan berakhir. Rupanya, dia mencari kesalahan kami yang lain.
“Kalian pada ga bawa sewing kit ya?”, Mba Mustika mulai melototi kami dengan suaranya yang kali ini bervolume lebih rendah.
Kami saling bertatapan. Dan mengangguk hampir bersamaan.
Jujur saat itu aku ga ‘ngeh’ kalau sewing kit itu hal yang wajib dibawa oleh FA.
“Kalau seragam kalian robek, gimana?”
“Kan bisa pake spare seragam yang selalu kami bawa di dalam koper Mba..”, jawab Ari.
‘Masuk akal jawaban Ari kali ini..’, bathinku.
“Dengan seragam yang robek, kamu mau ngambil koper gitu? Diliat penumpang dong!! Kan koper kalian juga diletakkan di luggage bins yang sama dengan penumpang?!”, Mba Mustika tak terbantahkan.
“Next kalau terbang, bawa sewing kit ya!!”, ujarnya otoriter sembari melihat jam tangan di tangan kanannya.
“Baik, Mba..”, lagi-lagi kami menjawab hampir bersamaan.
“Teh Uti, Capt udah mau ke pesawat yaaa…”, ujar salah satu FA aktif memberitahu kami.
’But wait… tadi siapa dia bilang? Teh Uti?’, bathinku lagi.
Seketika percakapan antara Mia dan Mei terngiang dengan sangat jelas dalam benakku.
“Bun, kata Mas Prima, Mba Mustika itu instruktur paling galak loh.”, ujar Mei saat itu.
“Yee bukan, yang paling galak itu Teh Uti, bukan Mba Mustika!”, bantah Mia.
Ternyata, Mba Mustika dan Teh Uti itu adalah orang yang sama.
😭😭😭
atikamut dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas
Tutup