Setelah beberapa waktu yang lalu kita sudah membahas tentang potensi energi di Indonesia melalui Energi Baru Terbarukan, kemudian juga kita sudah mengenal tentang Energi Tak Terbarukan yang seharusnya di jaga agar sumber daya energi tersebut terpelihara. Sekarang saya akan mengajak kalian semua untuk mengenali dan mendalami tantangan-tantangan yang sedang dan akan di hadapi oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia terkait kondisi Energi kita.
Di awal masa jabatnya pada November 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutarakan beberapa agenda atau target capaiannya selama lima tahun kedepan. Salah satunya adalah di sektor energi terkait kelistrikan tanah air. Keprihatinan bapak Presiden kita ini berawal dari banyaknya desa di pelosok-pelosok tanah air yang masih belum teraliri listrik.
Berangkat dari keprihatinanya, bapak presiden kita lantas mewacanakan untuk merealisasikan program 35.000 Megawatt (MW) dengan harapan bisa melistriki seluruh desa terpencil di 2019 mendatang. Ternyata banyak pihak yang meragukan proyek ini akan tuntas sesuai target Pak Jokowi. Proyek ini bukan hanya dianggap ambisius tetapi juga dianggap tidak realistis.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan realisasi proyek yang masuk dalam tahap konstruksi sebesar 13.816 MW. Sebesar 8.210 MW pembangkit listrik telah tanda tangan kontrak. Sementara, 5.845 MW dalam proses pengadaan dan 7.212 MW lainnya dalam tahap perencanaan.
Sujatmiko menuturkan, 743 MW itu terdiri dari 37 proyek dan tersebar mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Sebanyak 30 proyek pembangkit dapat menggunakan energi bersih, mulai dari gas bumi, surya, air hingga biogas. "Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dapat juga menggunakan diesel. Hanya 7 proyek saja yang benar-benar menggunakan diesel," ujarnya.
Disadari bahwa bukanlah perkara mudah untuk merealisasikan program tersebut. Untuk itu pemerintah menerapkan strategi-strategi pelaksanaan proyek 35000 MW, yakni :
- Mempercepat ketersediaan lahan dengan menerapkan Undang-undang 2/2012 tentang pembebasan lahan
- Menyediakan proses negosiasi harga dengan menetapkan harga patokan tertinggi untuk swasta dan excess power
- Mempercepat proses pengadaan dengan mengacu pada Permen ESDM 3/2012 dengan alternatif penunjukan langsung atau pemilihan langsung untuk energi baru terbarukan (EBT), mulut tambang, gas marjinal, ekspansi, dan excess power
- Memastikan kinerja pengembang dan kontraktor andal dan terpercaya melalui penerpan uji tuntas (due diligence)
- Mengendalikan proyek melalui project management office (PMO)
- Memperkuat koordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait
Program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 yang lalu ini terus dikebut. Sekarang sebaiknya kita bertanya-tanya, sudah sejauh mana ya perkembangan program ini setelah berjalan 2 tahun?
Dikutip dari data PLN, Jumat (31/3/2017), berikut progres teranyar program 35.000 MW per 10 Maret 2017:
Porsi PLN
Perencanaan 3.562 MW (34%)
Pengadaan 2.429 MW (23%)
Konstruksi 3.969 MW (37%)
Commercial Operation Date/COD 600 MW (6%)
Porsi Independent Power Producer (IPP)
Perencanaan 3.971 MW (16%)
Pengadaan 5.788 MW (23%)
Sudah kontrak Power Purchase Agreement (PPA) tapi belum konstruksi 8.806 MW (35%)
Konstruksi 6.643 (23%)
Commercial Operation Date/COD 39 MW
Power house: A PLN worker carries out a routine inspection at the 150 KV Mampang Dua electrical relay station in Jakarta. (Antara/Widodo S. Jusuf)
Secara total, 7.533 (21%) sedang dalam tahap perencanaan, 8.217 (23%) di pengadaan, 8.806 MW (25%) sudah PPA tapi belum konstruksi, 10.442 MW (29%) sudah konstruksi, dan 639 MW yang sudah COD.
Berdasarkan catatan detikFinance, pada Oktober 2016 lalu proyek pembangkit yang sudah masuk tahap konstruksi masih 8.716 MW. Artinya dalam waktu kurang dari 6 bulan ada hampir 1.726 MW pembangkit lagi yang sudah mulai dibangun. Lalu pembangkit yang sudah COD alias beroperasi secara komersial pada Oktober 2016 sebanyak 232 MW, per 10 Maret 2017 bertambah menjadi 639 MW.
Jika progress ini terus berlanjut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa baru pada tahun 2024 Indonesia akan mampu menyelesaikan proyek 35.000 Mega Watt. Sedangkan pada tahun 2019, dengan asumsi Indonesia stabil pada progress 1.726 MW setiap 6 bulan, maka pencapaian pemerintah baru sebesar 15.620 MW yang sudah diselesaikan atau masih dalam tahap konstruksi pada bulan September 2019.
Agar target pencapaian program 35.000 MW ini berjalan dengan lancer, maka pemerintah sudah semestinya bekerja keras untuk menuntaskan segala permasalahan di lapangan dengan cepat. Setidaknya dibutuhkan sekitar 20.000 MW lagi untuk menuntaskan mega proyek ini.
Dari sisi kebijakan proyek ini paling tidak mempunyai 3 tujuan startegis. Pertama, memeratakan pasokan listrik di daerah-daerah yang belum mendapatkan aliran listrik. Kedua, menambah cadangan listrik sebesar 30% di atas beban puncak pada hampir semua wilayah. Ketiga, menjadikan listrik sebagai pendorong pertumbuhan industri dan wilayah.
Khusus untuk NTT, Maluku, dan Papua penekanannya adalah mengalirkan listrik yang selama ini belum teraliri listrik. “Untuk daerah-daerah ini kita tidak berhitung soal untung rugi, kita akan subsidi. Yang justru jadi perhatian PLN adalah memperbesar cakupan wilayah yang teraliri listrik,” jelas Sofyan Basir, pada diskusi Listrik di Kantor Staf Presiden, Mei, 2016.
Selain meningkatkan elektrifikasi, kekurangan pasokan listrik dan rendahnya tingkat cadangan listrik juga menjadi persoalan. Beberapa daerah di luar jawa mengalami minus listrik. Dalam arti, kapasitas pembangkit tidak bisa memenuhi permintaan masyarakat akan listrik. Sementara di daerah lain, kebutuhan listrik terpenuhi, namun tidak punya cadangan, sehingga rawan pemadaman listrik, jika pembangkit mengalami gangguan. Yang cukup lumayan adalah kondisi pembangkit di Jawa dan Sulawesi Selatan dengan tingkat cadangan sekitar 30%.
Sejujurnya setelah mengetahui tujuan strategis dari proyek ini, penyebaran listrik (elektrifikasi) di Indonesia memang seharusnya merata, sebab saya sempat berpikir bahwa kenapa masih ada wilayah-wilayah di daerah Kalimantan yang notabene memiliki atau menjadi sumber pertambangan batubara masih saja sering mati lampu? Kenapa kita yang tinggal di pulau jawa, dimana tidak memiliki sumber energi batubara sebanyak di Kalimantan masih bisa merasakan listrik lebih baik daripada saudara-saudara kita di Kalimantan? Bagaimana di Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, NTT, Bali dan Papua?
Semoga pemerintah bisa menuntaskan Mega Proyek ini tepat waktu dengan program atau kebijakan yang bisa menjadi akselerasi pembangunan infrastruktur pembangkit listrik yang merata. Kita sebagai masyarakat Indonesia perlu mengawal terus setiap kegiatan pemerintah terkait dengan proyek ini. Jikalau ada pembangunan infrastruktur yang akhirnya mangkrak, maka target pencapaian mega proyek ini pun akan ikut tertunda.