iambacknowAvatar border
TS
iambacknow
Defisit Keseimbangan Primer Indikasikan Utang Tak Produktif
Tambahan utang mestinya perbaiki keuangan negara. Kenaikan peringkat utang diperlukan untuk memperlancar pembiayaan.


JAKARTA - Kredibilitas pengelolaan utang dinilai tidak bisa diukur dengan indikator tunggal, seperti rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Alasannya, ada beberapa negara ternyata mengalami gagal bayar atau default, meskipun rasio utangnya tergolong aman.

“Tapi karena tidak produktif, utang lebih banyak untuk belanja subsidi maka akhirnya anggaran bisa jebol,” kata ekonom Indef, Enny Sri Hartati, di Jakarta, Kamis (6/4). Menurut Enny, indikator paling riil dan konkret untuk mengukur kesehatan utang adalah neraca keuangan pemerintah. Makanya, ketika neraca keseimbangan primer defisit sudah pasti utang itu tidak produktif.

Artinya, kalau keseimbangan neraca primer defisit sama saja penerimaan pemerintah justru menurun. “Ketika modal yang berasal dari tambahan utang itu tadi dimasukkan ke dalam belanja pemerintah itu tidak menambah penerimaan tapi malah justru penerimaannya semakin tekor.

Kalau seperti itu, apa gunanya utang,” kata dia. Enny mengungkapkan keseimbangan primer Indonesia sudah defisit sejak 2012. Ini artinya, selama empat tahun terakhir keuangan pemerintah sedang tekor. Dalam APBN 2017 disebutkan defisit keseimbangan primer ditargetkan 109 triliun rupiah.

“Semestinya, kalau kita menarik utang baru setidaknya keuangan negara membaik. Tapi yang terjadi, utang terus bertambah dan keseimbangan primer defisit atau malah tekor,” jelas dia. Keseimbangan primer, lanjut dia, dihitung dari jumlah keseluruhan belanja negara dikurangi beban utang termasuk bunga utang.

Kemudian, dibandingkan dengan penerimaan. Enny pun mencontohkan Spanyol sebagai negara yang menderita kesulitan keuangan akibat terus-menerus defisit dan utangnya terus menumpuk. “Tapi Indonesian kaya sumberdaya alam. Ibaratnya, menjual satu pulau utang bisa lunas.

Tapi kan nggak bisa begitu. Artinya, peranan dari stimulus fiskal pemerintah itu semakin memburuk. Solusinya disiplin anggaran dan sebenarnya dimulai dari kredibilitas anggaran,” kata dia.

Sebelumnya, Ekonom UMY, Achmad Maruf, mengatakan pemerintah harus mampu meningkatkan kinerja pengelolaan fiskal, terutama dengan terus menekan defisit anggaran dan mengurangi utang, sehingga dinilai layak oleh Standard and Poor’s (S&P) untuk mendapatkan kenaikan peringkat.

Di tengah tidak tercapainya target penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir, defisit APBN justru cenderung meningkat sehingga terus menambah penarikan utang baru. Hingga kini stok utang pemerintah tidak pernah berkurang dan telah mencapai sekitar 3.589 triliun rupiah.

“Kalau dari utang jelas status kita tidak begitu baik, sebab pendapatan dari pajak susah sekali digenjot untuk mengimbangi kenaikan utang,” ujar Maruf. Sementara itu, S&P saat ini memberikan peringkat BB+ untuk surat utang jangka panjang dan B untuk surat utang jangka pendek, dengan prospek positif.

S&P menekankan, jika kerangka fiskal yang disusun pemerintah mampu diiringi perbaikan performa melalui penurunan defisit anggaran dan jumlah utang, tidak menutup kemungkinan peringkat Indonesia naik ke layak investasi pada pertengahan tahun ini.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik, mengatakan bila Indonesia belum meraih peringkat investment grade, hal itu antara lain akan membuktikan besarnya beban utang luar negeri dalam jangka panjang sehingga merugikan perekonomian nasional.

“Indonesia sangat membutuhkan kenaikan peringkat itu karena situasi sekarang. Di satu sisi pemerintah sangat membutuhkan utang dari luar, di sisi lain likuiditas global berpeluang mengetat sehingga arus modal masuk belum tentu seperti yang diharapkan,” jelas dia.

Belanja Kreatif

Guna menegakkan disiplin anggaran untuk menekan defisit, Enny mengatakan pemerintah bisa melakukan belanja kreatif, yaitu mendahulukan belanja prioritas yang mampu memberikan stimulus terhadap perekonomian. Namun, tidak memukul rata pemotongan anggaran.

“Jadi bukan berdasarkan pagu anggaran yang ada di masing-masing kementerian, seperti yang pernah dilakukan pemerintah memotong anggaran 10 persen pada semua kementrian dipukul rata,” papar dia. Kemudian yang kedua, imbuh Enny, mulai disisir adanya tumpang tindih anggaran karena terkadang belanja barang dan belanja modal dalam implementasinya beda-beda tipis.

Oleh karena itu, selain disiplin dalam hal penganggaran juga harus memperjelas definisi antara belanja barang dan modal. Kemudian, selain anggaran diarahkan untuk memberikan stimulus yang bisa menggerakan perekonomian, hendaknya melibatkan swasta sehingga tidak ada kepentingan masyarakat yang dikorbankan. Namun, semua aturan harus jelas dari awal. ahm/SB/WP

http://www.koran-jakarta.com/defisit...tak-produktif/

Utang Bayar Bunga Utang


TARIK utang untuk bayar bunga utang masih sulit dihindari pemerintah untuk tahun depan. Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, praktik ”gali lubang tutup lubang” ini tecermin dalam posisi defisit keseimbangan primer (selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang) yang diprediksi pada kisaran Rp50 triliun hingga Rp99 triliun.

Memang dalam postur APBN tahun depan defisit anggaran dibuat cukup lebar. Defisit anggaran diasumsikan 1,9% hingga 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan belanja anggaran sebesar Rp2.204 triliun sampai dengan Rp2.349 triliun.

Sejak kapan terjadi defisit keseimbangan primer? Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), negeri ini sudah mengalami defisit keseimbangan primer sejak 2012 sebesar Rp52,7 triliun, setahun kemudian atau 2013 membengkak menjadi sekitar Rp98,6 triliun, lalu 2014 mengalami penurunan tipis menjadi Rp93,2 triliun.

Namun tahun berikutnya atau 2015 meroket lagi hingga sebesar Rp142,4 triliun dan kembali melemah pada 2016 yang terekam sekitar Rp105,5 triliun serta untuk tahun ini diprediksi sebesar Rp109 triliun. Apa boleh buat, kemampuan pemerintah membayar bunga utang dari penerimaan negara tak sampai. Salah satu solusinya adalah menarik utang baru untuk melunasi bunga utang.

Seberapa besar utang pemerintah saat ini? Berdasarkan data yang dirilis Kemenkeu, total utang pemerintah mencapai Rp3.667,41 triliun pada posisi akhir April 2017. Yang menarik dicermati adalah penarikan utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat cukup besar.

Tengok saja utang pemerintah pada akhir 2014 terlampir sebesar Rp2.604,93 triliun. Jadi kalau dihitung kenaikan utang pemerintah selama 2,5 tahun di masa pemerintahan Presiden Jokowi mencapai Rp1.062,48 triliun.

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tak luput dari penambahan utang, tetapi tidak sederas zaman sekarang. Dalam periode kedua pemerintahan Presiden SBY, yakni 2010 sampai dengan 2014, total penarikan utang sebesar Rp1.019 triliun. Hanya saja pada era Presiden SBY, keuangan negara terbebani oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Dalam dua tahun terakhir ini, diakui Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah memang banyak menarik utang untuk membiayai sarana infrastruktur yang menjadi fokus pembangunan.

Terlepas dari penjelasan formal soal penambahan utang pemerintah yang cukup besar, memang ada beberapa situasi dalam dua tahun terakhir ini ”memaksa” pemerintah untuk berutang lebih besar lagi.

Pada 2015, tercatat kenaikan utang sangat signifikan disebabkan target pajak yang dipatok jauh lebih besar daripada tahun sebelumnya. Celakanya situasi perekonomian nasional tidak mendukung alias melambat, sedangkan anggaran belanja yang dikucurkan sangat besar.

Akibatnya penarikan utang pun jadi solusi efektif yang ditempuh pemerintah. Tahun lalu pemerintah kembali dihantui penarikan utang yang besar. Namun ”pedang” Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berhasil memangkas belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah pada pertengahan tahun.

Dari total utang pemerintah pusat sebagian besar berbentuk surat utang atau surat berharga negara (SBN). Tercatat nilai penerbitan SBN mencapai Rp2.932,69 triliun hingga periode April 2017.

Adapun pinjaman dalam bentuk bilateral maupun multilateral tercatat sebesar Rp734,71 triliun. Data jenis utang pemerintah tersebut hasil publikasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu.

Secara bilateral, negara pemberi utang terbesar adalah Jepang di urutan teratas, lalu Prancis dan Jerman. Adapun secara multilateral berasal dari Bank Dunia, lalu Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam.

Meski total utang sudah menembus Rp3.667,41 triliun, pemerintah menyatakan masih dalam kondisi terkontrol, dengan alasan bahwa rasio utang terhadap PDB masih dalam batas aman, yakni di bawah 30%.

Pemerintah pun mengklaim bahwa utang yang ada sekarang masih dalam kategori produktif untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita percaya bahwa utang masih produktif. Namun bagaimana dengan fakta menarik utang untuk bayar bunga utang?


https://nasional.sindonews.com/read/...-1497461087/13

TEKOR
ibarat lu pekerja gajian naik gaji 5% tapi kena inflasi 6%
eh nasi padang udah naik tuh rendangnya 1000 rendang doang blm sama nasinya sama es jeruk yg biasa 6rb udah 8rb emoticon-Leh Uga
0
7.8K
94
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan