Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

suwokotumdexAvatar border
TS
suwokotumdex
Menikahlah Denganku! (Episode 2)


Namaku Alex Elvano, pemuda berusia 18 tahun yang hidupnya menyedihkan, ya, aku mengakuinya sendiri. Semuanya bermula sejak lima tahun silam, dunia seakan berubah dan balik menyerang.

Perpecahan keluarga, dijauhi teman, dan terpaksa hidup sendiri, adalah segelintir masalah hidup yang perlahan tapi pasti mulai kunikmati. Bahkan rasa sakit itu kini menjadi hampa, empati seolah t'lah hilang dari dalam dada.

Dari yang awalnya begitu menyiksa, kini bukan menjadi apa-apa. Terbiasa dengan keadaan yang ada.

Hujatan 'anti-sosial' yang ditujukan padaku kini sudah melekang, bukan karena aku sudah berubah, tapi karena mulut orang-orang itu mungkin sudah bosan. Aku tidak peduli.

Kupikir, hidupku akan terus datar seperti ini. Namun ... malam itu datang.

Decit suara ban terdengar menyayat hati, detik berikutnya cahaya putih membutakan mata, ditambah suara seorang gadis misterius yang seperti menarik tubuh lemas ini. "Ikutlah denganku!"

Aku yakin seorang bidadari tengah menjemput ke surga. Membiarkan diri ini untuk menikmati keindahan yang sebenarnya. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara.

Andai takdir berjalan seperti itu, mungkin aku tak perlu merasakan hari ini.

Aku mengangkat tubuh, merasakan hangat pada kulit berkat cahaya dari sang surya. Jendela sudah terbuka, mungkin gadis penyihir itu baru saja masuk ke dalam kamar.

Ah ... bukannya itu tidak sopan? Masuk ke kamar orang lain tanpa permisi. Meski ini rumahnya bukan berarti dia bisa seenak udel untuk keluar masuk. Privasiku seakan tidak dihargai.

Aku mengacak rambut.

Langkah terdengar mendekati pintu, kemudian terbuka. Seorang gadis berwajah oriental dengan manik mata kehijauan menatapku. Namanya Reina Aileena.

"Oh, Tuan Alex sudah bangun?" Dia memasukan seluruh tubuhnya ke dalam kamar, lantas mengambil kursi dan duduk di samping ranjang. Senyum manis mengembang di bibirnya yang ranum.

Aku masih tak dapat menatapnya lebih lama. Kupalingkan wajah melihat hutan di seberang jendela.

"Apakah saya mengganggu Tuan?" tanyanya.

"Tidak." Aku hanya tidak tahu harus bersikap apa. Salah satu fakta bahwa aku tak pandai bicara dengan lawan jenis, menjadi alasan kuat mengapa aku begitu kaku.

"Syukurlah jika begitu." Reina menarik kursi dan duduk di depanku. "Apakah luka di punggung Anda sudah membaik?"

"Yah, lumayan. Berkat sihir anehmu itu, rasa sakitnya mulai tak terasa lagi."

"Syukurlah." Reina semringah.

"Te-terima kasih," bisikku.

"Tak perlu khawatir, Tuan. Anda adalah prioritas saya."

Aku menoleh ke arah Reina. Dia tampak semringah, seperti dugaanku. Aku ragu, apakah ekspresi senang itu tulus dari hati?

Aku menghela napas, bersamaan dengan itu perutku berbunyi. Sesecacing sudah menabuh gendangnya. Cih!

"Memang sudah saatnya untuk sarapan, Tuan. Mari ikut saya."

"Baiklah." Aku mengikuti alur saja mulai dari sini.

***


Dua hari berlalu sejak pertama kali masuk ke dunia bernama Fasia ini. Mendadak bangun di tengah pasar, dikejar-kejar oleh sekelompok wanita, hingga berakhir pada dekapan Reina.

Sekarang, aku masih di bawah pengawasan gadis penyihir itu. Dia berperan seperti seorang maid di rumahnya sendiri. Memanjakanku, bahkan memanggilku 'Tuan'. Kurasa perlakuannya terlalu berlebihan.

"Tuan, apakah sarapan Anda sudah selesai?" Pertanyaan dari Reina membuyarkan lamunanku.

Aku mendorong mangkuk ke tengah meja, nasinya sudah ludes sejak tadi. Kuakui masakan Reina cukup cocok di lidahku.

"Setelah ini kita jadi akan keluar, 'kan?" tanyaku. Reina yang sudah menenteng keranjang menoleh ke arahku. Lantas senyumnya mengembang.

"Tentu saja, jika itu permintaan Anda, saya akan selalu siap untuk menemani."

Reina mendekat dan memberiku sebuah kain hitam yang saat dibuka langsung ketahuan itu apa. "Jubah?"

"Iya. Anda harus memakai ini jika ingin keluar rumah. Demi keamanan Anda," jelas gadis itu.

Aku tak menyangka akan serepot ini hanya untuk keluar.

***


Desa Anvylle, terletak di tengah-tengah hutan besar yang dikenal mematikan. Kota terdekat dari desa ini adalah Lyx, tempat di mana pertama kali aku datang. Meski dikatakan dekat, nyatanya perlu menempuh perjalanan setengah hari untuk menembus hutan hingga sampai ke kota.

Penduduk yang mendiami desa Anvylle kurang lebih dua puluhan orang. Semuanya berjenis kelamin perempuan. Kata Reina, satu-satunya pria yang ada di sini hanyalah aku, tapi mereka tidak tahu. Bahkan Reina merahasiakan ini dari tetua desa.

"Jika mereka tahu ada laki-laki tulen di desa terpencil seperti ini, sudah pasti Anda akan menjadi bahan rebutan," kata Reina.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Diperebutkan oleh perempuan sekampung, entah kenapa terdengar lebih mengerikan. Meski harem tapi tetap saja menyiksa, sama seperti kejadian malam lalu, di mana aku harus mati-matian menyelamatkan diri dari sekumpulan wanita haus berahi.

Maka dari itu aku terpaksa memakai jubah panjang yang menutupi sekujur tubuh. Reina juga melakukan teknik sihir untuk menghilangkan bau pria pada diriku, dan menggantinya dengan wewangian seorang wanita. Meski agak risi, tapi ini untuk berjaga-jaga agar lebih aman.

Namun, aku masih tak paham mengenai alasan mengapa mereka selalu mengejar seorang laki-laki. Ditambah aku ini tidak memiliki wajah rupawan bak pangeran dari negeri dongeng. Melainkan pemuda berwajah murung yang tak punya semangat hidup.

"Karena di kerajaan Alfterin, hanya sedikit pria yang bisa hidup," ungkap gadis penyihir itu.

Kami akhirnya berhenti di tempat lapang berumput hijau menyejukan mata. Ditambah angin semilir dan paparan sinar matahari yang menghangatkan. Bukit tertinggi di hutan ini, kata Reina. Gadis itu bilang, ini adalah tempat favoritnya dikala ingin menyendiri.

Kami duduk berdampingan, menghadap ke bukit seberang. Tak banyak kata yang keluar. Aku juga tak tertarik untuk memulai percakapan. Lengang.

"Tuan."

Aku mengangkat wajah, melihat ke arah Reina. Netra kami bertemu untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku memalingkan muka.

Degup jantung mendadak berdebar cepat. Ada perasaan aneh yang mejalar ke seluruh tubuh saat mata kami bertemu.

"A-ada apa, Reina?" Lebih baik bertanya.

"Bisakah Tuan melihat wajah saya ketika bertanya?" Suaranya terdengar pelan tapi pasti.

Andai kau tau, aku ingin tapi aku tak bisa!

"Aku—"

Tiba-tiba Reina menarik wajahku mendekat. Sekarang jarak kami terlalu dekat.

"Tuan, tolong lihat saya jika ingin bertanya," bisiknya. Napasnya yang hangat mengenai wajahku yang mungkin sudah semerah cabai.

"Ah, lepas!" Aku menarik diri dan menjauh dari Reina. Ia memiringkan kepalanya seraya memasang wajah polos yang ... ah, sialnya terlalu manis.

"Ada apa, Tuan? Apakah saya menganggu Anda?" Sekarang dia panik.

Aku bersila. Ada yang perlu aku tanyakan. Sesuatu yang lebih serius. "Reina, bolehkah aku bertanya satu hal padamu?"

Reina terkesiap. "Tentu saja, Tuan, Anda ingin menanyakan apa?"

"Tempo hari, kau bilang ingin menjelaskan padaku tentang semuanya.

"Juga, aku rasa ini cukup aneh sejak awal kedatangan. Mengapa seluruh penduduk di Kerajaan Alfterin bergender wanita, dan mengapa mereka seolah ingin sekali menangkapku? Karena jujur saja aku itu tak setampan pangeran dari negeri dongeng."

"Karena untuk mendapatkan keturunan," pungkas Reina.

"Keturunan?" Aku tak paham.

"Bukankah sebelumnya sudah saya katakan pada Anda, Tuan. Jumlah pria yang ada di kerajaan Alfterin tak terlalu banyak. Mungkin tak lebih dari dua puluh orang termasuk Anda. Karena hal itulah, banyak wanita yang menginginkan keturunan dari sisa pria yang ada, termasuk menangkap Anda.

"Beberapa puluh tahun yang lalu, terjadi sebuah insiden besar di kerajaan Alfterin, di mana seluruh pria yang ada di Alfterin musnah. Itu adalah sebuah kutukan yang benar-benar di luar dugaan." Reina menghentikan ceritanya.

Angin semilir menyapu tubuh gadis itu, rambut kecoklatan panjangnya berkibar. Cahaya dari mentari membuatnya tampak bersinar.

"Kutukan, penyihir ... apakah ini nyata?"

"Tuan sudah melihatnya sendiri bukan, bagaimana dunia ini bekerja." Senyum mengembang di bibir gadis itu.

Jika masih kuanggap mimpi, ini terlalu nyata. Bahkan rasa sakit, luka, sampai debar di dada, semuanya memang nyata.

Reina tampak mempertahankan semyumnya. Poni kecoklatan yang menutupi dahi bergerak liar saat semilir angin menerpa kami. Netra kami bertemu, memberikan arti tak pasti yang semakin kurasa.

Dalam diam, aku menahan dada yang berdetak lebih cepat. Getaran aneh terasa menjalar ke seluruh tubuh. Semakin lama, wajahku memanas. Segera kupalingkan agar tak terbakar.

Sial! Kenapa setiap kali menatap wajahnya, dadaku semakin terpacu. Apa aku menyukainya?

Ah, tidak! Tidak mungkin!

Aku mengacak tudung kepala hingga sedikit berantakan. Mumet!

"Tuan ..."

Aku menoleh ke arah panggilan. Reina menunduk, kulihat pipinya bersemu kemerahan.

"A-ada apa?" Aku berusaha setenang mungkin, meski jantung sudah seperti mau meloncat ke luar.

Reina menggeser duduknya lebih dekat denganku, tidak! Tapi lebih menempel. Tanpa permisi ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. Lagi-lagi tak terduga.

"Tuan ... sebenarnya saya punya satu permintaan," ucap Reina lirih, terdengar samar lantas melanjutkan, "sa-saya ingin 'melakukan' itu dengan A-anda ...."

"Ha? Maksudmu apa?" tanyaku. Tunggu, apa maksud dari permintaannya? Kenapa jadi terasa ambigu di dalam otak ini?

Reina kembali menggeser duduknya, bukan menjauh, tapi beralih duduk bersimpuh di depanku. Wajahnya sudah memerah ... ada apa sebenarnya dengan gadis ini? Dasar aku kurang pengalaman soal perempuan.

Aaa!!! Ini nggak lucu. Momen yang super awkward! Ditambah permintaannya juga sangat ambigu, bikin aku berpikir yang tidak-tidak.

Reina bergeser mendekat dan meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat. Kurasakan kulitnya yang halus. Ja-jadi begini rasanya dipegang oleh cewek. Namun, aku tidak peduli dengan itu, aku lebih takut melihat ekspresinya yang tak bisa kujelaskan itu. Apa jangan-jangan dia mau melakukan ritual aneh kepadaku, secara dia kan penyihir.

Ia menghela napas. Mengatup dan membuka mulutnya beberapa kali. Jelas dia juga merasakan canggung. Sebenarnya apa yang ingin dilakukannya? Makin lama semakin menakutkan.

Reina memejamkan matanya, dan mengembuskan napas. Dengan mantap ia berkata, "Tuan Alex Elvano, saya ingin membuat anak dengan Anda!"

Diam.

Lengang.

Dunia seperti berhenti.

Kemudian semilir angin kembali membawa kesadaran ini ke tubuh.

"APAAA?!"

Apa dia sudah gila?!

***


<< EPISODE 1• EPISODE 3 >>
Diubah oleh suwokotumdex 02-03-2020 15:53
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
2.9K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan