Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
WHO : Vaksin Sinovac Belum Lolos Uji Klinis
Spoiler for Ilustrasi Vaksin:


Spoiler for Video:


“Duh itu terlalu buru-buru. Kalo failed ya efeknya parah.”

Begitulah pesan dari teman saya seorang ahli virologi yang bekerja di salah satu laboratorium di Jerman. Kekhawatirannya mengacu pada peluncuran vaksin Covid-19 yang terlalu cepat. Sebab, pengembangan vaksin dari mulai diteliti hingga boleh digunakan secara massal memerlukan waktu yang lama, hingga bertahun-tahun.

Penulis pun penasaran dan mencari tahu penyebab ia berucap seperti itu. Sebab di Indonesia sendiri salah satu vaksin yang dibuat terburu-buru akan diluncurkan secara massal di awal 2021.

Pemerintah RI kini tengah menggembar-gemborkan vaksin Sinovac dari China yang akan disuntikkan massal pada Januari 2021. Hal itu diucapkan langsung oleh Presiden Jokowi pada 31 Agustus lalu. Menurut Jokowi, November sampai Desember 2020, akan datang 20 – 30 juta vaksin. Vaksin jadi untuk Covid-19 itu merupakan produksi Sinovac dari Sinopharm China dan G42 Uni Emirat Arab. Lalu Indonesia akan kedatangan 290 juta bahan baku vaksin Covid-19 yang selanjutnya akan diproduksi PT Bio Farma menjadi vaksin. “Dengan begitu, kita harapkan Januari 2020 kita sudah mulai vaksinasi,” kata Jokowi.

Bahan baku dari vaksin dikombinasikan oleh PT Bio Farma dengan bahan aktif vaksin yang juga diproduksi oleh Sinovac untuk menciptakan vaksin Covid-19. PT Bio Farma sendiri telah mengujicobakan vaksin ke ribuan relawan untuk menyelesaikan uji coba tahap III.

Sumber : Kontan[Presiden Jokowi memastikan, mulai Januari 2021 Indonesia vaksinasi massal Covid-19]

Sebagai orang yang awam, tentu vaksinasi massal merupakan kabar yang ditunggu-tunggu. Semua orang menginginkan kehidupan yang kembali normal seperti sebelum ada pandemi corona. Tapi bagi mereka yang bergelut di ranah sains, kabar ini justru menjadi petaka.

Baru-baru ini, World Health Organization (WHO) memperingatkan negara-negara soal vaksin Covid-19. Otorisasi terlalu dini, yang dilakukan beberapa negara tanpa menunggu fase III uji klinis vaksin Covid-19 bisa menimbulkan masalah.

Menurut Kepala Ilmuwan WHO Dr Soumya Swaminathan ada beberapa risiko penyetujuan vaksin yang terlalu dini. Pertama, akan sangat sulit melanjutkan uji klinis acak. Kedua, ada risiko memperkenalkan vaksin yang belum dipelajari secara memadai dan mungkin memiliki tingkat kemanjuran yang rendah. Hal yang terjadi justru pandemi tak berakhir atau malah memperburuknya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Kedaruratan Kesehatan WHO, Mike Ryan meminta negara dan pengembang vaksin mengumpulkan data yang lebih memadai, terutama ke jenis populasi mana vaksin akan disalurkan. Vaksin yang diperkenalkan ke bagian populasi yang lebih besar dan lebih beragam, akan dapat memunculkan efek samping negatif.

Salah satu negara pemberi vaksin yang belum selesai pengujian atau uji fase terakhir masih berjalan, adalah China.

Sumber : CNBC Indonesia [WHO Beri Peringatan Soal Vaksin Corona]

Sebagai informasi, ada tujuh kandidat vaksin Covid-19 yang telah memasuki uji klinis fase III di berbagai negara. Empat di antaranya berasal dari China. Namun, belum ada calon vaksin yang melewati tahap terakhir tersebut. Padahal uji klinis tahap III penting untuk mengetahui keamanan dan keampuhan vaksin dalam mencegah penyakit. Tahapan ini pula yang harus dilewati agar calon vaksin mendapatkan persetujuan dari otoritas terkait untuk diproduksi massal.

Lantas bagaimana dengan vaksin Sinovac? Ternyata Sinovac yang belum selesai dari uji tahap III telah mendapatkan izin dari Pemerintah China sejak Juli 2020. Izin itu dikeluarkan untuk penggunaan dalam situasi darurat sebagai bagian dari program vaksinasi kelompok berisiko tinggi di China, seperti tenaga kesehatan.

Pemerintah tirai bambu pun berencana memperluas sasaran program penggunaan vaksin darurat guna mencegah wabah Covid-19 selama musim gugur dan musim dingin. Pemerintah China tidak banyak memberikan keterangan resmi terkait calon vaksin yang telah diberikan ke kelompok masyarakat rentan corona. Rezim Xi Jinping pun tidak menyebut jumlah warga yang telah divaksin.

Sumber : Bisnis [Vaksin Buatan Sinovac Dapatkan Izin Pemerintah China untuk Keperluan Darurat]

Dari sini kita dapat ambil kesimpulan, vaksin Sinovac yang diluncurkan Pemerintah China, adalah vaksin eksperimen dan objek percobaannya adalah rakyatnya sendiri.

Vaksin yang masih dalam tahapan eksperimen ini pula yang diburu oleh Pemerintah RI. Vaksin setengah jadi hasil coba-coba yang akan disuntikkan massal ke 70 persen rakyat Indonesia. Dengan kata lain, 161 juta rakyat Indonesia, akan menjadi korban vaksin coba-coba.

Lantas apakah tidak ada harapan uji klinis tahap III yang dilakukan di Indonesia akan berhasil? Bisa saja nantinya setelah uji klinis terakhir selesai, vaksin itu justru tepat dan dapat melindungi rakyat dari virus corona.

Sayangnya peluang untuk menghasilkan vaksin yang lulus uji klinis hanya sebesar 10 – 30 persen. Hal itu diungkapkan Pakar epidemiologi UI Pandu Riono pada 26 Juli lalu. "Kira-kira saya dulu menganggapnya 10 persen (lulus uji klinis), tapi ada teman dari Australia bilang ternyata dari pengamatan database dunia, kira-kira 30 persen yang lulus di fase tiga ini," tuturnya.

Pandu mengatakan, meski telah sampai tahap tiga uji klinis, sebuah vaksin bisa saja gagal digunakan secara massif bila terbukti menimbulkan efek samping bagi penggunanya. Ia mengingatkan adanya efek samping itu pernah terjadi di Indonesia ketika melakukan uji klinis vaksin demam berdarah (DBD). Meski vaksin itu telah lulus uji klinis akhir, namun tak jadi digunakan karena menimbulkan efek samping pada manusia, meski telah banyak biaya yang dikeluarkan. Itulah mengapa, pengembangan vaksin selain membutuhkan biaya tinggi juga butuh waktu yang lama.

Sumber : Kompas [Epidemiolog: Belum Tentu Vaksin Sinovac Lulus Uji Klinis Tahap Tiga]

Setali tiga uang, epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman menyatakan vaksin impor China yang tengah memasuki tahap uji klinis Fase III belum tentu berhasil mencegah Covid-19. Apalagi vaksin itu menggunakan virus yang dilemahkan, sebuah teknologi paling sederhana dalam pembuatan vaksin.

Dicky mengatakan, vaksin yang menggunakan virus yang dilemahkan memiliki efek samping relatif tinggi dibandingkan jenis vaksin lain. Oleh karena itu, tipe vaksin ini membutuhkan uji klinis yang lama serta sampel yang banyak.

Dicky pun menuturkan beberapa contoh vaksin-vaksin yang ditolak Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikta (FDA) karena kurang berkhasiat dan tidak aman setelah melewati uji klinis Fase III. Seperti vaksin Glutamic Acid Decarboxylase untuk terapi antigen pasien diabetes, vaksin Experimental HSV-2 untuk penyakit herpes genital, dan lain-lain.

Dicky mewanti-wanti bahwa vaksin harus dibuat dengan prosedur yang benar dan tidak boleh terburu-buru karena bisa mempengaruhi efektivitas dan keamanan vaksin. Vaksin yang prosesnya cepat dan tidak melalui tahapan baku akan cenderung tidak aman dan tidak efektif.

Sumber : CNN Indonesia [Realitas Gelap di Balik Uji Klinis Vaksin China Tahap III]

Kekhawatiran akan tak efektifnya vaksin atau bahkan memperburuk kondisi pandemi jika dipaksakan makin diperparah dengan temuan mutasi virus corona D614G atau G614 di Indonesia. Mutasi virus ini diindikasikan memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dibandingkan virus aslinya di Wuhan, China. Sejauh ini, pemerintah belum menyimpulkan potensi penularan G614 seperti apa, dan juga mengatakan belum ada bukti virus ini akan memperparah gejala Covid-19 atau tidak.

Sementara itu, G614 telah masuk Indonesia sejak April silam, kata Anggota Tim Riset Covid-19 Univ Airlangga, Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih. Di tingkat nasional, mutan virus itu memang masih sangat minim. Namun di tingkat internasional, virus itu kini mendominasi. Sehingga yang menjadi kekhawatiran adalah tingkat penularan dari virus itu sendiri.

Tentunya kemunculan mutasi virus baru ini menimbulkan kekhawatiran. Apakah vaksin yang tengah dikembangkan saat ini mampu mencegahnya? Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdjan Utomo menjelaskan bahwa mutasi adalah hal yang normal dilakukan virus. Sepengetahuannya, mutasi G614 belum mengubah sifat virus, sehingga daerah yang dikenali vaksin msih bisa dikenali. Apalagi mutasi ini sangat kecil atau di bawah satu persen.

Tapi apakah akan selamanya begitu? mengingat penularannya yang lebih tinggi dari virus corona Wuhan dan mutasi yang terus terjadi.

Sumber : BBC [Covid-19 dan mutasi virus corona Indonesia yang disebut 'menyebar cepat sekali': Apa bisa dilawan vaksin yang tengah dikembangkan?]

Berdasarkan paparan di atas, maka kita dapat ambil kesimpulan bahwa vaksin Sinovac China belum selesai uji klinis, namun telah diterbitkan pemerintah China. Vaksin coba-coba ini pula yang didatangkan dari UEA dan dan China serta memperoleh izin produksi secara massal dari Pemerintah RI melalui Bio Farma. Padahal baik uji klinis Fase III yang dilakukan PT Bio Farma maupun uji klinis Fase III di UEA dan China belum tentu berhasil.

Hal yang lebih unik lagi adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memastikan bahwa calon vaksin Sinovac hasil kerja sama Bio Farma, Sinopharm, dan Group 42 UEA, telah mendapatkan sertifikat halal. Dengan kata lain, vaksin yang belum lolos uji klinis, berisiko tinggi, serta kemungkinan jauh lebih banyak mendatangkan mudharat, ternyata sudah mendapatkan sertifikasi halal. Ingat, Surah Al Araf ayat 157 mengatakan, “Dan (Allah) menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”

Sumber : Republika [BPOM: Vaksin Covid Asal UEA-China Kantongi Sertifikat Halal]
Diubah oleh NegaraTerbaru 04-09-2020 16:19
inesyasisca
donyraja
tien212700
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
817
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan