TS
darmaubunk
Mengenal Wayang Calonarang Yang Sudah Mulai Langka
Spoiler for Pengertian Wayang Calonarang:
Pada umumnya kalau kita mendengar wayang kulit maka terbayang pada kita wayang kulit mengambil lakon Parwa atau Ramayana. Kedua jenis pertunjukan wayang kulit ini dapat berfungsi sebagai penunjang yadnya maupun sebagai hiburan biasa.
Sebenarnya selain jenis ini kita masih banyak mempunyai macam wayang kulit yang agak khusus sifatnya. Khusus dalam arti pengambilan thema ceritranya maupun khusus dalam bentuk wayangnya. Diantara wayang khusus ini kami akan ketengahkan wayang kulit Calonarang.
Seperti biasanya bentuk pertunjukan-pertunjukan wayang, maka wayang calonarang bias dibawakan dalam bentuk Drama Tari, seperti drama tari Parwa dan wayang wong yang dilakukan oleh orang; jadi bukan wayang kulit. Drama tari Calonarang ini disebutkan Calonarang yang juga menggunakan tatacara drama tari tradisional yang lengkap. Sehingga apa thema cerita drama tari Calonarang ini bias dibawakan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit dengan bentuk wayang tertentu guna menggambarkan sesuatukarakter tokoh tertentu pula. Adapun bentuk-bentuk dari pada wayangnya sebagian terbesar menggambarkan bentuk-bentuk lucu dan menakutkan sehingga kurang diperhatikan keharmonisan bentuknya, yang penting dapat menggambarkan sesuatu watak sehubungan dengan penonjolan sifat-sifat black magic atau ilmua hitam. Hanya sebagian kecil wayangnya berbentuk seperti wayang pada umumnya yang kita kenal berbentuk baik dan benar-benar harmonis yaitu raja-raja, patih-patih dan juga beberapa wayang perempuan. Selainnya sebagai besar bentunya lucu dan aneh.
Sebenarnya selain jenis ini kita masih banyak mempunyai macam wayang kulit yang agak khusus sifatnya. Khusus dalam arti pengambilan thema ceritranya maupun khusus dalam bentuk wayangnya. Diantara wayang khusus ini kami akan ketengahkan wayang kulit Calonarang.
Seperti biasanya bentuk pertunjukan-pertunjukan wayang, maka wayang calonarang bias dibawakan dalam bentuk Drama Tari, seperti drama tari Parwa dan wayang wong yang dilakukan oleh orang; jadi bukan wayang kulit. Drama tari Calonarang ini disebutkan Calonarang yang juga menggunakan tatacara drama tari tradisional yang lengkap. Sehingga apa thema cerita drama tari Calonarang ini bias dibawakan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit dengan bentuk wayang tertentu guna menggambarkan sesuatukarakter tokoh tertentu pula. Adapun bentuk-bentuk dari pada wayangnya sebagian terbesar menggambarkan bentuk-bentuk lucu dan menakutkan sehingga kurang diperhatikan keharmonisan bentuknya, yang penting dapat menggambarkan sesuatu watak sehubungan dengan penonjolan sifat-sifat black magic atau ilmua hitam. Hanya sebagian kecil wayangnya berbentuk seperti wayang pada umumnya yang kita kenal berbentuk baik dan benar-benar harmonis yaitu raja-raja, patih-patih dan juga beberapa wayang perempuan. Selainnya sebagai besar bentunya lucu dan aneh.
Spoiler for Cara Pementasan :
Pementasan dilakukan pada waktu malam sama dengan pementasan wayang Cara Pementasan]kulit umumnya. Bahkan pementasan wayang kulit Calonarang ini disamping memerlukan banten peras wayang dan peras gamelan umum, juga diperlukan sebuah bebanten khusus karena nanti dalam klimak pertunjukan wayang ini akan terjadi peristiwa – peristiwa ngtag leyak sehingga suasana pertunjukan benar-benar menjadi serem dan menakutkan : Karena sifat khusu inilah diperlukan satu unit banten untuk keselamatan bersama. Menurut pengamatan kami dan berdasarkan ucapan-ucapan ki dalang pada waktu “Penyacah Parwa” cara-caranya sama saja dengan pertunjukan wayang kulit pada umumnya. Dalam hal sama saja dengan pertunjukan wayang kulit pada umumnya. Dalam hal ini istilah “Nyacah Parwa” kami tulis dalam tanda petik karena istilah ini rupanya menjadi istilah umum untuk menyebutkan suatu fase dalam mana ki dalang mulai menggerakkan kayonan setelah habis megunem dan menguraikan lakon apa yang akan diketengahkan waktu itu.
Spoiler for Lakon:
Lakonnya khusus sesuai dengan sifat wayang ini adalah diambil dari sumber pokok yalah peperangan antara Prabu Erlangga melawan Ni Calonarang dengan para siswanya. Dan berakhir dengan kekalahan dibalik pemilik ilmu hitam dan kemenangan berada dibalik Prabu Erlangga dengan bantuan Pendeta Sakti Empu Bradah. Disamping ini muncul lakon-lakon penyalonarangan lain merupakan pariasi dari pada ceritera induk ini. Bahkan dari babad Calonarang yang berpokok pada Prabu Erlangga dengan Randengdirah ini banyak terdapat versi-versi yang merupakan ranting-ranting dari pokok ini seperti Versi keraton yang mengisahkan tentang “Diusir Ratna Menggali”, Versi masyarakat yang mengisahkan tentang “Bahula Duta”. Versi cerita Cerita “Kautus Rarung”, Cerita “Diah Padma Yoni”.
Spoiler for Foto:
cuma dapet segini aja di gugel gan
tp d yutub ada kok videonya
Penyebab wayang ini semakin langka di pentaskan:
1. hanya untuk acara-acara tertentu saja
2. dipertunjukkan bagi orang-orang yang ingin membayar sesangi/kaul
3. Pertunjukannya gak seserem jaman dulu
Spoiler for penjelasan alasan No. 3:
Pentas wayang kulit itu di kuburan di pinggiran Kota Denpasar. Ini tidak lazim. Memang, wayang kulit ini mengambil lakon Calon Arang, sebuah kisah di zaman Kerajaan Kediri abad ke 11. Pentas di kuburan dimaksudkan untuk lebih mendekatkan kepada lakon aslinya, juga sebagai pertanda bahwa lakon ini tak bisa dipentaskan sembarangan. Penonton cukup banyak untuk ukuran penggemar wayang kulit Bali yang sedang jauh merosot.
Menjelang tengah malam, saat tokoh Calon Arang muncul, penonton bertambah banyak. Suara dalang sudah mulai meninggi dan menantang siapa saja yang bisa nge-leyak (menjadi leyak) untuk adu kesaktian. Dalam kelir terlihat adegan Calon Arang menantang Mpu Baradah. Inilah puncak cerita. Calon Arang, yang di Bali diyakini sebagai ibu dari segala jenisleyak, mengundang murid-muridnya untuk menyerang Mpu Baradah. Meski adegan dalam kelir itu hanya terlihat Mpu Baradah yang mirip kesatria Pandawa, menantang Calon Arang yang mirip raksasa perempuan, tetapi penonton maklum, ini saatnya Ki Dalang beradu sakti melawan leyak yang datang ke pementasan itu. Siapa yang kalah akan celaka, apakah itu Ki Dalang atau leyak.
Tetapi, sudah setengah jam adegan mengundang leyak itu berlangsung, tak ada tanda-tanda “adu kesaktian” antara dalang dengan leyak. Penonton pun tidak ketakutan, malah saling celoteh untuk menunjukkan ketidak-puasannya. Satu persatu penonton hilang dan pentas itu ditinggalkan. Tak ada leyak, tak ada pertarungan, tak ada pemenang dan pecundang, sampai pertunjukan bubar.
Ini adalah salah satu pemanggungan “wayang leyak” untuk menyebut kata lain dari “wayang Calon Arang”. Dan pertunjukan ini adalah rangkaian dari Festival Wayang Calon Arang se Provinsi Bali, yang digelar tahun2002. Setelah itu tak ada lagi terdengar pementasan wayang kulit Calon Arang di seantero Bali.
Situasi ini sungguh beda dengan, katakanlah, 30 tahun yang silam. Ketika itu, jika ada pementasan wayang kulit Calonarang, penonton berjubel, dan pertunjukan berakhir menjelang dini hari. Penonton takut pulang sebelum hari benar-benar pagi karena akan menjumpai leyak-leyak yang kalah. Kalau direkonstruksi, suasananya kira-kira seperti ini:
Pementasan tidak perlu di kuburan, cukup di perempatan desa, yang dalam kepercayaan Hindu di Bali adalah juga “tenmpat keramat”. Dalang menggelar lakon Calon Arang yang tentu saja sesuai dengan teks cerita yang ada di Bali. Dimulai dari Kerajaan Kediri dengan Raja Erlangga yang gelisah karena banyak rakyatnya mati secara mendadak akibat perbuatan jahat Calon Arang dan murid-muridnya. Cerita runtut sampai ditemukannya Mpu Baradah yang punya akal untuk menaklukkan janda dari Dirah ini. Mpu Baradah meminta salah satu muridnya (beberapa dalang seringkali menyebut anaknya), Mpu Bahula, untuk mengawini putri Calon Arang, yakni Ratna Manggali. Ketika tinggal serumah itulah, Mpu Bahula atas bantuan Ratna Manggali, mencuri kitab yang dipakai Calon Arang untuk menebar maut, dan kitab itu diperlihatkan ke Mpu Baradah. Setelah dipelajari, Mpu Baradah pun tahu bagaimana menangkal ilmu jahat Calon Arang, karena dalam kitab itu sendiri sudah ada jawabannya. Nah, setelah itu, baru Mpu Baradah menantang Calon Arang.
Ini yang ditunggu penonton. Mpu Baradah menantang Calon Arang untuk mengerahkan seluruh muridnya. Jika dalang itu memang sakti dan punya nyali – dan biasanya memang mempelajari ilmu peng-leyak-an yang ada dalam lontar kuno – tanda-tanda bahwa ia menang adalah pementasan berlangsung terus. Lalu, muncul di kelir wayang-wayang yang menggambarkan wanita dengan pakaian dan wujud aneh. Itu adalah visualisasi dari leyak yang datang. Ki dalang lalu secara lantang menyebutkan siapa nama wayang leyak itu. Bukan lagi bernama Larung, Lende, Weksira, Guyang dan sebagainya, seperti dalam naskah asli Calon Arang, tetapi nama-nama penduduk sebenarnya yang ada di kawasan pementasan itu. Sebelum menyebutkan nama, Sang Dalang mengucapkan kata-kata, tentu dalam bahasa Bali, yang kurang lebih terjemahannya; “Saya minta maaf kalau nama-nama wayang leyak berikut ini punya kemiripan dengan nama-nama penduduk di sekitar, ini hanya kebetulan saja.” Penonton tahu kalau itu cuma basa-basi, dan di situlah penonton bisa tercengang jika nama yang disebut sang dalang adalah tetangganya atau orang yang dikenalnya. Apalagi jika wanita itu populer.
Pertarungan sengit antara Mpu Baradah dengan Calon Arang, visualisasinya ada di kelir, namun beberapa penonton konon ada yang melihat api menyambar kelir, atau api melesat di langit. Pada saat seperti ini tak ada penonton yang berani pulang dari tempat pertunjukan, karena bisa saja menemukan leyak di jalanan, atau wanita yang meraung-raung di bawah pohon – ini simbul leyak yang kalah oleh kesaktian Ki Dalang.
Jika Ki Dalang yang kalah, ia bisa langsung muntah-muntah dan tidak meneruskan pementasan. Tanda lainnya adalah lampu blencong memudar dan kemudian mati dengan sendirinya, meski pembantu dalang telah mengguyurnya dengan minyak. Esok hari orang akan mencari tahu, apakah dalang itu sakit atau tidak.
sumber : http://m.mpujayaprema.com/?x=r&i=21
Menjelang tengah malam, saat tokoh Calon Arang muncul, penonton bertambah banyak. Suara dalang sudah mulai meninggi dan menantang siapa saja yang bisa nge-leyak (menjadi leyak) untuk adu kesaktian. Dalam kelir terlihat adegan Calon Arang menantang Mpu Baradah. Inilah puncak cerita. Calon Arang, yang di Bali diyakini sebagai ibu dari segala jenisleyak, mengundang murid-muridnya untuk menyerang Mpu Baradah. Meski adegan dalam kelir itu hanya terlihat Mpu Baradah yang mirip kesatria Pandawa, menantang Calon Arang yang mirip raksasa perempuan, tetapi penonton maklum, ini saatnya Ki Dalang beradu sakti melawan leyak yang datang ke pementasan itu. Siapa yang kalah akan celaka, apakah itu Ki Dalang atau leyak.
Tetapi, sudah setengah jam adegan mengundang leyak itu berlangsung, tak ada tanda-tanda “adu kesaktian” antara dalang dengan leyak. Penonton pun tidak ketakutan, malah saling celoteh untuk menunjukkan ketidak-puasannya. Satu persatu penonton hilang dan pentas itu ditinggalkan. Tak ada leyak, tak ada pertarungan, tak ada pemenang dan pecundang, sampai pertunjukan bubar.
Ini adalah salah satu pemanggungan “wayang leyak” untuk menyebut kata lain dari “wayang Calon Arang”. Dan pertunjukan ini adalah rangkaian dari Festival Wayang Calon Arang se Provinsi Bali, yang digelar tahun2002. Setelah itu tak ada lagi terdengar pementasan wayang kulit Calon Arang di seantero Bali.
Situasi ini sungguh beda dengan, katakanlah, 30 tahun yang silam. Ketika itu, jika ada pementasan wayang kulit Calonarang, penonton berjubel, dan pertunjukan berakhir menjelang dini hari. Penonton takut pulang sebelum hari benar-benar pagi karena akan menjumpai leyak-leyak yang kalah. Kalau direkonstruksi, suasananya kira-kira seperti ini:
Pementasan tidak perlu di kuburan, cukup di perempatan desa, yang dalam kepercayaan Hindu di Bali adalah juga “tenmpat keramat”. Dalang menggelar lakon Calon Arang yang tentu saja sesuai dengan teks cerita yang ada di Bali. Dimulai dari Kerajaan Kediri dengan Raja Erlangga yang gelisah karena banyak rakyatnya mati secara mendadak akibat perbuatan jahat Calon Arang dan murid-muridnya. Cerita runtut sampai ditemukannya Mpu Baradah yang punya akal untuk menaklukkan janda dari Dirah ini. Mpu Baradah meminta salah satu muridnya (beberapa dalang seringkali menyebut anaknya), Mpu Bahula, untuk mengawini putri Calon Arang, yakni Ratna Manggali. Ketika tinggal serumah itulah, Mpu Bahula atas bantuan Ratna Manggali, mencuri kitab yang dipakai Calon Arang untuk menebar maut, dan kitab itu diperlihatkan ke Mpu Baradah. Setelah dipelajari, Mpu Baradah pun tahu bagaimana menangkal ilmu jahat Calon Arang, karena dalam kitab itu sendiri sudah ada jawabannya. Nah, setelah itu, baru Mpu Baradah menantang Calon Arang.
Ini yang ditunggu penonton. Mpu Baradah menantang Calon Arang untuk mengerahkan seluruh muridnya. Jika dalang itu memang sakti dan punya nyali – dan biasanya memang mempelajari ilmu peng-leyak-an yang ada dalam lontar kuno – tanda-tanda bahwa ia menang adalah pementasan berlangsung terus. Lalu, muncul di kelir wayang-wayang yang menggambarkan wanita dengan pakaian dan wujud aneh. Itu adalah visualisasi dari leyak yang datang. Ki dalang lalu secara lantang menyebutkan siapa nama wayang leyak itu. Bukan lagi bernama Larung, Lende, Weksira, Guyang dan sebagainya, seperti dalam naskah asli Calon Arang, tetapi nama-nama penduduk sebenarnya yang ada di kawasan pementasan itu. Sebelum menyebutkan nama, Sang Dalang mengucapkan kata-kata, tentu dalam bahasa Bali, yang kurang lebih terjemahannya; “Saya minta maaf kalau nama-nama wayang leyak berikut ini punya kemiripan dengan nama-nama penduduk di sekitar, ini hanya kebetulan saja.” Penonton tahu kalau itu cuma basa-basi, dan di situlah penonton bisa tercengang jika nama yang disebut sang dalang adalah tetangganya atau orang yang dikenalnya. Apalagi jika wanita itu populer.
Pertarungan sengit antara Mpu Baradah dengan Calon Arang, visualisasinya ada di kelir, namun beberapa penonton konon ada yang melihat api menyambar kelir, atau api melesat di langit. Pada saat seperti ini tak ada penonton yang berani pulang dari tempat pertunjukan, karena bisa saja menemukan leyak di jalanan, atau wanita yang meraung-raung di bawah pohon – ini simbul leyak yang kalah oleh kesaktian Ki Dalang.
Jika Ki Dalang yang kalah, ia bisa langsung muntah-muntah dan tidak meneruskan pementasan. Tanda lainnya adalah lampu blencong memudar dan kemudian mati dengan sendirinya, meski pembantu dalang telah mengguyurnya dengan minyak. Esok hari orang akan mencari tahu, apakah dalang itu sakit atau tidak.
sumber : http://m.mpujayaprema.com/?x=r&i=21
Sumber: http://pdwi.org/index.php?option=com...sia&Itemid=187
0
4.3K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan