- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
TS
aymawishy
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
Di saat kau merasa hidup sendiri
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Quote:
Hai, aku Anes, nama panggilan dari pemilik akun aymawishy ini. Semasa sekolah, aku tinggal di sebuah Kabupaten di Jawa Timur bagian timur.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Ohya..
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Pokok Isi Cerita
Quote:
#Bagian 1
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
Quote:
#Bagian 2 : Proses Perekrutan Pramugari
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
Quote:
#Bagian 3
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
Quote:
#Bagian 4 : Initial Flight Attendant’s Ground Training
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
Quote:
#Bagian 5 : Flight Training
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
Quote:
#Bagian 6 : Kehidupan Seorang Pramugari
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
Diubah oleh aymawishy 02-02-2024 01:38
snf0989 dan 45 lainnya memberi reputasi
46
59.9K
Kutip
1K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
aymawishy
#202
Part 53 - Tersimpul Luka Kedua Kali
Spoiler for Tersimpul Luka Kedua Kali:
Setelah dokter memeriksa telinga Rey, dokter meminta perawat yang menemaninya untuk mengukur suhu tubuh Rey menggunakan termometer ketiak.
Si perawat segera mengambil termometernya di meja kecil yang terletak di pojok ruangan, sedang dokter sibuk menjelaskan dan menginterogasi Rey.
“Karena telinga Mas Rey sedang terluka, saya ga bisa pake termometer timpani ini untuk cek suhu Mas ya. Khawatir nanti telinganya makin luka.”, ujar dokter pada Rey.
“Ini Mas Rey demamnya sejak kapan?”, tanya dokter lagi.
“Hm sebenernya dari dua hari lalu sih, dok. Hanya saja kemarin sebelum terbang, demamnya udah turun.”
“Hm gitu. Yaudah sekarang kita cek lagi yaa suhu tubuhnya berapa.”, dokter pun mempersilahkan perawatnya yang sudah membawa termometer untuk segera meletakkan termometer itu di ketiak Rey.
“Permisi ya..”, ujar perawat itu.
Terlihat Rey kurang nyaman saat perawat itu melakukan tugasnya. Rey kaya malu-malu gitu ngebuka kancing bajunya agar termometer didekapnya dengan sempurna dari dalam bajunya. Rey pun terus menatapku dengan tatapan pasrah dan seolah membutuhkan pertolongan.
Aku menggangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum, menenangkan Rey dan memberikan pesan ‘gapapa, bentar doang kog diperiksanya’.
“Suhu badan Mas Rey 39.9, dokter.”, ujar perawat sembari memegang termometer yang baru saja didekap di antara ketiak dan tubuh Rey.
Aku terkejut mendengarnya! Padahal, sejak tadi aku yang duduk disampingnya, tapi aku sama sekali ga tau kalau dia sedang demam.
Mungkin karena aku sama sekali tak bersentuhan dengan Rey yaa. 🥹
Dokterpun meminta Rey untuk tes darah agar penyakit Rey cepat terdeteksi dan cepat ditangani dengan tepat dan akurat.
“Nes, masih mau nemenin aku tes darah kan?”, tanyanya di dalam liftdisaat kita akan turun ke lantai dua rumah sakit yang eksklusif ini.
“Iyaa, aku temenin. Kamu pusing ga?”
“Dikit..”
“Keliyengan ya?”, tanyaku lagi.
“Iyaa..”
“Pegang pundak aku Rey. Biar ga jatuh.”
Rey menurut.
***
Setelah pengambilan darah, kami menunggu di ruang tunggu di depan laboratorium rumah sakit yang alhamdulillahnya siang itu tampak sepi.
Selama tiga puluh menitan menunggu, Rey sepertinya sudah kehabisan tenaga. Dia tak seceria dan seenergik sebelumnya. Dan kini, dia tengah menyandarkan kepalanya ke dinding yang berada tepat di belakang kursi yang sedang kami duduki.
Disaat aku mencoba beranjak dari tempat dudukku, Rey meraih tanganku.
“Jangan kemana-mana.”, ujarnya dengan suaranya yang melemah.
“Aku mau beli minum. Kamu pasti haus kan?”
“Engga.”
Mau ga mau, aku kembali duduk disampingnya dengan tanganku yang masih dalam genggamannya, rasa-rasanya demamnya makin tinggi.
Kami pun saling terdiam setelahnya.
Tak lama dari itu, kami pun dipanggil untuk ke ruangan dokter. Katanya, dokter mau nginformasiin tentang hasil pemeriksaan darah Rey.
