Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tutorialhidupAvatar border
TS
tutorialhidup
ANEMIA PLASTIK

Seperti biasa, setiap pulang bekerja aku sempatkan untuk membeli jajanan untuk istri dan anakku. Mereka terlihat sangat senang jika aku pulang membawa buah tangan. Walaupun cuma somay atau cimol. Mereka akan langsung menyambut dengan gembira.

Apalagi akhir-akhir ini istriku terlihat lemas, dan sering pusing katanya.

"Assalamualaikum"

"Wa'alaikumsalam. Ayah" teriak anakku gembira sambil berlari kearah ku.

Kusambut dia, ku peluk dan kucium pipinya. Ah, betapa bahagianya. Rasanya lepas semua beban dan hilang semua lelahku.

Anakku berumur lima tahun, dia sangat dekat denganku.

"Mamah mana dek?"

"Di kamar, mama pusing ayah"

"Ayah ke dalam dulu ya, ini ayah bawa mangga"

"Asiiikkk" aku tersenyum melihat anakku yang berteriak, senang.

Bergegas aku ke kamar menemui istriku.

"Pusing lagi mah?"

Istriku mengangguk "lemas juga yah"

"Kita periksa ya mah, udah sering pusing lemes gini soalnya. Ayah khawatir"

Akhirnya istriku mau diajak periksa. Sebelumnya dia susah sekali untuk ku ajak periksa. Katanya mungkin pusing biasa. Cuma kelelahan.

Akhirnya ku putuskan besok untuk periksakan istriku, Dian. Kebetulan besok aku libur kerja, hari minggu.

Malamnya seperti biasa kami makan bersama, bermain, bercanda dengan anakku. Namun sepertinya istriku masih pusing jadi tidak ikut bermain.

"Yah. Ayah" istriku memanggil dengan suara agak keras. Bergegas aku ke kamar. Kulihat istriku memegangi kepalanya, seperti menahan sakit.

"Kepalaku sakit banget yah"

"Ya udah, sekarang aja ke dokter ya"

Aku buru-buru menyiapkan segala sesuatunya. Ku putuskan untuk naik taksi online. Gak mungkin ku bawa Ali dan Dian naik motor.
______________________________

Setelah menjalani serangkaian tes, ternyata istriku mengidap Anemia Aplastik. Dimana sum-sum tulang belakang tidak mampu untuk memproduksi sel darah baru dalam jumlah yang cukup.

Dokter menyarankan agar Dian di rawat. Dan juga harus melakukan transfusi darah.

Ku pandangi wajah Dian yang begitu pucat. Ya Alloh, ikhlaskan kami untuk menerima semua ujian dari Mu.

"Ayah"

Kulihat matanya terbuka. Lemah.

"Sudah enakan mah?"

Ia mengangguk "Ali mana?"

"Sudah tidur" aku menunjuk ranjang pasien yang ditempati Ali.

"Mamah kenapa?"

Ku jelaskan bagaimana adanya. Istriku sempat tertegun.

"Berarti mamah harus transfusi darah terus ya?"

Aku mengangguk, tersenyum.

"Mamah yang kuat ya, ayah akan selalu temani mamah. Kita harus ikhlas"

Dian mengangguk. Kemudian membuka tangannya pertanda ingin dipeluk. Ku peluk ia dengan erat. Ku bisikkan kata semangat. Ku bisikkan pula kata cinta dan kesetiaan. Bahwa aku akan selalu menemaninya berjuang.
_____________________________

Hari-hari selanjutnya kami jalani seperti biasa. Namun Dian tak ku perbolehkan untuk banyak beraktifitas. Jika pekerjaan rumah tidak kuat dia kerjakan, maka aku yang akan membereskan setelah pulang kerja.

"Hemat tenaga mah" Dian tertawa ketika aku selalu bilang seperti itu. Memang Dian jangan terlalu banyak beraktifitas. Supaya jangan terlalu capek.

Kini Dian harus transfusi darah dua kali dalam sebulan. Karena golongan darah Dian termasuk langka, maka tak jarang aku mencari darah yang sama ke PMI jika stok darah di rumah sakit sedang kosong.

"Mamah kayak drakula aja ya yah, nyari darah mulu" aku terkekeh kala Dia bicara seperti itu.

Teman-temanku juga sering bercanda ketika aku mulai mencari pendonor untuk istriku.

"Nyari mangsa ya dan?"

Kalo sudah begitu aku hanya bisa tertawa, begitu juga dengan teman-temanku. Tak apalah. Memang begitu adanya.

Pernah suatu kali Dian telat transfusi. Dia sangat kesakitan. Sampai hilang kesadarannya dan meracau tak jelas seperti anak kecil.

Dianku yang malang.

Sejak saat itu aku berusaha untuk memastikan Dian supaya tidak telat transfusi.
______________________________

Setelah beberapa bulan, alhamdulillah kami bisa melewati semuanya. Istriku mulai terlihat lebih kuat. Bisa mengerjakan pekerjaan lebih banyak. Seperti biasa, ketika aku pulang kerja aku bawa makanan untuk Dian dan Ali. Namun kali ini aku menambah dengan membeli kurma sebagai tambahan energi untuk Dian. Walau aku harus mengurangi uang tabungan. Tak apalah, yang penting Dian sehat dan semakin kuat.

Hari-hari berlanjut. Minggu, berganti bulan. Dian dinyatakan hamil. Alhamdulillah. Ali juga sudah besar, supaya dia punya teman.

Di kehamilan Dian kali ini, dia benar-benar harus bed rest. Otomatis pekerjaan rumah aku yang kerjakan. Terkadang Ali juga membantu dengan menyapu, membuang sampah, atau membereskan mainannya sendiri. Karena sepertinya Dian suka mengajarkan Ali untuk membantu mengurus rumah. Ah, Dian. Kau memang mendidik Ali dengan baik.

Sembilan bulan kini kehamilan Dian, dokter bilang Dian bisa lahiran normal. Alhamdulillah.
Kini kita tinggal menunggu hari menuju hpl.

DUG

Astaghfirulloh. Aku mendengar suara seseorang terjatuh.

"Ayaaahh"

Ku berlari ke arah kamar mandi karena mendengar suara Dian disana.

BRAK

Ku buka pintu secara kasar. Dian terduduk dilantai dengan bersimbah darah . Ia memegangi perutnya sambil mengerang kesakitan. Ya Alloh. Segera ku cari pertolongan. Beruntung tetangga sebelah bisa menolong, dan membantu kami membawa Dian ke rumah sakit dengan mobilnya.

Dian langsung dilarikan ke UGD. Ali ku titipkan ke tetangga yang membantuku membawa Dian. Beberapa saat seorang dokter memberitahuku kalo Dian harus segera secar. Air ketubannya pecah, dan Dian tidak kuat mengejan.

Dokter memintaku untuk mencari darah lagi karena darah dirumah sakit tidak mencukupi.
Bergegas aku ke PMI. Namun disana juga sedang kosong stok darah seperti Dian. Ku hubungi orang-orang yang sebelumnya pernah mendonorkan darah untuk dian, namun hanya sebagian. Karena sebagian lagi tidak bisa dihubungi. Mungkin karena ini sudah malam, jadi orang sudah istirahat.

Aku masih perlu banyak darah untuk Dian. Ku hubungi teman-temanku, namun sepertinya percuma. Sebagian besar mereka berbeda golongan darahnya dengan Dian. Ya Alloh. Harus kemana lagi aku mencari darah.

Ku putuskan untuk kembali ke rumah sakit. Sambil menunggu operasi, aku bergegas menuju masjid. Ku curahkan semua keluh kesahku. Ku adukan semua kegundahanku. Aku tumpahkan semua kesedihanku. Pada-Nya kuadukan semua.

Setelah merasa sedikit tenang, aku menuju rumah sakit kembali. Tak lama menunggu akhirnya operasi selesai. Dokter bilang bayinya lahir selamat. Cantik. Alhamdulillah. Ku panjatkan rasa syukur berulang kali.

Ku hampiri Dian yang sudah diruang perawatan. Wajahnya sangat pucat. Dokter bilang, darah tinggal dua kantong yang tersisa. Sementara dia masih membutuhkan delapan kantong lagi.

'Ya Alloh. Beri jalan untukku'.

Pagi hari. Kulihat Dian sudah sadar. Ia menanyakan keberadaan Ali, juga bayinya.

Ku perlihatkan bayi dalam gendonganku. Kudekatkan ke arah Dian.

"Ali sama bu Ririn mah. Ini dede bayinya. Alhamdulillah dede nya cantik. Kayak mamah" ku beri senyuman terbaikku untuk Dian. Aku harus terlihat kuat, suapaya dian juga kuat.

Dian mencium pipi bayinya.

"Mamah mau ketemu Ali yah" lirih Dian berucap. Lemas sekali.

"Nanti ya mah, kalo mamah sudah agak sehat".

Dian hanya diam. Mungkin dia rindu dengan Ali. Setelah memastikan Dian kembali istirahat, dan bayi ku titipkan pada perawat. Aku keluar untuk mencari pendonor darah. Ah, aku baru ingat kalo belum menghubungi keluargaku. Saking paniknya aku mencari darah semalam, jadi lupa mengabari.

Setelah selesai, aku kembali mencari info siapa tau ada yang mau mendonorkan darah untuk Dian. Namun sampai saat ini belum ada juga.

Aku frustasi. Aku bingung harus bagaimana lagi.

Siang.

Ibu dan ayahku datang. Mereka terlihat sangat kesal juga khawatir karena aku telat mengabari. Ditambah dengan susahnya mencari darah untuk Dian, mereka tambah khawatir. Sedangkan orang tua Dian sudah tak ada. Ibunya meninggal waktu Dian lulus SMA, sementara bapaknya menyusul setahun setelah aku menikahi Dian. Dian tak punya kakak atau adik, dia anak tunggal.

"Gimana toh lek, kenapa nggak dipersiapkan jauh-jauh hari? Kasihan Dian" ucap ibuku dengan mata berkaca-kaca. Aku tau ibu sangat menyayangi Dian. Waktu diberitahu perihal Dian harus transfusi darah, beliau yang selalu mewanti-wantiku untuk menjaga Dian. Tak lupa ibu juga sering mengirimkan kurma juga buah-buahan untuk Dian dan Ali.

Setelah ibu dan bapak menemui Dian, mereka pulang ke rumahku untuk menjaga Ali. Ku temui Dian di kamarnya. Kulihat dia sedang melamun.

"Mamah mikirin apa?"

"Yah, ayah ridho gak sama mamah?"

Aku mengernyit. Bingung dengan pertanyaan dian.

Ku hampiri Dian, dan ku peluk untuk menguatkannya. Mungkin emosinya belum stabil.

"Ayah selalu ridho sama mamah. Mamah itu istri terbaik yang ayah miliki"

"Mamah minta maaf ya kalo sering ngerepotin ayah" ucap Dian dengan deraian air mata. Kuhapus. Lalu ku kecup keningnya. Lama.

"Mamah nggak ngerepotin ayah sama sekali. Sama sekali Nggak. Semuanya udah jadi tanggung jawab ayah" mau tak mau aku ikut menangis.

Kami berpelukan. Lama. Meleburkan rasa. Sesak. Kenapa aku tiba-tiba merasa takut kehilangan Dian? Ada apa ini ya Alloh?

Aku makin mengeratkan pelukan. Dian makin menangis sesenggukan.

"Mamah titip Ali sama bayi kita ya. Ayah jaga anak kita baik-baik" lirih Dian.

Apa ini?

Nggak. Dian tidak boleh pergi. Dian akan disampingku. Bersama merawat anak-anak kita. Tak ku hiraukan perkataan ngelanturnya.

"Mamah jangan mikir macam-macan ya. Kita akan selalu bersama" kulihat kantung darah yang tergantung itu semakin menipis. Sebentar lagi habis.

Tak ku pungkiri, aku merasa ada yang mengganjal. Aku merasa. Entah. Namun aku berusaha untuk menepisnya. Dianku harus kuat, Dian harus sehat.

Aku kembali mencari pendonor, begitu juga pihak rumah sakit sudah mencari ke rumah sakit yang lain.

Alhamdulillah. Akhirnya ada stok darah dari rumah sakit di luar kota. Saat ini sedang dalam perjalanan.

Aku bisa bernafas lega walau masih ada yang mengganjal dalam hati. Entah kenapa.

Aku masuk ke ruang perawatan Dian. Dianku, kini tampak sangat pucat. Bibirnya kering. Darah sudah habis. Kami masih menunggu darah sampai ke rumah sakit.

Ku belai kepalanya. Ku cium kening, pipi, dan bibir pucatnya. Dia mengerjap.

"Yang sabar ya sayang. Kamu harus kuat. Kamu harus sembuh. Sebentar lagi darah dari pendonor datang. Kamu bertahan ya" ku bisikan kalimat penyemangat untuknya.

Ya Alloh kuatkan Dian.

"Pengen ketemu Ali yah"

Entah kenapa aku langsung menurutinya. Aku langsung video call ibu. Tak menunggu lama langsung diangkat. Seperti faham, ibu langsung mengarahkan kamera kepada Ali. Terlihat Ali sedang bermain bersama bapak.

[Ali, ini ada mamah nelfon nak] bergegas Ali menuju ibu.

[Mamah. Mamah masih sakit? Ali kangen mamah]

Dian hanya bisa tersenyum dan terus memandangi wajah ali.

Ibu juga mengajak Dian bicara, namun tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya terus mengeluarkan air mata. Entah kenapa, aku merasa ini akan berakhir. Ya Alloh kuatkan kami.

Setelah beberapa saat akhirnya selesai. Dian menoleh ke arahku. Mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Ayah" serupa bisikan, masih sanggup aku dengar.

"Ikhlaskan mamah"

Kutatap matanya. Cepat mataku terpejam. Menunduk. Tak kuat rasanya menatap mata yang berkaca itu. Tak kuat memandang wajah pucat itu. Aku mengatur nafas. Menahan sesak. Bahkan air mata sudah runtuh dari tadi. Apakah harus berakhir sampai disini perjuangan Dian?

Ku hela nafas dalam. Ku kuatkan perasaanku. Ku bingkai wajahnya.

"Kalo sudah waktunya. Pergilah mah. Ayah ikhlas" mataku terpejam. Kembali air mata membasahi pipi.

"Ayah ridho sama mamah. Aya mencintai mamah"

Istriku tersenyum dan memberi isyarat padaku untuk mendekat. Dia mencium pipiku. Lama.

Lalu tibalah saat nya.

Aku menuntunnya mengucapkan kalimat tauhid. Aku mentalqin Dian.

Laailaahaillalloh

Laailaahaillalloh

Laailaahaillalloh

Bersamaan dengan terlepasnya ruh dari jasad istriku. Aku tergugu. Menangis pilu. Aku tersungkur di lantai. Ku rasakan duniaku hancur. Sangat hancur. Kepergian dian menyisakan luka yang amat dalam bagiku. Aku. Aku.

Aku harus bagaimana menjalani hidupku tanpa Dian?

Bagaimana dengan anak-anakku tanpa ibunya?

Dian. Apakah ini sungguh terjadi?

Apa kau sungguh meninggalkanku dan anak-anak?

Dian. Kumohon. Bangunlah. Bangun. Dian.

Aku meraung memanggil nama Dian. Bahuku berguncang hebat. Sesak ku rasakan. Namun Dian tak kunjung bangun. Dian benar-benar telah pergi.

Beberapa perawat dan dokter masuk. Mereka tercenung melihatku memeluk jasad Dian sambil menangis.

"Pak, ini darahnya sudah ada"

Terlambat.

Sudah terlambat. Dianku telah pergi. Aku tak menyesali kepergian Dian karena telat transfusi. Aku yakin, semua sudah takdir. Semua rencana Alloh. Aku ikhlas.
awa01
pepenion
sseeenv
sseeenv dan 11 lainnya memberi reputasi
12
1.5K
18
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan