Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.7K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#63
Cinta Bersyarat_Part 1 (POV Ija)
Dalam benak gue, gue hanya ingin menikahi Emi. Gue sangat yakin bahwa Emi adalah cewek terbaik yang diciptakan Tuhan untuk jadi pendamping gue. Dia adalah cewek yang paling sempurna bagi gue, yang dapat membawa kehidupan gue ke arah yang lebih baik. Gue yakin itu, ya setidaknya untuk saat ini gue meyakini itu.

Gue hanya berharap dengan segala kesalahan yang selama ini gue buat pada dia, Emi masih mau menerima gue. Kalau bapaknya, ya pasti menerima karena bapaknya nggak tau apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Emi bener-bener menjaga semua yang dia rasakan selama bersama gue ke kedua orangtuanya. Bahkan mungkin nggak cuma ke kedua orangtuanya, Emi juga menjaga semuanya dari semua temennya. Buktinya sekarang udah nggak ada lagi temen-temennya yang ngeresein hubungan kita berdua. Walaupun memang hubungan ini jadi terasa rese karena salah gue selama ini, yang nggak bisa menjaga amanah Emi untuk setia sama dia.

Gue cuma merasa takut. Takut gue ngerasa bosan sama Emi dan akhirnya gue malah secara impulsif memilih untuk berpisah dengan Emi. Jadi sebagai selingan dan murni keisengan diri gue, gue memilih untuk ya… mendekati mereka.

Karena memang kondisinya nggak memungkinkan untuk ngebahas di motor, gue dan Emi memutuskan untuk melanjutkan obrolan kami di rumah dia. Di dalam kamar dia… Kedua orang tuanya ada di kamar mereka. Jadi mungkin mereka nggak sadar dengan kehadiran kami di rumah.

Aku punya syarat kalau kita mau ngelanjutin pernikahan ini, Zy. Ada dua syarat. Dan kamu harus milih salah satunya.” Tanpa basa basi, setelah kami berdua sampai di rumah Emi, dia kembali mengulang kalimat yang dia ucapkan di motor sebelumnya.

Mendengar ulang ucapan dia itu membuat gue agak risih awalnya. Dalam benak gue, gue berpikir “Kenapa sih sesuatu yang seharusnya mudah malah dipersulit sendiri? Mama udah membebaskan gue memilih jalan hidup gue. Bapaknya udah kasih jalan gue untuk meminang anaknya. Eh anaknya segala ngajuin syarat yang gue juga nggak paham maksudnya untuk apa… Padahal kan tinggal terima aja bukan? Menikah itu niatan yang baik, daripada pacaran kelamaan. Benar kan? Kenapa dipersulit? Emi kayak orang lain. Emi yang gue kenal, seharusnya nggak seribet ini.”

Kemudian Emi menjelaskan kenapa dia akhirnya mengajukan syarat begitu. Dalam satu ucapan yang panjang, dia berhasil menjelaskan ke gue bagaimana sebuah pernikahan itu seharusnya berjalan.

Zy… Aku tau, kamu males ribet dan pengennya cepet beres tanpa harus mikirin ini itu. Tapi Zy… Yang namanya pernikahan itu ya HARUS BERANI RIBET. HARUS BERANI MIKIRIN INI ITU. HARUS BERANI TANGGUNG JAWAB. HARUS BERANI BERKORBAN. Karena nikah itu yang dipikirin bukan cuma kamu doang. Nikah itu nggak cuman urusan kamu nikahin aku, ngew* halal, dan punya anak. Nggak gitu doang. Tapi di sana nikahin kedua kehidupan kita, kedua keluarga kita, kedua masa depan kita, dan kedua masa lalu kita. Nikah itu nggak cuman kamu nafkahin aku dan aku ngelayanin kamu. Tapi masih banyak hal kecil, hal sepele, hal ribet, hal nggak penting, yang tetep terus harus urusin dan pikirin. Kamu mau emang ngurus hal-hal ribet kayak gitu? Kalau nggak mau mending kamu nggak usah nikah dulu.

Mungkin ada cewek-cewek yang pernah gue deketin berpikir kayak begini. Tapi gue sudah yakin 100%, di antara mereka nggak akan mengingatkan hal ini ketika misalnya gue yang melamar mereka. Mereka pasti udah keburu seneng dan berpikir “Yeah! Gue udah nggak jomblo lagi! Gue udah laku! Gue bakalan jadi bini orang!” Tanpa memikirkan embel-embel lain sebagai bentuk konsekuensi adanya sebuah pernikahan itu.

Dan ini Emilya, jadi dia akan berpikir panjang. Apalagi ketika yang melamar dia itu adalah gue. Cowok brengs*k yang pernah menyakiti dia, mengecewakan dia, mengkhianati kepercayaan dia, dan mungkin bisa dibilang cowok yang nggak seharusnya mendampingi dia.

Tapi… Entah kenapa, Tuhan mengarahkan jalan hidup dan perjalanan cinta gue untuk berakhir di dia. Jadi gue akan melakukan segala cara untuk kembali mendapatkan dia ke dalam pelukan gue.

Kamu emang siap berubah?” Menurut gue, ini adalah pertanyaan aneh untuk ditanyakan pada waktu itu. Kenapa dia malah meminta gue untuk berubah setelah selama ini dia menerima gue apa adanya? Apa lagi yang harus gue ubah? Masa gue harus jadi pribadi yang baru ketika gue sudah menikah nanti?

Lo udah ngerasa sesempurna itu sampe lo nggak mau berubah lebih baik, Zy?” Percaya atau tidak, gue baru aja ngerasa yang namanya kalimat bisa menampar kita, right in my face. Gue akhirnya menanyakan ke diri gue sendiri. Apakah gue sudah sesempurna itu sampai gue merasa nggak ingin berubah? Masalahnya, selama ini memang semua cewek yang gue deketin atau deket sama gue nggak pernah komplain dengan diri gue. Mereka menerima gue apa adanya. Atau malah, selama ini gue yang memang nggak ada apa-apanya sampai mereka juga nggak bisa komplain apapun lagi?

… Karena di kondisi aku saat ini, aku siap untuk nolak lamaran kamu, Zy.” Di titik ini, gue rasanya menjadi orang yang paling nggak guna di dunia ini. Bahkan gue ditolak sama cewek yang paling berharga setelah ibu gue. Bahkan dia merasa siap untuk menolak lamaran gue, walaupun dia sudah tau bagaimana perjuangan gue untuk melamar dia?

Seorang Emi yang kesabarannya tanpa batasnya. Hatinya yang selalu lapang untuk selalu memaafkan segala kesalahan gue. Dan dirinya yang selalu rendah hati bersikap pada cewek-cewek yang gue deketin, yang malah berbalik menyakiti dia. Mendadak dia berpaling dari gue dan menjadi Emi yang bersikap seakan tidak pernah menginginkan gue lagi.

Gue di kondisi gundah. Apakah gue harus melanjutkan perjuangan ini atau lebih baik gue kembali pada Ara? Kalau gue melanjutkan perjuangan ini, gue harus sadar kalau kedepannya akan lebih ribet lagi dan mungkin nggak akan semudah yang gue bayangkan. Tetapi kalau gue nggak melanjutkan, gue juga nggak yakin apakah Ara mau menerima gue kembali atau apakah ada cewek lain lagi yang mau menerima gue yang tidak ada apa-apanya tanpa Emi?

Gue paham kok, Emi sudah teramat lelah dengan semua sikap dan diri gue ini yang memang bisa dibilang nggak tahu diri. Gue terlalu dienakin, dibikin nyaman, dan dibuat ketergantungan sama dia. Jadinya gue nggak sadar diri, terlena, dan berujung nggak tahu terima kasih. Gue paham dan sangat menyadarinya.

Salahnya gue, gue terlambat menyadarinya. Satu yang gue inginkan saat ini… Gue nggak mau Emi pergi, gue nggak mau meninggalkan Emi, dan gue nggak mau Emi menyerah pada gue. Gue mau mencoba dan memulai semuanya dari awal. Bukan hal yang salah bukan?

Emi kembali menampar gue dengan satu omongan panjang yang membuat gue ingin mati aja saat itu.

… Berapa taun aku berjuang buat terus pertahanin hubungan ini? Berapa taun aku harus ngerebut kamu dari cewek-cewek lain yang kamu deketin? Berapa kali kamu nyoba selingkuh? Berapa kali kamu nggak perjuangin aku dan nggak belain aku ke keluarga kamu? Bahkan sampe adik dan nyokap kamu segitu bencinya sama aku? Berapa kali, Zy? Pernah kamu mikir nggak ‘Gimana ya perasaan Emi kalau gue ngelakuin A?’ atau ‘Gimana ya perasaan Emi kalau gue deketin B?’ atau juga ‘Gue nggak boleh begini karena Emi udah ngelakuin C untuk gue.’ Pernah? Nggak pernah kan? Kamu dibanggain semua cewek itu! Kamu sekarang bisa nge-band lagi, bisa kuliah S2, bisa kerja freelance juga, bisa bangga-banggain diri ke semua cewek itu kalau kamu udah traveling ke tempat A atau B atau sekedar share ke mereka hasil diskusi kita... Siapa yang ngedampingin kamu? Aku? Atau ada yang lain? Tapi apa yang kamu bilang ke mereka? Kamu jomblo? Kamu ga sayang aku? Apa kita sahabatan? Menurut kamu, aku nggak sakit hati dibegituin?” Gue tarik napas sebentar. “Menurut kamu… Menurut kamu pas aku… Hmm. Diputusin kamu dulu… Aku nggak sakit hati? Aku nggak ngerasa aku tuh hina banget sampe mohon-mohon sama kamu buat ga diputusin? Menurut kamu aku biasa aja? Apalagi pas kamu ngajak balikan, Zy… Menurut kamu… Aku bisa dengan mudahnya ngelupain semuanya? Iya? Terus menurut kamu, enak ya aku dibentak-bentak sama kamu? Dikata-katain kasar? Dipaksa sama kamu... Rasanya enak gitu? Sedangkan pas aku lagi diperlakuin begitu sama kamu, di luar sana kamu sayang-sayangan sama cewek lain, lemah lembut sama mereka, bahkan kamu rela nyemangatin mereka. Enak menurut kamu? Menurut kamu aku mau digituin? Rela digituin? Iya?

Tuhan sangat sayang sama gue. Ketika gue memperlakukan cewek yang sangat gue cinta seperti itu, Tuhan ternyata telah memilihkan cewek yang berhati mulia. Dia nggak pernah meninggalkan gue selama gue menjalani kehidupan penuh kebodohan gue saat itu.

Emang pada dasarnya hati gue sudah terkontaminasi kebodohan dan keanehan manusia sampai kalimat maaf nggak bisa keluar dari dalam mulut gue. Gue hanya bisa berkata “Aku juga cuman sayang sama kamu, Mi…” Tanpa bisa memberikan bukti apapun kalau gue memang hanya sayang sama dia.

Pikiran gue melayang. Terbang sangat jauh. Membayangkan apakah gue bisa bersikap kayak begitu kalau dulu gue masih menjalani hubungan ini dengan Zalina, Keket, Anin, Harmi, Dee, Anis, Sofi, Nurul, Feni, Lira, Winda, Dwina, Rinda, Wila, dan lainnya (tolong bantu sebutkan kalau ada yang kelewatan) pernah dekat dengan gue. Gue juga membayangkan, kalaupun ternyata gue bersikap demikian kepada satu di antara mereka, apakah mereka masih mau menerima gue? Apakah mereka masih akan bolak balik memaafkan gue? Atau begini, apakah mereka masih mau bertemu dengan gue setelah berpisah, seperti gue dan Emi saat ini? Nggak yakin gue ketika mereka di posisi Emi dan menghadapi sikap gue, mereka akan tahan dan tetap bertahan sama gue.

Karena yang mereka tahu hanya kebahagiaan. Karena yang gue tawarkan kepada mereka hanyalah kebahagiaan. Karena yang mereka rasakan hanyalah gue yang siap sedia memberikan kebahagiaan pada mereka. Saat di sisi lain, Emi yang mengorbankan segalanya untuk gue agar gue bisa merasa bahagia. Dan blangsaknya gue, gue malah membagikan kebahagiaan itu dengan orang lain, bukan Emi.

Cewek mana yang mau diperlakukan begitu? Bener kata Emi. Tetapi apa? Emi mau bukan? Emi tetep bilang sayang sama gue bukan? Emi tetap mau bertemu dan bahkan mau menerima lamaran gue, walaupun dengan syarat. Terus kenapa gue masih gundah? Apalagi yang gue tunggu? Keajaiban demi kemudahan lainnya? Atau gue masih menunggu Emi memberikan masa tenggang untuk gue, biar gue masih bisa puas menjadi blangsak sebelum menikah?

Waktu terus berjalan. Emi yang tadinya hampir menerima gue asal dengan syarat, bisa berubah jadi Emi yang sama sekali nggak menginginkan untuk kembali dengan gue.

Apa syaratnya?” Kata gue padanya. Bismillah, gue meyakinkan diri gue kalau cuma Emi yang bisa mendampingi gue, memperbaiki diri gue, dan mengingatkan gue untuk gue menjadi lebih baik.

Sebentar! Benar kata Emi. Ternyata jauh di dalam diri gue, gue memang merasa ingin berubah menjadi lebih baik. Setelah Emi menjelaskan semuanya, gue akhirnya sadar kalau gue memang cowok brengs*k yang memang harus berubah lebih baik. Emi benar. Gue memang harus dan wajib untuk berubah. Dan entah kenapa gue juga yakin, kalau Emi pun akan merubah dirinya bersama dengan gue, untuk jadi lebih baik lagi. Padahal menurut gue, apa lagi yang harus ia ubah dari diri dia?

Syarat pertama… Kamu bener-bener berubah jadi lebih baik. LEBIH BAIK, bukan berubah buat ngubah kamu jadi sosok yang bukan kamu banget. Bukan kok. Tapi bener-bener jadi lebih baik lagi aja. Nggak cuman kamu doang, tapi aku juga kok. Kamu mau berubah, berarti aku juga harus mau berubah. Banyak hal yang pasti perlu kita perbaiki di diri kita masing-masing… Kamu nggak lagi meleng sana sini, nggak lagi iseng deket-deketin cewek lain, nggak lagi chatting-an diem-diem sama cewek lain. Aku ga ngelarang kamu silaturahmi sama siapapun, mau itu cewek ataupun cowok. Tapi tolong jangan diem-diem dan jadinya ada perasaan di dalemnya. Bilang aja, kalau emang ada cewek yang lagi deketin atau deket sama kamu. Aku nggak apa-apa kok, kalau ternyata ada yang suka sama kamu… Tapi bukan karena kamu yang bikin mereka suka. Asal aku tau dan kamu juga tau diri buat jaga jarak sama mereka. Bukannya malah jadi saling kode-kodean buat berujung sayang-sayangan. Aku ngehargain kamu yang mau jujur sama aku, daripada aku harus nemuin sendiri lagi kalau kamu boongin aku lagi atau mungkin aku malah tau dari orang lain, Zy. Kalau ternyata kamu ketauan sekali lagi aja selingkuh di belakang aku. Sekali aja… Aku siap buat pisah sama kamu, walaupun kita baru nikah seumur jagung, Zy. Karena sekali udah berani selingkuh padahal udah nikah, kedepannya bakalan terus menerus begitu… Aku nggak takut jadi janda atau sendiri lagi. Aku lebih rela jadi begitu daripada aku harus nahan rasa sakit terus terusan seumur hidup aku karena punya suami kayak begitu… Dan… Jangan pernah balik ke hidup aku lagi, Zy. Jangan pernah juga mengharapkan rasa percaya aku ke kamu bisa kayak dulu lagi…

Seketika, semuanya berasa berat. Baru mendengar satu syarat yang dia ajukan, gue sudah merasa itu hal yang agak sulit dilakukan untuk gue. Menjanjikan calon istri gue yang berlaku seumur hidup dengan satu resiko besar yang menanti di belakang. Gue akan kehilangan dia selamanya.

Jujur, gue mempertanyakan diri gue, apakah gue bisa melawan ego gue sendiri untuk bisa setia hanya dengan satu cewek seumur hidup gue? Tapi gue juga nggak berkeinginan untuk memiliki lebih dari satu cewek sih. Hanya saja, keisengan gue untuk bercengkrama dengan cewek lain itu hanya sebagai selingan untuk menghindari rasa bosan pada istri gue. Apa itu jadinya salah?

Kemudian gue kembali mempertanyakan, “Emang selama ini gue pernah ngerasa bosan banget sampe pengen ninggalin dia? Atau gue hanya murni ini iseng karena butuh pengakuan? Ya, pengakuan untuk ngetes diri gue kira-kira masih bisa ga deketin cewek kayak begini atau cewek kayak begitu.”

Atau kamu pilih syarat kedua aja… Kita nggak jadi nikah… Tapi kita boleh kok deket satu sama lain… Kamu juga boleh deketin semua cewek manapun, dan aku… Juga boleh dideketin atau ngedeketin cowok manapun. Kalau suatu saat nanti… Ada yang ternyata cocok sama aku dan memutuskan buat nikah, kamu nggak boleh ngelarang aku. Soalnya kita nggak ada ikatan apapun dan kamu juga nggak jadi nikahin aku. Nilai plusnya dari syarat kedua ini ya kamu nggak perlu mengubah apapun lagi dan kamu bebas deketin siapapun tanpa mikir aku sakit hati apa nggak. Nilai minusnya ya kamu perlu ikhlas sama apapun keputusan aku. Ah itu mah buat kamu nggak minus ya? Malah plus juga bukan buat kamu?

Sebenarnya emang lebih enak dan lebih mudah syarat kedua ini sih daripada syarat pertama. Tapi gue berpikir, kapan gue menjadi dewasa? Kapan gue belajar? Kapan gue belajar untuk keluar dari zona nyaman gue? Dan kapan gue bisa menjadi diri gue yang lebih baik, lebih pantas, dan lebih bisa diterima kembali dengan baik oleh keluarga gue?

khodzimzz
caporangtua259
alcipea
alcipea dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup