Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tsuway.c001Avatar border
TS
tsuway.c001
[KumCer] Cerita Pejuang Event
   
Kekasih Bayangan yang Menghilang





Langit mencurahkan bulir lembutnya pada bumi. Kaca mobil sudah dipenuhi kristal bening yang menempel di segala sisi saat aku tiba di parkiran. Penat dengan kantor tapi tak mau terperangkap kemacetan saat hujan, kuputuskan singgah ke sebuah kafe.


Berlari ke pintu kafe menerobos tirai tipis hujan yang perlahan mulai merapat. Kukibaskan tangan ke wrap dress yang melekat di tubuh, menyapu satu persatu tempelan bulir hujan yang sedikit mulai terserap. Pojok kafe menjadi tempat duduk favorite-ku, menikmati hujan dari balik kaca tebal yang sedikit berembun. Seorang pelayan menyajikan secangkir Espresso yang kupesan, sekadar menghangatkan tubuh yang gemetar saat bersinggungan dengan hawa dingin.


Setengah jam berlalu, hujan di luar masih deras. Pandanganku mulai mengedar ke penjuru kafe, berusaha mengusir rasa bosan yang menjalar. Tak ada yang menarik, hingga manik mataku harus berhenti pada sosok pria dengan wajah sedikit tertutup masker yang sedang mempersiapkan sesuatu di panggung mini kafe ini. Aku seperti mengenalnya, pancaran mata itu mirip seseorang di masa lalu. Ketika masker yang menutupi sebagian wajahnya terbuka, aku bisa memastikan dia adalah orang yang sama yang telah menggantung rinduku enam tahun lalu. Tatapannya masih sama seperti saat pertama kami bertemu di lapangan basket.


Yodha Rayhan, pemain basket yang menggemari semua karya Dee Lestari, sama sepertiku. Aku tengah membaca Rectoverso di teras dekat lapangan basket sekolah, saat dia bermain basket bersama temannya. Entah kenapa ia tiba-tiba menghampiriku, masih dengan peluh bercucuran deras menetes dari dahi. Ia membungkuk dan bertanya, tentang buku-buku karya Dee Lestari lainnya yang kupunya. Dia duduk di sampingku dan mengibas-ngibaskan tangannya ke arah wajah. Kugerakkan manik mata mengikuti arah gerak tangannya yang tanpa permisi meraih botol minumku, menempelkan bibir merahnya pada mulut botol dan membiarkan cairan di dalamnya meluncur bebas masuk ke mulut. Aku ternganga sembari menyentuh bibir. Indirect kiss!


Dari sanalah kisah kami bermula. Banyak waktu kami habiskan bersama. Sekadar bertukar novel, ikut acara bedah buku hingga hunting novel terbaru kulakukan dengannya. Di sekolah mulai beredar kabar tentang kami yang memiliki  hubungan khusus. Nyatanya tidak! Tak ada ungkapan atau apapun tentang menjalin hubungan, dari aku maupun dia. Meski terkadang hati memang tak bisa dibohongi. Aku selalu menyimpan rasa untuknya, tapi masih bisa bertahan di balik topeng persahabatan. Naik kelas XII, aku tak pernah lagi melihat Yodha beredar di sekolah. Informasi yang beredar adalah dia pindah sekolah. Hanya satu tahun kebersamaan kami, tapi kenangan tentangnya cukup membekas. Pergi tanpa kalimat apa pun, meninggalkanku dengan rindu yang menggantung, layaknya kapal yang kehilangan tempat berlabuh.


Lelaki yang sempat mengisi relung hati selama setahun itu, kini menampakkan kembali wajah kharismatiknya. Suara merdunya mulai mengema seantero kafe, lantunan lagu Suppose milik Secondhand Serenade yang dinyanyikannya secara akustik, memaksaku memutar kembali kenangan kami yang lama terendap. Kurobek secarik kertas dari buku agenda kecil di dalam tas, menuliskan sesuatu disana lalu memanggil pelayan untuk menyerahkan pesan itu pada sang penyanyi kafe. Tak butuh waktu lama untuk melihat ia membaca isinya dan menoleh ke arahku seraya melempar senyum. Kali ini lagu Carpenters bertajuk Close to You dinyanyikannya sebagai pengiring pertemuan tak sengaja kami kembali.


Langkah gagah membawa tubuhnya ke arahku, sebongkah daging di dalam dada berdegup dengan liar. Jarak kami hanya terpisah meja, dia mulai tersenyum lebar. Ada sirat kerinduan yang kutemui dalam riak wajahnya.


"Tiada yang lebih indah. Tiada yang lebih rindu. Selain hatiku. Andai engkau tahu." Yodha membaca ulang tulisan di kertas yang kuberikan.


"Rectoverso, benar?" Aku tersenyum.


"Hai Lyn, apa kabar?"


"Baik ... cukup baik untuk bertatap denganmu kembali."


"Aku rindu!"


Deg.


Kata-kata yang sama hampir saja keluar dari mulutku tapi tercekat di tenggorokkan. Yodha mulai menarik kursi lalu duduk berhadapan denganku. Masih dengan senyum dia terus saja menatapku.


"Ga usah kelamaan liatnya!" ucapku ketus, meyembunyikan perasaan yang tak karuan.


"Kamu masih sama, Lyn. Masih jutek, dan cantik."


Andai dia tahu, aku seperti ini demi melindungi persahabatan kami dari serangan hatiku yang mengharap ikatan lebih.


"Yang kamu lakukan itu jahat, Yo. Pergi tanpa satu katapun! Setidaknya beri aku ucapan selamat tinggal atau paling tidak katakan kamu akan kembali."


Pertahananku mulai runtuh, bulir-bulir bening spontan meloncat keluar dari mataku.


"Maaf!"


Yodha menggeser duduknya ke sampingku, mengusap pelan kepalaku dan menyandarkan ke dada bidangnya.


Lama kami melepas rindu, bercengkrama tanpa ingin mengakhiri. Usiran halus seorang pelayan membuat kami tersadar bahwa malam telah larut.


"Lyn, aku antar ya?"


"Aku bawa mobil, Yo!"


"Aku setirin deh, ya? Ga bagus cewek pulang tengah malam sendirian." Yodha beralasan dan aku hanya terkekeh.


"Lebih ga bagus kalau cewek pulang tengah malem bersama seorang pria tanpa ikatan apapun. Sudah sana, aku biasa pulang sendiri kok!" tandasku.


Yodha pasrah, dia hanya mengantar sampai tempatku memarkirkan mobil.


"Ini kartu namaku, ada Whatsapp kan?" Aku menyodorkan selembar kertas kecil dari balik jendela mobil.


"Kamu EO, Lyn?"

"Ya kan, aku memang EO. Evelyn Octaverina." Aku terkekeh.



"Bukan ... maksudku event organizer."


Hanya kubalas dengan sebuah senyuman. Aku melajukan kendaraan, dari kaca spion kulihat Yodha melambaikan tangan dan bayangannya perlahan menghilang. Aku tersenyum sumringah.


'Rindu, lautanmu telah kembali. Mari menjejak bahagia bersamanya.'


*****


Seusai pulang kantor, aku rajin mengunjungi kafe. Sekadar melepas penat atau hanya ingin bertemu dengan Yodha. Entahlah ... yang jelas rasa yang kupunya masih sama seperti dulu, tak berubah sedikitpun.


Setengah tahun sudah aku dekat kembali dengan Yodha, Yodha sering mengajakku mengunjungi tempat indah dan menarik. Ia banyak mengajari teknik fotografi, dan sesekali menjadikanku objek fotonya.


Kulihat Yodha sedang berbicara dengan seorang pria. Aku pura-pura menyeruput lemon tea saat mereka berjalan mendekat.


"Lyn kenalin, Micel! Sepupuku, pemilik kafe ini."


"Micel Oktavianus." Dia menyodorkan tangan dan aku menjabatnya.


"Lyn ... Evelyn Octaverina," jawabku.


"Cieee ... cocok tuh! Namanya hampir mirip, kalian jodoh yang terpisah mungkin," sela Yodha diiringi kekehan tengil khasnya.


Manik hitamku mendelik ke arahnya, disusul bibir yang mengerucut. Candaan garing yang sedikit merusak mood-ku malam itu.


