Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Udah tenang aja, ntar gw yang ngatur…” Jawabnya santai, sambil kembali menyandarkan kepalanya di bahu gua. Kala itu kami berdua duduk di kursi belakang sebuah taksi menuju ke rumah Larissa.
Sebelumnya, Larissa merengek minta diantar pulang dengan angkutan umum. Namun, dengan kondisinya sekarang jelas gua menolak. Gua sebenernya tau alasan Larissa bersikeras nggak mau pulang naik taksi dan memaksa untuk naik angkutan umum. Iya, bener, karena gua nggak punya duit.
Entah sudah berapa hari ini bokap gua nggak pulang, jadi jatah uang saku bulanan gua belum diberikan. Selama ini, gua hanya bertahan hidup dengan uang tabungan yang sengaja gua sisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli sepeda motor.
Larissa akhirnya menyerah dan setuju untuk diantar pulang dengan taksi. Tapi, tentu ada syaratnya; “Kita bayar ongkos taksinya patungan yah, bi..” Sarannya kala itu.
“Kalo buat bayar taksi doang, duit gua masih ada, Sa…”
“Ya kalo lo gak mau patungan, kita naek angkot aja…” Balasnya sambil buang muka.
“Yaudah, oke kita patungan…”
---
Taksi berhenti tepat di muka rumah Larissa. Angka di layar argo dashboard taksi menunjukkan angka 35 ribu. Gua merogoh saku celana dan mengeluarkan dua lembar 10 ribuan dan menyerahkannya ke Larissa. Ia dengan cepat mengambil uang yang gua sodorkan, mengeluarkan selembar pecahan 50 ribu dan menyerahkannya ke supir taksi, tanpa meminta kembalian.
“Makan dulu ya, Bi…” Ujar Larissa sambil menyeret gua masuk ke dalam rumahnya.
“Nggak usah, Sa.. gua makan di rumah aja…” Gua berusaha menolak. Namun Larissa tetap memaksa.
“Sa, sebenernya gua nggak enak ngerepotin keluarga lo mulu. Numpang makan terus…” Bisik gua ke Larissa saat kami berdua tengah duduk di kursi ruang makan. Sementara, di hadapan kami terhidang aneka menu makanan lengkap; dari mulai dari Appetizer, Main Course,dan Dessert. Sebuah kemewahan ‘sederhana’ yang baru pertama kali gua rasakan.
“Yaelah, nambah porsi buat lo doang nggak bikin bokap gw bangkrut, bi…” Ujarnya santai, sambil terus melanjutkan mengambil lauk di atas meja.
Selesai makan, Larissa memberi titah; “Tunggu disini, jangan pulang dulu…” sambil menunjuk ke arah sofa ruang keluarga. Ia lalu bergegas naik ke atas, menuju ke kamarnya. Beberapa menit berikutnya, ia kembali. Kali ini sudah berganti pakaian, dengan kaos putih kebesaran dan celana pendek yang nyaris nggak terlihat karena tertutup kaosnya. Ia menggenggam sebuah CD di tangannya.
“Discman gw masih ada sama elo kan?” Tanyanya dalam perjalanan ke posisi dimana gua duduk.
“Masih, besok gua balikin…” Jawab gua pelan.
“Nggak usah, itu buat lo aja..”
“Hah?”
“Nih, kado ‘beneran’ buat lo…” Larissa menyodorkan CD tersebut. Sementara, gua nggak langsung mengambil CD tersebut, hanya menatap dirinya yang terlihat cantik, walau hanya dengan setelan tidur.
Melihat gua yang diam saja dan nggak langsung mengambil pemberiannya, Larissa meraih tangan kemudian meletakkan CD tersebut dalam genggaman gua.
“Tapi kan, gua nggak ngasih lo kado apa-apa…” merasa nggak enak, karena nggak bisa memberikannya kado apa-apa sebagai hadiah ulang tahun.
“Lah, gw kan udah dapet voucher dari elo…” Responnya sambil melipat tangannya di dada.
“Makasih ya…” Ucap gua sambil kemudian berdiri dan bersiap untuk pulang.
“Nggak peluk dulu?” Tanyanya sambil membentangkan kedua tangannya. Gua tersenyum, kemudian mendekat lalu mulai memeluknya. Larissa berjinjit dan berbisik; “Voucher dari elo itu kado terbaik yang pernah gw dapet seumur hidup, dituker sama apapun gw nggak bakal rela…”
“Udah sana pulang, ntar kemaleman…” Ucapnya sambil perlahan melepas pelukan. Gua tersenyum menatap matanya, kemudian berbalik dan melangkah pulang.
Di dalam angkot dalam perjalanan pulang, gua duduk sambil memandangi CD pemberian Larissa. Sebuah album musik dengan cover bergambar pintu yang sedikit terbuka dengan pantulan cahaya pelangi. Pada pintu tersebut terdapat tulisan yang berbunyi; ‘Diorama, Silverchair’. Gua memasukkan CD tersebut ke kantung besar jaket yang gua kenakan, lalu tangan gua merasakan sesuatu yang lain di dalam kantong, terasa seperti kertas. Gua meraih dan mengeluarkannya; Dua lembar 10 ribuan.
Gua menatap lembaran uang tersebut sambil tersenyum dan membayangkan gimana cara Larissa mengembalikan uang yang tadi gua gunakan untuk membayar ongkos taksi. ‘Dasar, mau menang sendiri’ batin gua dalam hati.
---
“Kemaren di kantong jaket gua ada duit 20 ribu…” Bisik gua ke Larissa yang tengah berdiri di hadapan gua. Kami tengah berbaris di lapangan, dalam rangka acara seremonial kenaikan kelas. Tak seperti proses pembagian kelas tahun pertama, kali ini nama-nama siswa sudah di tempel di pintu kelas masing-masing. Jadi, para siswa harus berkeliling ke setiap kelas untuk bisa tau dia ditempatkan di kelas mana. Namun, sebelum hal itu terjadi, seperti biasa, para siswa harus mengikuti acara nggak penting yang isinya hanya pidato klise pak kepala sekolah.
“Informasi yang sangat berarti ya buat gw…” Jawabnya pelan, sementara matanya masih menatap ke depan, ke arah pak kepala sekolah yang masih sibuk pidato.
“Kapan lo masukin ke kantongnya?” Tanya gua. Larissa nggak menjawab, ia hanya mengangkat kedua bahunya.
“Kan kita udah sepakat, bayar taksinya patungan…” Gua kembali menunduk dan berbisik ke arahnya. Lagi, Larissa nggak merespon.
Begitu pidato kepala sekolah berakhir, para siswa diizinkan untuk bubar dan mulai mencari kelasnya. Larissa berbalik, dengan topi putih abu-abu dan dasi panjang berwarna senada ia terlihat sedikit berbeda. Matanya menatap gua tajam; “Ya udah sih, ngapain ngeributin duit 20 ribu…” Ucapnya.
“Gw tau lo kan lagi nggak punya duit…” Larissa mulai bicara kembali, begitu kami berdua berjalan menyusuri koridor lantai dua sekolah, untuk mencari kelas kami.
“Iya, tapi kalo cuma 20 ribu mah gua masih punya, Sa…” Respon gua pelan.
“Ya, 20 ribunya daripada buat bayar taksi, kan bisa buat lo beli makan, kemaren gua liat kulkas lo kosong…”
“...”
“Bokap lo belum ngasih uang bulanan kan?” Tanyanya, seakan tahu segalanya tentang gua.
Gua menggeleng, pelan.
Percakapan kami lalu terganggu dengan suara panggilan dari Sekar. “Sa.. Sasa…” Panggilnya dari kejauhan. Sekar lalu berlari ke arah kami berdua.
“Lo kelas 2-1, sekelas sama gw, Sa…” Info Sekar yang bicara dengan nafas tersengal-sengal.
“Yeay…” Teriak Larissa senang.
“Bian, kayaknya kelas 2-5 deh, sekelas sama Dita” Sekar memberi informasi tambahan. Informasi yang tentu saja membuat perubahan ekspresi di wajah Larissa. Ia berbalik, dan menuju ke kelas 2-5 yang terletak di posisi paling ujung koridor lantai dua. Gua dan Sekar berjalan mengikutinya.
Di depan kelas 2-5 terlihat beberapa siswa masih berkumpul sambil memandang ke arah kertas ukuran A4 yang tertempel di pintu kelas. Larissa menyeruak kerumunan, menatap ke atas kertas tersebut, sementara jarinya meniti daftar nama-nama yang tertera di sana. Nggak lama, ia berbalik melangkah pelan dan berjalan ke arah gua. Dalam diam ia meraih lengan gua dan mulai menariknya, sementara Sekar hanya bisa berdiri diam, tenggelam dalam kebingungan.
“Janji sama gw…” Ia mulai buka suara, setelah diam cukup lama.
“Janji apa?” Tanya gua sambil menyandarkan diri pada dinding di halaman belakang sekolah.
“Jangan genit ke Dita..” Tambahnya.
Gua mengernyitkan dahi, kemudian meraih bahunya dan menariknya, membuat posisinya kini menghadap ke arah gua. “Emang pernah gua genit sama cewek?” Tanya gua.
Larissa menggeleng.
“Tapi kan… bisa aja ceweknya yang genit ke elo, bisa kaaan?” Tanyanya, wajahnya masih menunduk, seperti nggak berani menatap gua.
“Bisa..” Gua menjawab jujur. Mendengar jawaban singkat gua barusan, sebuah pukulan mendarat di ginjal kanan gua.
“Ya terus gua harus gimana, Sa… emang boleh tukeran?” Tanya gua, sambil memegangi bagian perut yang dipukulnya.
“...”
“Lagian, kenapa sih ama Dita? gua kan ga ada apa-apa sama dia…”
Larissa nggak merespon. ia menatap dan memberikan kode agar gua sedikit membungkuk sehingga kali ini tatapan kami setara. Masih dengan tatapan ala pembunuh berdarah dingin, ia mulai menjepit bibir gua dengan tangan dan menariknya. “Pokoknya, kalo gw sampe denger atau liat keganjilan antara lo sama Dita.. gw ajak lo ke tukang tato, dan bikin tato nama gw di jidat lo...”
Gua mengangguk pelan, nggak bisa menjawab karena ia masih menarik bibir gua.
---
Gua duduk di kursi yang tersisa, di deretan kedua dari belakang dengan posisi menempel pada dinding kelas. Sementara Dita, yang kebetulan sekelas dengan gua, duduk disebelah kiri kursi gua. Kami hanya dipisahkan oleh sebuah kursi yang diduduki oleh cewek tinggi, berambut pendek dengan wajah yang nampak serius. Hari ini merupakan hari pertama kami masuk sekolah sebagai murid kelas 2 SMA. Gua memandang sekeliling, menatap wajah-wajah baru yang sebelumnya hanya gua temui saat berjalan di koridor atau di koperasi sekolah.
Larissa masuk kedalam kelas, matanya berkeliling. Begitu menemukan posisi gua duduk, ia berjalan mendekat. Sambil berjalan tentu saja, matanya kembali memperhatikan siswa-siswi yang duduk di sekitar gua. Pandangannya lalu terhenti pada Dita, yang melambaikan tangan dan menyapanya. Larissa pasang tampang sumringah dan bergegas menghampiri Dita, mereka terlihat asyik berbincang sambil ketawa-ketiwi.
Nggak lama berselang, ia datang menghampiri gua dan meletakkan kotak bekal kecil diatas meja. Ia membungkuk dan berbisik; “Kenapa lo pilih duduk disini? biar deket sama Dita?”
“Ya, tempat yang kosong tinggal disini” Jawab gua pelan.
Ia nggak mersepon jawaban gua, hanya menganggukkan kepalanya, kemudian pergi. Sebelum meninggalkan kelas, ia menyempatkan diri kembali menyapa Dita, sambil mengumbar senyum. ‘Hah, penuh kepalsuan’ batin gua dalam hati.
Tepat saat bel istirahat selesai berbunyi. Dita menghampiri gua, ia menarik salah satu kursi yang berada disekitarnya kemudian duduk. “Lo bawa bekal?” tanyanya, begitu melihat gua mengeluarkan kotak bekal kecil yang tadi pagi Larissa berikan ke gua.
Gua nggak menjawab, hanya mengangguk pelan, sementara pandangan tetap tertuju ke kotak makan. Nggak berani menatap wajahnya.
“Makan bareng yuk…” Ajaknya. Ia bangkit, bergegas kembali ke mejanya, mengambil kotak makan dari tas miliknya dan kembali duduk di sebelah gua.
Dita meletakkan kotak bekal makan siangnya di atas meja dan mulai membukanya. Kotak bekal milik Dita cukup besar, bagian dalamnya terdapat sekat-sekat yang digunakan untuk memisahkan lauk-lauk dan nasi. Gua melirik ke arah menu makan siang miliknya; Seporsi nasi putih, rendang, telur balado, tumis capcay, dan kerupuk.
Kemudian berpaling ke menu makan siang dari Larissa. Gua membukanya perlahan; Nasi goreng dengan telur mata sapi. Dita melirik ke arah kotak makan siang gua; “Wah, nasi goreng… Mau tukeran, Bi?” Tanyanya.
Tanpa menunggu persetujuan gua, Dita mulai memindahkan kotak makan siang miliknya ke hadapan gua dan mengambil kotak makan gua.
“Eh… Dit..” Belum selesai gua bicara, terdengar lantang suara bantingan pintu kelas; ‘Jdar!’. Sontak gua berdiri lalu mengintip melalui jendela kelas. Larissa tengah berjalan cepat menjauh dari muka kelas gua.
“Sorry Dit…” Ujar gua sambil merebut kotak bekal gua yang kini berada ditangannya. Dan segera berlari menyusul Larissa.
---
“Sa.. Sa..” Panggil gua pelan begitu jarak antara kami sudah dekat. Ia nggak menggubris panggilan gua dan tetap melangkah. Tiba di depan kelasnya, Larissa lalu masuk kedalam. Gua menghentikan langkah di ambang pintu, memandang ke dalam kelas Larissa yang cukup ramai dan disesaki oleh orang yang nggak gua kenal.
Ragu-ragu, gua melangkah pelan masuk ke dalam kelasnya. Dari ekor mata terlihat beberapa mata memandangi gua yang tengah berjalan menuju ke tempat Larissa duduk. Samar terdengar suara bisikan para cewek; “Iya itu cowoknya Sasa..” “Kelas berapa?” “Kok Sasa mau ya?”
“Sa..” Gua kembali memanggilnya, begitu tiba di sisi mejanya. Larissa duduk terdiam, memandang kosong ke arah lain. Di hadapannya terdapat, kotak makan siang yang identik dengan yang saat ini gua bawa, yang membedakan hanya motif dan warna pada bagian tutup kotaknya.
Gua berlutut dilantai, sementara kedua tangan gua sandarkan di meja milik Larissa, sambil tetap memanggilnya; “Sa…”
Setelah beberapa saat barulah Larissa berpaling dan kini menatap gua. Tetap tenggelam dalam kebisuan ia lalu menggelengkan kepala, seakan nggak percaya dengan apa yang sudah dilihatnya tadi. Ia lalu berdiri, mengambil kotak makan siangnya dan pergi. Gua mengikutinya dari belakang.
“Sa…” Gua kembali memanggilnya. Kami sudah berada di halaman belakang sekolah.
“Apaa?!” Larissa tiba-tiba membalik tubuhnya dan berteriak ke arah gua. Sementara, gua hanya menunduk, nggak berani menatap wajahnya.
“...”
“Udah sana, balik ke kelas, kan enak bisa makan siang bareng sama Dita, Bisa tuker-tukeran makanan lagi…” Ucapnya.
Larissa mengambil kursi tanpa sandaran yang tergeletak di sudut dinding dan mulai duduk. Ia meletakkan kotak makannya di pangkuan, membukanya dan mulai makan. Matanya mulai berlinang, sesekali ia mendongak, berusaha agar air matanya tak jatuh dan menetes. Sementara, tangannya terus menyuap nasi goreng kedalam mulutnya yang mungil.
“Padahal, ini gw bikin sendiri nasi gorengnya, buat elo…” ia mulai bicara pelan, dengan mulutnya yang penuh makanan.
Gua duduk disebelah Larissa, bersandar di kedua kakinya, membuka kotak bekal dan mulai makan. Lalu, kami berdua makan dalam diam, yang terdengar hanya suara sesenggukan dari Larissa.
Belum habis bekal miliknya, Larissa lalu menutup kotak bekal. Ia membelai lembut rambut gua dan bertanya; “Gw cemburuan banget yah?” sambil masih tetap sesenggukan dan sesekali menyeka matanya.
“Iya” Gua menjawab, sambil menutup kotak bekal bagian gua yang sudah habis.
“...”
“Maaf ya Sa…” Gua menambahkan.
Ia mengangguk.
Gua berdiri dan menggapai tangan Larissa dan mulai menggandengnya pergi dari halaman belakang sekolah. Rasa nggak nyaman mulai muncul di tenggorokan, akibat makan yang terlalu cepat dan lupa bawa minum. Dan akhirnya gua mulai cegukan; ‘Hik…’
‘Hik…’ Terdengar suara dari Larissa yang sepertinya nggak luput dari masalah sama, ia juga cegukan. Namun sepertinya penyebab Larissa cegukan bukan karena makan terlalu cepat atau lupa nggak bawa minum, melainkan karena makan sambil nangis.
Gua mengabaikan cegukan yang kami berdua rasakan dan melanjutkan menuju ke kelas. Banyak mata menatap kami berdua, karena untuk pertama kalinya gua menggandeng tangan Larissa ditempat umum. Dan, juga karena suara cegukan kami berdua yang terdengar saling bersahut-sahutan. Tiba didepan kelas, gua berjalan menghampiri Dita yang tengah ngobrol bersama Sekar sambil bersandar pada railing koridor. Keduanya seperti tengah memperhatikan seseorang yang berada di lantai dasar.
“Dit…” Panggil gua.
“Eh, Bi…” Jawabnya, sambil tersenyum. Pandangannya lalu beralih ke genggaman tangan gua dan Larissa. Sementara, Larissa hanya diam, nggak berkata apa-apa. Ia berdiri tepat di belakang gua.
“Eh,... Sorry lho Bi, Sa.. Sorry ya…” Ucap Dita sambil menyatukan kedua telapak tangannya dan sesekali melirik ke arah Larissa.
“...”
“Gw tuh cuma pengen nemenin Bian aja, Sa… Nggak ada apa-apa lho…” Jelas Dita, sementara matanya mencoba mencari-cari Larissa yang masih berdiri di belakang gua.
Perlahan, Larissa menggeser posisi berdirinya. Masih tetap di belakang gua, tapi kali ini ia memperlihatkan wajahnya. “Iya, ‘Hik’... Gapapa Dit.. Besok-besok ‘Hik’... gw aja yang nemenin Bian…‘Hik’... ”
“Ini ada apaan sih sebenernya? Kenapa gw selalu jadi orang yang nggak tau apa-apa sih…” Sekar angkat bicara, ia menatap kami bertiga satu per satu.
“Ada yang mau cerita ke gw nggak?!” Tambahnya bersungut-sungut sambil pasang tampang kesal.
“... Trus kenapa lo berdua cegukan kayak gitu bukannya minum?” Sekar lanjut ngomel sambil menunjuk ke arah kami berdua.
Kemarahan Sekar lalu terhenti saat bel berbunyi tanda istirahat telah berakhir. Ramai suara langkah kaki para siswa-siswi berlarian di sepanjang koridor menuju ke kelas masing-masing. ‘Save by the bell’ batin gua dalam hati. Sekar lalu menarik tangan Larissa, melepaskannya dari genggaman gua dan mengajaknya kembali kedalam kelas. Sementara Dita masih menatap gua sambil tersenyum.
“Sorry ya, Dit…’Hik’..” Ucap gua.
Dita mengangguk; “Gapapa, Bi.. Santai aja…” Jawabnya. Ia lalu mendorong tubuh gua masuk ke dalam kelas.
Love Bites - Def Lappard
If you've got love in your sights
Watch out, love bites
When you make love, do you look in the mirror?
Who do you think of, does he look like me?
Do you tell lies and say that it's forever?
Do you think twice, or just touch 'n' see?
Ooh babe ooh yeah
When you're alone, do you let go?
Are you wild 'n' willin' or is it just for show?
Ooh c'mon
I don't wanna touch you too much baby
'Cos making love to you might drive me crazy
I know you think that love is the way you make it
So I don't wanna be there when you decide to break it
No!
Love bites, love bleeds
It's bringin' me to my knees
Love lives, love dies
It's no surprise
Love begs, love pleads
It's what I need
When I'm with you are you somewhere else?
Am I gettin' thru or do you please yourself?
When you wake up will you walk out?
It can't be love if you throw it about
Ooh babe
I don't wanna touch you too much baby
'Cos making love to you might drive me crazy