“Suster, bisa ga kalau saya saja yang menemui dokter? Pasiennya menunggu disini?”, tanyaku setelah melihat kondisi Rey yang makin tak bertenaga.
“It’s okay Nes. Aku masih kuat!”
“Boleh pinjem kursi roda ga, Suster?”, tanyaku lagi.
Suster itu pun dengan cekatan segera mengambilkan kursi roda untuk aku bisa membawa Rey ke ruang dokter.
Rey yang sudah tidak bisa membantahku, hanya menuruti apa yang aku suruh.
Setelah Rey duduk dengan nyaman di kursi roda, aku segera mendorongnya ke ruangan dokter yang berada di paling ujung. Aku yakin, kalau Rey harus jalan sejauh ini, dia bakal pingsan di tengah jalan!
Ditambah lagi, hasil labnya mendiagnosa Rey terkena tifus.
Dan dokter meminta Rey untuk di opname selama beberapa hari ke depan.
“Nes, kalau bisa aku rawat jalan aja ya?”, bisiknya.
“Tapi, kalau rawat jalan, siapa yang ngerawat kamu?”
“Kamu..”, jawabnya dengan tatapan penuh iba.
“Kalau kamu balik ke hotel, aku ga bisa ngerawat kamu di hotel. Tapi kalau kamu dirawat di rumah sakit, aku bisa jagain kamu.”
“Yaudah kalau gitu aku mau kamar yang VVIP ya, yang ada tempat tidurnya untuk kamu.”
“Iyaa..”
Setelah aku bujuk, Rey pun mau untuk di-opname. Lalu, dia mendapatkan tindakan medis selanjutnya oleh dokter dan perawat. Sedang aku, aku sibuk mengurus segala administrasi yang dibutuhkan agar Rey segera mendapatkan kamar.
Sebelum itu, Rey memberikan kartu debitnya padaku. Jadi aku ga perlu bingung perkara biayanya.
“Pinnya agnes ya.”
“Hm? Kan pinnya berupa angka Rey?”
“Iyaa. Agnes. 246377.”
Ternyata, maksud Rey pinnya agnes tuh, a untuk angka 2, g untuk angka 4, n untuk angka 6, e untuk angka 3, dan s untuk angka 7. Hahaha ada-ada aja sih dia😅
***
Setelah kelar ngurusin segala administrasi rumah sakit yang dibutuhkan, akhirnya Rey pun dipindahkan ke kamar yang dia mau.
Yang harga semalamnya sama dengan uang sakuku selama sebulan.🥹
“Nes, makasih yaa..”, ujarnya setelah hanya ada kami berdua di kamar mewah itu.
“Iya sama-sama. Sekarang, makan dulu ya? Baru tidur.”
“Hm aku mau shalat dulu boleh?”, tanyanya.
“Iya boleh. Selagi kamu shalat, aku juga shalat ya. Berani kan sendirian?”, tanyaku.
“Kamu mau kemana?”
“Ke mushollah, di bawah.”
“Hehe kata suster ada sajadah dan mukenahnya kog disini.”
“Ohiya? Hehe yaa maap ga tau.”
Rey pun segera bertayamum. Aku segera berwudhu’.
Setelahnya kami shalat sendiri-sendiri. Rey shalat dengan posisi tidur, aku shalat dengan posisi berdiri tepat disamping ranjangku, yang berjarak sekitar 3-4 meter dari ranjang Rey.
“Nes, kamu nanti gkskskskkzzz?”, tanya Rey dengan suaranya yang tak terdengar jelas, tepat disaat aku tengah melipat mukenahku.
“Kenapa Rey? Aku ga denger…”, tanyaku yang kini berjalan mendekatinya.
“Kamu ga malem mingguan nanti?”
“Owalah aku kira nanya apaan.”
“Jadi?”
“Yaa kalau semisal malem mingguan pun yaa aku batalin lah.”
“Oh jadi sebenernya ntar malem udah ada acara ya?”
“Hehe iya. Tapi gapapa kog. Yaudah sekarang makan ya. Aku suapin.”
Aku menyuapi Rey bubur dan sop ayam yang ayamnya udah di suwir-suwir kecil dan wortelnya dicincang tipis.
“Nes…”
“Hm?”
“Kamu ada acara apa nanti malem?”
“Hm kamu pengen tau aja atau pengen tau banget?”, godaku.
“Ish.”
“Abisin dulu makannya, nanti aku kasih tau.”
Siapa sangka, Rey benar-benar menuruti omonganku.
“Jadi, kamu ada acara apa?”, tanyanya setelah bubur dan sopnya sudah benar-benar bersih dari mangkoknya dengan sangat cepat.
“Hm janji ga kecewa setelah aku kasih tau ya?”
“Iyaa..”
“Jadi, aku nanti ada janji untuk ngajarin temen. Senin besok dia disuruh simulasi gitu.”
“Boong.”
“Dih, beneran. Emang kamu mikirnya aku ada acara apaan?”
“Kencan!”
“Hahaha. Jadi kamu berharap aku ada kencan nih ntar malem?”
Rey ga menjawab. Ngambek kayanya.
Aku pun tak berusaha untuk membujuk Rey saat dia diemin aku.
Sampai sebelum perutku berbunyi dengan sangat kencang disaat Rey baru saja meletakkan handphonenya dan berusaha untuk memejamkan matanya.
“Oopps!”, ujarku.
“Haha anarkis juga cacing-cacing di perut kamu ya?”, tuhkan, Rey bakal baik-baik dengan sendirinya. Hehehe.
“Rey, aku tinggal untuk beli makan di kantin ya?”
“Ga mau.”
“Hmm tapi cacing-cacingku uda teriak-teriak gini..”
“Hehehe. Sabar ya, bentar lagi makanannya sampe.”
“Dih, kamu pesenin aku makan? Emang bisa?”
“Bisa dong. Sekarang kan teknologi makin canggih. Saat kamu pengen makan apa, tinggal order aja. Ntar ada driver yang anterin.”
“Emang iya? Kog aku baru tau?”
(Hehehe saat itu g*food, gr*bfood, masih baru-baru muncul di Jakarta. Dan aku taunya ya dari Rey.)
Dan kerennya lagi, pesanan yang dipesan Rey hari itu, benar-benar dianterin sampe depan kamar. Tapi yang anterin tuh Bapak Securitynya gitu.
“Rey, kog kamu tau aku lagi pengen makan hokben sih?”
“Jangan-jangan kita??”, goda Rey.
“Hahaha engga-engga. Ga ada yang begituan!!”, sahutku yang direspons dengan tawa oleh Rey.
Disaat makananku sudah hampir habis, Rey tertidur dengan tangan kanan -yang diinfus- ditekuk dan hendak diletakkan di atas dahinya.
Alhasil aku segera loncat dari kasurku dan meletakkan kembali tangan kanannya di posisi yang aman.
Kalau ngeliat Rey sedang tertidur begini, aku jadi ingin memeluknya dan juga ingin mencium keningnya. Berharap dengan pelukan dan ciuman itu, Rey bisa cepat pulih dan rasa rinduku untuknya perlahan musnah.
Tapi, aku ga seberani itu hehehe.
Ga bisa dipungkiri, selama aku berada di dekat Rey, apalagi disaat dia tiba-tiba menggenggam tanganku, rasanya ingin sekali aku membalas untuk menggenggamnya.
Tapi yang bisa ku lakukan hanya berpura-pura untuk acuh dan membiarkan dia saja yang menggenggam.
Bahkan, kenangan manis antara aku dan dia, sering terlintas dibenakku disaat aku diam-diam memperhatikan Rey.
Saat dia memelukku dulu, hangatnya masih bisa kurasa hingga kini.
Saat dia mengecup pipi, kening, dagu, dan bibirku dulu, rasanya masih bisa kurasa dengan sangat jelas hingga kini.
Namun, kenyataan bahwa dia pergi meninggalkanku, kenyataan bahwa dia memutuskanku secara sepihak, membuatku tersadar dari angan dan kenangan yang tersisa.
Berharap, aku bisa melangkah ke depan dengan pintu hatiku yang perlahan kembali terbuka untuk seseorang yang tak akan pernah melepaskanku dengan mudah.
Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak ‘baper’ atas sikap dan perkataan Rey padaku selama aku merawatnya.
Sekuat tenaga aku berusaha menganggapnya seperti seorang teman yang sedang membutuhkan bantuanku, membutuhkan waktuku, dan membutuhkan tenagaku untuk membuatnya kembali pulih seperti sebelumnya.
“Siapa yang nelpon Nes?”, tanyanya di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tepat setelah aku selesai telponan.
“Hm temen.”
“Cowok?”
“Hmm iyaa.”
Rey terdiam.
“Kamu kebangun gegara aku bisik-bisik di telpon ya?”, tanyaku kemudian.
“Kenapa harus bisik-bisik telponannya?”
“Yaa biar kamu ga kebangun..”
“Oh. Bukan karena kamu ga mau aku tau kalau kamu uda punya pacar?”
“Memang kenapa aku harus bersikap kaya gitu ke kamu?
“Yaa aku ga mau aja kalau kamunya uda punya pacar, tapi malah nemenin aku disini.”, Rey mulai meninggikan nada suaranya.
“Maksud kamu?”
“Yaa udah sana, sama pacar kamu aja! Ga usah nemenin aku kaya gini!”, Rey makin meninggikan nada suaranya.
“Rey.. kog marah-marah sih? Ini kamu marah karena aku telponan sama cowok atau kamu marah karena menganggap aku udah punya pacar?”, tanyaku sembari mengusap-ngusap keningnya.
Rey lagi-lagi ga mau menjawab pertanyaanku.
“Aku tuh belum punya pacar, Rey. Dan tadi, cowok yang nelpon aku, itu temen aku, yang ngegantiin aku ngajar malam ini. Siang tadi aku uda bilang ke kamu, kalau malam ini, aku ada janji buat ngajarin temen kan?”
Rey masih terdiam. Wajahnya juga masih dia tekuk.
“Kenapa kog marah-marah? Hm?”, tanyaku lagi masih ngelusin keningnya.
Tanpa bicara, dia menekan tombol yang berada tak jauh dari ranjangnya. Rupanya dia memanggil perawat.
‘Gini ini Rey, kalau lagi marah pasti akunya didiemin. Padahal tadi yang nelpon aku itu Ari, teman se-batch aku. Bukan siapa-siapa. 🥲’
Saat perawat tiba di kamar, rupanya Rey meminta perawat itu untuk memapahnya ke toilet.
‘Kalau emang Rey maunya gitu, kenapa harus ada aku yang ngejagain dia disini? Yaudah sana minta tolong sama perawat aja!! Kesel banget aku hiks!’
Aku yang sudah ga sanggup menahan emosi, berkeputusan untuk pergi dari kamar Rey. Tapi ga berniat untuk ninggalin Rey begitu aja sih. Cuma pengen cari udara segar gitu. Tapiii, kalau semisal Rey ga nyariin aku atau ga nelpon aku, yaa mending aku balik mess aja.
Alhasil, selama aku berjalan menyusuri lorong menuju lobby, aku seperti orang linglung karena memikirkan kemungkinan bagaimana jika ternyata Rey ga berusaha menelponku atau mencariku. Huhu dasar aku, labil!
Di seberang rumah sakit, ada banyak penjual makanan dan minuman. Aku pun memilih untuk membeli sebotol aqua dingin sembari duduk melihat sepeda motor dan mobil yang berlalu lalang.
Sudah tiga puluh menit berlalu, namun Rey belum juga menelponku.
‘Coba tunggu 30 menit lagi. Kalau Rey masih ga nelpon, yaudah pulang aja ya’, ujar bathinku.
Gini ini, padahal kalau mau balik mess yaa tinggal balik aja ya kan? Kenapa harus nunggu-nunggu dan berharap Rey bakal nelpon sih?
Entah apa yang merasukiku malam itu. Di lubuk hatiku yang paling dalam mengatakan bahwa Rey pasti mencariku.
Dan benar, di menit 40 setelah aku pergi meninggalkannya, dia menelponku.
Sengaja tak aku angkat dengan segera.
Biar dia juga tau rasanya diabaikan.
Di deringan ke tiga, aku berubah pikiran lagi dan lagi. Gimana kalau ga aku angkat sekarang, dianya ga bakal nelpon aku lagi?
Hufh!
“Halo..”, akhirnya aku jawab telponnya.
“Kamu dimana?”, tanyanya.
“Mau pulang ini..”
Rey tak merespons.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Jangan pulang..”
“Kan kamu udah ga butuh aku lagi..”
Rey terdiam.
“Kamu udah jauh dari rumah sakit?”, tanyanya kemudian.
“Iya.. nanti kalau kamu butuh apa-apa, panggil perawat aja kaya tadi. Ya?”
Rey segera mengakhiri panggilannya.
Hehehe aku tau dia kesel karena dipojokkan kaya gitu. Dan dia juga kesel karena aku bersikap ga peduli sama dia.
Karena aku ga mau nih dia makin parah sakitnya, demi kebaikannya, aku pun segera berlari menuju kamarnya.
Dan, saat aku baru saja membuka pintu kamarnya secara perlahan, aku melihat ada seorang perempuan yang sedang duduk di dekat ranjang Rey. Ia duduk membelakangi pintu masuk, membelakangiku.
Terlihat mereka sedang asik berbincang dan bersenda gurau.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Saat aku hendak menutup kembali pintu kamar Rey, aku melihat ada sebuah koper hitam di belakang perempuan itu duduk, koper khas milik pramugari, yang ternyata sama dengan koper yang aku miliki.
Si perawat segera mengambil termometernya di meja kecil yang terletak di pojok ruangan, sedang dokter sibuk menjelaskan dan menginterogasi Rey.
“Karena telinga Mas Rey sedang terluka, saya ga bisa pake termometer timpani ini untuk cek suhu Mas ya. Khawatir nanti telinganya makin luka.”, ujar dokter pada Rey.
“Ini Mas Rey demamnya sejak kapan?”, tanya dokter lagi.
“Hm sebenernya dari dua hari lalu sih, dok. Hanya saja kemarin sebelum terbang, demamnya udah turun.”
“Hm gitu. Yaudah sekarang kita cek lagi yaa suhu tubuhnya berapa.”, dokter pun mempersilahkan perawatnya yang sudah membawa termometer untuk segera meletakkan termometer itu di ketiak Rey.
“Permisi ya..”, ujar perawat itu.
Terlihat Rey kurang nyaman saat perawat itu melakukan tugasnya. Rey kaya malu-malu gitu ngebuka kancing bajunya agar termometer didekapnya dengan sempurna dari dalam bajunya. Rey pun terus menatapku dengan tatapan pasrah dan seolah membutuhkan pertolongan.
Aku menggangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum, menenangkan Rey dan memberikan pesan ‘gapapa, bentar doang kog diperiksanya’.
“Suhu badan Mas Rey 39.9, dokter.”, ujar perawat sembari memegang termometer yang baru saja didekap di antara ketiak dan tubuh Rey.
Aku terkejut mendengarnya! Padahal, sejak tadi aku yang duduk disampingnya, tapi aku sama sekali ga tau kalau dia sedang demam.
Mungkin karena aku sama sekali tak bersentuhan dengan Rey yaa. 🥹
Dokterpun meminta Rey untuk tes darah agar penyakit Rey cepat terdeteksi dan cepat ditangani dengan tepat dan akurat.
“Nes, masih mau nemenin aku tes darah kan?”, tanyanya di dalam liftdisaat kita akan turun ke lantai dua rumah sakit yang eksklusif ini.
“Iyaa, aku temenin. Kamu pusing ga?”
“Dikit..”
“Keliyengan ya?”, tanyaku lagi.
“Iyaa..”
“Pegang pundak aku Rey. Biar ga jatuh.”
Rey menurut.
***
Setelah pengambilan darah, kami menunggu di ruang tunggu di depan laboratorium rumah sakit yang alhamdulillahnya siang itu tampak sepi.
Selama tiga puluh menitan menunggu, Rey sepertinya sudah kehabisan tenaga. Dia tak seceria dan seenergik sebelumnya. Dan kini, dia tengah menyandarkan kepalanya ke dinding yang berada tepat di belakang kursi yang sedang kami duduki.
Disaat aku mencoba beranjak dari tempat dudukku, Rey meraih tanganku.
“Jangan kemana-mana.”, ujarnya dengan suaranya yang melemah.
“Aku mau beli minum. Kamu pasti haus kan?”
“Engga.”
Mau ga mau, aku kembali duduk disampingnya dengan tanganku yang masih dalam genggamannya, rasa-rasanya demamnya makin tinggi.
Kami pun saling terdiam setelahnya.
Tak lama dari itu, kami pun dipanggil untuk ke ruangan dokter. Katanya, dokter mau nginformasiin tentang hasil pemeriksaan darah Rey.
“Suster, bisa ga kalau saya saja yang menemui dokter? Pasiennya menunggu disini?”, tanyaku setelah melihat kondisi Rey yang makin tak bertenaga.
“It’s okay Nes. Aku masih kuat!”
“Boleh pinjem kursi roda ga, Suster?”, tanyaku lagi.
Suster itu pun dengan cekatan segera mengambilkan kursi roda untuk aku bisa membawa Rey ke ruang dokter.
Rey yang sudah tidak bisa membantahku, hanya menuruti apa yang aku suruh.
Setelah Rey duduk dengan nyaman di kursi roda, aku segera mendorongnya ke ruangan dokter yang berada di paling ujung. Aku yakin, kalau Rey harus jalan sejauh ini, dia bakal pingsan di tengah jalan!
Ditambah lagi, hasil labnya mendiagnosa Rey terkena tifus.
Dan dokter meminta Rey untuk di opname selama beberapa hari ke depan.
“Nes, kalau bisa aku rawat jalan aja ya?”, bisiknya.
“Tapi, kalau rawat jalan, siapa yang ngerawat kamu?”
“Kamu..”, jawabnya dengan tatapan penuh iba.
“Kalau kamu balik ke hotel, aku ga bisa ngerawat kamu di hotel. Tapi kalau kamu dirawat di rumah sakit, aku bisa jagain kamu.”
“Yaudah kalau gitu aku mau kamar yang VVIP ya, yang ada tempat tidurnya untuk kamu.”
“Iyaa..”
Setelah aku bujuk, Rey pun mau untuk di-opname. Lalu, dia mendapatkan tindakan medis selanjutnya oleh dokter dan perawat. Sedang aku, aku sibuk mengurus segala administrasi yang dibutuhkan agar Rey segera mendapatkan kamar.
Sebelum itu, Rey memberikan kartu debitnya padaku. Jadi aku ga perlu bingung perkara biayanya.
“Pinnya agnes ya.”
“Hm? Kan pinnya berupa angka Rey?”
“Iyaa. Agnes. 246377.”
Ternyata, maksud Rey pinnya agnes tuh, a untuk angka 2, g untuk angka 4, n untuk angka 6, e untuk angka 3, dan s untuk angka 7. Hahaha ada-ada aja sih dia😅
***
Setelah kelar ngurusin segala administrasi rumah sakit yang dibutuhkan, akhirnya Rey pun dipindahkan ke kamar yang dia mau.
Yang harga semalamnya sama dengan uang sakuku selama sebulan.🥹
“Nes, makasih yaa..”, ujarnya setelah hanya ada kami berdua di kamar mewah itu.
“Iya sama-sama. Sekarang, makan dulu ya? Baru tidur.”
“Hm aku mau shalat dulu boleh?”, tanyanya.
“Iya boleh. Selagi kamu shalat, aku juga shalat ya. Berani kan sendirian?”, tanyaku.
“Kamu mau kemana?”
“Ke mushollah, di bawah.”
“Hehe kata suster ada sajadah dan mukenahnya kog disini.”
“Ohiya? Hehe yaa maap ga tau.”
Rey pun segera bertayamum. Aku segera berwudhu’.
Setelahnya kami shalat sendiri-sendiri. Rey shalat dengan posisi tidur, aku shalat dengan posisi berdiri tepat disamping ranjangku, yang berjarak sekitar 3-4 meter dari ranjang Rey.
“Nes, kamu nanti gkskskskkzzz?”, tanya Rey dengan suaranya yang tak terdengar jelas, tepat disaat aku tengah melipat mukenahku.
“Kenapa Rey? Aku ga denger…”, tanyaku yang kini berjalan mendekatinya.
“Kamu ga malem mingguan nanti?”
“Owalah aku kira nanya apaan.”
“Jadi?”
“Yaa kalau semisal malem mingguan pun yaa aku batalin lah.”
“Oh jadi sebenernya ntar malem udah ada acara ya?”
“Hehe iya. Tapi gapapa kog. Yaudah sekarang makan ya. Aku suapin.”
Aku menyuapi Rey bubur dan sop ayam yang ayamnya udah di suwir-suwir kecil dan wortelnya dicincang tipis.
“Nes…”
“Hm?”
“Kamu ada acara apa nanti malem?”
“Hm kamu pengen tau aja atau pengen tau banget?”, godaku.
“Ish.”
“Abisin dulu makannya, nanti aku kasih tau.”
Siapa sangka, Rey benar-benar menuruti omonganku.
“Jadi, kamu ada acara apa?”, tanyanya setelah bubur dan sopnya sudah benar-benar bersih dari mangkoknya dengan sangat cepat.
“Hm janji ga kecewa setelah aku kasih tau ya?”
“Iyaa..”
“Jadi, aku nanti ada janji untuk ngajarin temen. Senin besok dia disuruh simulasi gitu.”
“Boong.”
“Dih, beneran. Emang kamu mikirnya aku ada acara apaan?”
“Kencan!”
“Hahaha. Jadi kamu berharap aku ada kencan nih ntar malem?”
Rey ga menjawab. Ngambek kayanya.
Aku pun tak berusaha untuk membujuk Rey saat dia diemin aku.
Sampai sebelum perutku berbunyi dengan sangat kencang disaat Rey baru saja meletakkan handphonenya dan berusaha untuk memejamkan matanya.
“Oopps!”, ujarku.
“Haha anarkis juga cacing-cacing di perut kamu ya?”, tuhkan, Rey bakal baik-baik dengan sendirinya. Hehehe.
“Rey, aku tinggal untuk beli makan di kantin ya?”
“Ga mau.”
“Hmm tapi cacing-cacingku uda teriak-teriak gini..”
“Hehehe. Sabar ya, bentar lagi makanannya sampe.”
“Dih, kamu pesenin aku makan? Emang bisa?”
“Bisa dong. Sekarang kan teknologi makin canggih. Saat kamu pengen makan apa, tinggal order aja. Ntar ada driver yang anterin.”
“Emang iya? Kog aku baru tau?”
(Hehehe saat itu g*food, gr*bfood, masih baru-baru muncul di Jakarta. Dan aku taunya ya dari Rey.)
Dan kerennya lagi, pesanan yang dipesan Rey hari itu, benar-benar dianterin sampe depan kamar. Tapi yang anterin tuh Bapak Securitynya gitu.
“Rey, kog kamu tau aku lagi pengen makan hokben sih?”
“Jangan-jangan kita??”, goda Rey.
“Hahaha engga-engga. Ga ada yang begituan!!”, sahutku yang direspons dengan tawa oleh Rey.
Disaat makananku sudah hampir habis, Rey tertidur dengan tangan kanan -yang diinfus- ditekuk dan hendak diletakkan di atas dahinya.
Alhasil aku segera loncat dari kasurku dan meletakkan kembali tangan kanannya di posisi yang aman.
Kalau ngeliat Rey sedang tertidur begini, aku jadi ingin memeluknya dan juga ingin mencium keningnya. Berharap dengan pelukan dan ciuman itu, Rey bisa cepat pulih dan rasa rinduku untuknya perlahan musnah.
Tapi, aku ga seberani itu hehehe.
Ga bisa dipungkiri, selama aku berada di dekat Rey, apalagi disaat dia tiba-tiba menggenggam tanganku, rasanya ingin sekali aku membalas untuk menggenggamnya.
Tapi yang bisa ku lakukan hanya berpura-pura untuk acuh dan membiarkan dia saja yang menggenggam.
Bahkan, kenangan manis antara aku dan dia, sering terlintas dibenakku disaat aku diam-diam memperhatikan Rey.
Saat dia memelukku dulu, hangatnya masih bisa kurasa hingga kini.
Saat dia mengecup pipi, kening, dagu, dan bibirku dulu, rasanya masih bisa kurasa dengan sangat jelas hingga kini.
Namun, kenyataan bahwa dia pergi meninggalkanku, kenyataan bahwa dia memutuskanku secara sepihak, membuatku tersadar dari angan dan kenangan yang tersisa.
Berharap, aku bisa melangkah ke depan dengan pintu hatiku yang perlahan kembali terbuka untuk seseorang yang tak akan pernah melepaskanku dengan mudah.
Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak ‘baper’ atas sikap dan perkataan Rey padaku selama aku merawatnya.
Sekuat tenaga aku berusaha menganggapnya seperti seorang teman yang sedang membutuhkan bantuanku, membutuhkan waktuku, dan membutuhkan tenagaku untuk membuatnya kembali pulih seperti sebelumnya.
“Siapa yang nelpon Nes?”, tanyanya di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tepat setelah aku selesai telponan.
“Hm temen.”
“Cowok?”
“Hmm iyaa.”
Rey terdiam.
“Kamu kebangun gegara aku bisik-bisik di telpon ya?”, tanyaku kemudian.
“Kenapa harus bisik-bisik telponannya?”
“Yaa biar kamu ga kebangun..”
“Oh. Bukan karena kamu ga mau aku tau kalau kamu uda punya pacar?”
“Memang kenapa aku harus bersikap kaya gitu ke kamu?
“Yaa aku ga mau aja kalau kamunya uda punya pacar, tapi malah nemenin aku disini.”, Rey mulai meninggikan nada suaranya.
“Maksud kamu?”
“Yaa udah sana, sama pacar kamu aja! Ga usah nemenin aku kaya gini!”, Rey makin meninggikan nada suaranya.
“Rey.. kog marah-marah sih? Ini kamu marah karena aku telponan sama cowok atau kamu marah karena menganggap aku udah punya pacar?”, tanyaku sembari mengusap-ngusap keningnya.
Rey lagi-lagi ga mau menjawab pertanyaanku.
“Aku tuh belum punya pacar, Rey. Dan tadi, cowok yang nelpon aku, itu temen aku, yang ngegantiin aku ngajar malam ini. Siang tadi aku uda bilang ke kamu, kalau malam ini, aku ada janji buat ngajarin temen kan?”
Rey masih terdiam. Wajahnya juga masih dia tekuk.
“Kenapa kog marah-marah? Hm?”, tanyaku lagi masih ngelusin keningnya.
Tanpa bicara, dia menekan tombol yang berada tak jauh dari ranjangnya. Rupanya dia memanggil perawat.
‘Gini ini Rey, kalau lagi marah pasti akunya didiemin. Padahal tadi yang nelpon aku itu Ari, teman se-batch aku. Bukan siapa-siapa. 🥲’
Saat perawat tiba di kamar, rupanya Rey meminta perawat itu untuk memapahnya ke toilet.
‘Kalau emang Rey maunya gitu, kenapa harus ada aku yang ngejagain dia disini? Yaudah sana minta tolong sama perawat aja!! Kesel banget aku hiks!’
Aku yang sudah ga sanggup menahan emosi, berkeputusan untuk pergi dari kamar Rey. Tapi ga berniat untuk ninggalin Rey begitu aja sih. Cuma pengen cari udara segar gitu. Tapiii, kalau semisal Rey ga nyariin aku atau ga nelpon aku, yaa mending aku balik mess aja.
Alhasil, selama aku berjalan menyusuri lorong menuju lobby, aku seperti orang linglung karena memikirkan kemungkinan bagaimana jika ternyata Rey ga berusaha menelponku atau mencariku. Huhu dasar aku, labil!
Di seberang rumah sakit, ada banyak penjual makanan dan minuman. Aku pun memilih untuk membeli sebotol aqua dingin sembari duduk melihat sepeda motor dan mobil yang berlalu lalang.
Sudah tiga puluh menit berlalu, namun Rey belum juga menelponku.
‘Coba tunggu 30 menit lagi. Kalau Rey masih ga nelpon, yaudah pulang aja ya’, ujar bathinku.
Gini ini, padahal kalau mau balik mess yaa tinggal balik aja ya kan? Kenapa harus nunggu-nunggu dan berharap Rey bakal nelpon sih?
Entah apa yang merasukiku malam itu. Di lubuk hatiku yang paling dalam mengatakan bahwa Rey pasti mencariku.
Dan benar, di menit 40 setelah aku pergi meninggalkannya, dia menelponku.
Sengaja tak aku angkat dengan segera.
Biar dia juga tau rasanya diabaikan.
Di deringan ke tiga, aku berubah pikiran lagi dan lagi. Gimana kalau ga aku angkat sekarang, dianya ga bakal nelpon aku lagi?
Hufh!
“Halo..”, akhirnya aku jawab telponnya.
“Kamu dimana?”, tanyanya.
“Mau pulang ini..”
Rey tak merespons.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Jangan pulang..”
“Kan kamu udah ga butuh aku lagi..”
Rey terdiam.
“Kamu udah jauh dari rumah sakit?”, tanyanya kemudian.
“Iya.. nanti kalau kamu butuh apa-apa, panggil perawat aja kaya tadi. Ya?”
Rey segera mengakhiri panggilannya.
Hehehe aku tau dia kesel karena dipojokkan kaya gitu. Dan dia juga kesel karena aku bersikap ga peduli sama dia.
Karena aku ga mau nih dia makin parah sakitnya, demi kebaikannya, aku pun segera berlari menuju kamarnya.
Dan, saat aku baru saja membuka pintu kamarnya secara perlahan, aku melihat ada seorang perempuan yang sedang duduk di dekat ranjang Rey. Ia duduk membelakangi pintu masuk, membelakangiku.
Terlihat mereka sedang asik berbincang dan bersenda gurau.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Saat aku hendak menutup kembali pintu kamar Rey, aku melihat ada sebuah koper hitam di belakang perempuan itu duduk, koper khas milik pramugari, yang ternyata sama dengan koper yang aku miliki.
###
Diubah oleh aymawishy 17-05-2023 12:08
JabLai cOY dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas
Tutup