"Jangan dengerin dia! Aku to the point ajah ya, Lyn. Jadi tadi aku sharing sama Yodha, mau buat cabang kafe di daerah Dago, Bandung. Nah, Yodha bilang katanya kamu punya EO ya? Bisa kerjasama gak?"


"Bisa banget, konsepnya seperti apa? Sekadar fokus ke desain atau sampai ranah promosi?" tanyaku antusias.


Micel mulai menjelaskan detail konsep dan desain acara pembukaan kafe yang diinginkannya. Kami mengobrol santai, tidak mengacuhkan keberadaan Yodha. Sesekali bola mataku melirik ke arahnya yang sedang memainkan sedotan di gelas berisi lemon tea. Aku tersenyum jahil.


'Memang enak dicuekin.'


*****


Empat puluh lima hari sudah aku disibukkan dengan projek bersama Micel. Yodha tak pernah lagi muncul di kafe. Terakhir kami bertemu, seminggu setelah dia mengenalkan Micel padaku. Saat itu dia bilang akan ke Malaysia, aku sempat bertanya berapa lama, dia hanya menjawab 'rahasia'.


Seminggu yang lalu, saat aku benar-benar merindukannya, kuberanikan mengirim pesan rindu padanya. Namun jawaban yang kudapat tak memuaskan dahaga rindu. Dia membalas dengan kutipan milik Dee Lestari dari buku Filosofi Kopi.


[Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.]


Kucoba meneleponnya, tapi nomornya tidak aktif. Telah berkali-kali kucoba, tetap saja aku selalu gagal menghubunginya. Aku lelah. Dikejar rasa rindu yang tak mau berlalu. Kurebahkan diri di ranjang, sesekali memeriksa ponsel berharap ada kabar darinya, hingga tak sadar aku terlelap.


Saat kelopak mata mulai membuka, hal pertama yang kucari adalah ponsel. Terlihat ada satu notifikasi pesan, sigap aku membacanya. Berharap itu pesan dari Yodha.


[Lyn ... bisa ke kafe? Ada yang mau aku bicarakan. Aku tunggu jam tujuh ya!] Lagi-lagi aku kecewa, nyatanya pesan itu dari Micel.


*****


Sesampainya di kafe, aku langsung duduk di tempat biasa, dan lampu kafe perlahan meremang. Sebuah film diputar pada layar besar yang diletakkan di panggung tempat biasa Yodha bernyanyi. Sebuah lagu Kekasih Bayangan milik Cakra Khan mulai mendayu, diikuti dengan munculnya foto-fotoku. Apa-apaan ini? Dahiku mengkerut. Alisku bertautan.


'Selamat malam semua, untuk gadis yang duduk di pojok sana, Lyn. Maaf jika kali ini aku menghilang lagi.'


Aku hafal betul suaranya, sosok lelaki yang muncul di layar besar itu.


"Yodha?" Hawa aneh sedikit menyelimuti pikiranku.


'Lyn, I love you! Aku selalu mencintaimu, tapi waktuku tidak akan cukup untuk membahagiakanmu. Aku selalu takut membuatmu terluka, Lyn.' Suara pria itu bergetar.


Layar itu mulai memutar setiap kenangan saat aku dan Yodha bersama, entah kapan dia mengabadikan gambarku.


'Lyn, jika kamu melihat film ini, berarti aku sudah berada di surga. Tolong ikhlaskan aku!'

Sontak aku berdiri, Micel yang entah sejak kapan berada di samping menarik tangan dan memaksaku duduk kembali. Pikiranku mulai berlarian. Detak jantungku mulai tak beraturan. Tirta yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata, mulai jatuh tanpa izin.


'Lyn, seperti kata Dee Lestari. Bersama kamu ... aku tidak takut lagi menjadi pemimpi! Mimpiku sederhana, Lyn. Sesederhana kemarau yang merindukan hujan. Aku ingin kamu bahagia. Kamu layak bahagia, Lyn. Aku menggagumi segala tentangmu. Tapi aku tak bisa lagi menjagamu. Bisakah kutitipkan kamu pada Micel? Berkenankah jika aku melamar kamu untuknya? Berjanjilah untuk selalu bahagia, Lyn!'

Kulihat ia terisak, aku memutar kembali memori yang terekam jelas di otak, saat kami bersama.


"Gila ...!" Meja kugebrak dan mataku mulai sembab


Film masih berputar tapi aku tak sanggup melihatnya, kepalaku ikut berputar. Kucari pintu keluar dan berlari ke mobil. Tanpa kusadar, Micel mengikutiku dari belakang. Saat aku membuka pintu mobil, Micel menutupnya kembali.


"Jangan menyetir dalam keadaan kalut! Bahaya!"


Aku mencoba menggeser tubuh Micel tapi gagal.


"Minggir!" Sekali lagi kucoba mendorong tubuhnya, sia-sia. Satu senti pun tubuhnya tak bergeser. "Maumu apa, hah?" teriakku.


Micel menghela napas, "Sini kuncinya. Biar aku yang nyetir!" Tangannya menengadah.

Aku pasrah, otakku seperti kekurangan oksigen. Penat. Kulempar kunci ke dadanya.


Kami berkendara dalam diam. Micel menyerahkan sebuah agenda yang digenggamnya sejak di kafe.


"Yodha menuliskan semua di situ."


Kuraih dan mulai membaca lembar demi lembar coretan yang tecetak. Tak kuasa menahan sesak, air mataku mengucur deras. Aku tergugu.


"Harus dengan apa lagi menjahit luka hatiku? Untuk apa bertemu jika pada akhirnya harus kehilangan lagi?" Aku mulai meracau.


Micel terdiam lama, membiarkan aku menangis puas. Ia menghela napas kasar, kutahu hatinya pun sedang bergelut dengan rasa kehilangan.


"Yodha sakit leukimia myeloid akut sejak SMA. Dulu pernah kemo dan mulai membaik. Namun belakangan sel-sel kankernya muncul lagi dan mengganas. Dia menolak untuk kemo. Tiga hari yang lalu, ia meninggal dan pemutaran film tadi ... itu permintaan terakhir Yodha. Dia telah mempersiapkan semuanya."


Micel mulai bercerita, aku memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya.


"Aku tahu kamu sangat mencintai Yodha. Terlihat jelas dari pancaran matamu setiap memandang sepupuku itu. Namun Tuhan lebih menyayanginya, Lyn. Jadi kumohon, tolong ikhlaskan Yodha."

"Antar aku ke makamnya!" Micel mengangguk pelan.


Memeluk pusara Yodha, sama sekali tak pernah terbayang olehku. Air mataku tumpah kembali. Kugenggam gundukan tanah yang masih basah itu. menumpahkan segala kerinduan di sana. Aku tak bisa memeluknya lagi, hanya tanah yang kini dengan egois bisa memeluk tubuh pria yang kucintai. Aku mendongakkan kepala, menatap Micel yang berdiri disamping.


"Cel, maukah kamu belajar mencintaiku? Seperti wasiat Yodha?" pintaku


Micel berjongkok mengikutiku lalu mengelus rambutku. "Aku mencintaimu sejak pertama kali Yodha menitipkan pujaan hatinya padaku. Lebih baik tanyakan hatimu, masih adakah ruang yang bisa aku sisipi? Karena semua akan sia-sia jika pintu hatimu tertutup."

Aku berpikir. Menghilangkan Yodha dari hati ini, sungguh mustahil kulakukan. Tapi wasiat itu kuanggap sebagai tanda cintanya padaku.


"Demi Yodha, aku akan mencoba."

Micel tersenyum, wajahnya menampakkan sebuah kelegaan. Aku menengadah ke atas, menatap langit yang mulai kelabu. Kurasakan setetes air membasahi lenganku. 

"Sepertinya akan turun hujan, sebaiknya kita pulang," ajak Micel sambil berdiri dan berlalu, aku membuntut dibelakangnya.


Kutinggalkan rumah baru Yodha. Mencoba mengabulkan permintaan terakhirnya untuk bahagia bersama sepupunya, Micel.

END.
 

~tsu~

#bbb
#eventkenangan




Diubah oleh tsuway.c001 14-07-2019 01:52
KnightDruid
anasabila
someshitness
someshitness dan 24 lainnya memberi reputasi
25
3.9K
60
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan