Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Perdebatan Sinterklas, dari fatwa MUI hingga strategi dagang

Perajin menyelesaikan pembuatan patung Sinterklas di kawasan Jalan Arjuna, Kota Denpasar, Bali, Selasa (13/12). Menjelang Natal, patung Sinterklas yang dijual Rp2-4 juta itu ramai dipesan oleh Gereja, Hotel dan pusat perbelanjaan.
Jelang akhir tahun, atribut Natal --macam topi Sinterklas-- lazim menghiasi pusat-pusat perbelanjaan. Nyaris tiap tahun pula soal atribut Natal ini jadi kontroversi di Indonesia.

Tahun ini, kontroversi kembali mencuat, beriring fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam surat bernomor 56 tahun 2016 (14 Desember 2016), MUI berfatwa, "Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram".

Meski tak spesifik menyinggung atribut Natal, tetapi momen rilisnya fatwa menyiratkan tendensi untuk menyasar pernak-pernik di sekitar hari besar umat Kristiani itu.

Sejumlah daerah turut menggenapi perkara ini dengan mengeluarkan imbauan agar perusahaan-perusahaan tidak memaksa karyawan menggunakan atribut natal. Misal yang terjadi di Bandung, dan Padang.

Fatwa MUI juga memicu razia sejumlah organisasi masyarakat (ormas).

Seperti yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, saat massa Front Pembela Islam (FPI) mendatangi pusat-pusat perbelanjaan dengan dalih menyiarkan fatwa MUI, Minggu (18/12). Bahkan, pihak kepolisian ikut mengawal aksi itu, seperti ditulis Merdeka.com.

Di Bekasi, polisi malah melangkah lebih jauh. Kepolisian Resor Bekasi ikut mengimbau pengusaha agar tidak memaksa pengenaan atribut keagamaan non-Muslim kepada pegawai beragama Islam.

Hal itu tertuang dalam surat bernomor B/4240/XII/2016/Resort Bekasi Kota (15 Desember 2016), yang diteken Kapolres, Komisaris Besar Umar Surya Fana. Surat tersebut turut menyertakan fatwa MUI sebagai dasar pertimbangan --seolah memosisikan organisasi para ulama itu sebagai lembaga negara.

Hal yang sama juga dilakukan Polres Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Alhasil, muncul kekhawatiran bila surat macam itu bisa jadi jalan masuk bagi ormas intoleran melakukan razia. "Saya justru khawatir imbauan semacam ini bisa disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk razia," kata Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, dikutip Berita Satu.

Edaran atribut natal itu juga bikin berang Kepala Polri, Jenderal Tito Karnavian. Tito langsung menegur Polres-Polres yang mengeluarkan edaran --sekaligus mencabutnya.

"Fatwa MUI bukan rujukan hukum positif, (tapi) itu sifatnya koordinasi, bukan rujukan kemudian ditegakkan. Jadi langkah-langkahnya koordinasi, bukan mengeluarkan surat edaran yang bisa menjadi produk hukum bagi semua pihak," kata Tito, dikutip Kompas.com.
TEGAS !!! Ini Surat dari POLRES BEKASI untuk perusahaan-perusahaan INTOLERAN yg gemar paksa Muslim pakai atribut Natal. [URL="https://S E N S O ReMQrLO8U4g"]pic.twitter.com/eMQrLO8U4g[/URL]
— Front Pembela Islam (@DPP_FPI) December 16, 2016 Mendebat fatwa MUI
Di media sosial, sejumlah akun berpengaruh bereaksi atas fatwa MUI soal atribut natal.

Pegiat Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menyebut bahwa fatwa MUI bukan sesuatu yang mengikat umat Muslim.

Putri mendiang Gus Dur itu mengibaratkan posisi MUI sama dengan ormas Islam lain macam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

"Fatwa Muhammadiyah: rokok haram. Di NU fatwa itu tidak diikuti. Fatwa MUI ya setara itu. Tidak mengikat semua umat," tulis @AlissaWahid (205 ribu pengikut), memberi contoh.

Tokoh NU, Mustofa Bisri (Gus Mus, 824 ribu pengikut) pun mengingatkan bahwa MUI bukan lembaga negara. Karena ketidak-tahuan, kata Gus Mus, banyak orang yang menganggap fatwa dari MUI sebagai sesuatu yang mengikat.
Karena tdk tahu, banyak org ~termasuk mungkin yg di MUI dan di pemerintahan~ menganggap bahwa MUI itu lembaga negara yg fatwanya mengikat. [URL="https://S E N S O RYCEZ0XvTVW"]https://S E N S O RYCEZ0XvTVW[/URL]
— A. Mustofa Bisri (@gusmusgusmu) December 18, 2016 Fatwa MUI utk muslim yg mau mengikuti. Bukan utk seluruh umat muslim di Indonesia. Spt fatwa NU, Muhammadiyah dst. [URL="https://S E N S O RlhmYayUZKm"]https://S E N S O RlhmYayUZKm[/URL]
— Alissa Wahid (@AlissaWahid) December 18, 2016 Fatwa Muhammadiyah: rokok haram. Di NU fatwa itu tidak diikuti. Fatwa MUI ya setara itu. Tidak mengikat semua umat. [URL="https://S E N S O RudqvkmXW6p"]https://S E N S O RudqvkmXW6p[/URL]
— Alissa Wahid (@AlissaWahid) December 18, 2016
Pengurus cabang istimewa NU Amerika Serikat, Akhmad Sahal (@sahal_as, 104 ribu pengikut), menyebar kembali 40 seri kicauannya ihwal topi Sinterklas. Serial kicauan itu masih relevan, meski sebenarnya telah dibagikan sejak setahun silam, saat topik rutin ini mengemuka.

Dalam serial kicauannya, Sahal membenarkan bahwa ada hadis yang menyoal perkara tasyabbuh (penyerupaan). "Sesiapa menyerupai suatu kaum, ia adalah bagian dari mereka," demikian terjemahannya.

Akan tetapi, Sahal menolak menggunakan hadis itu sebagai dalil untuk mengharamkan penggunaan atribut Natal, macam topi Sinterklas. Menurutnya, untuk melihat sebuah laku penyerupaan, harus pula dilihat motif di baliknya.

Kata dia, seseorang yang menggunakan topi Sinterklas tanpa tujuan mengimani sesuatu di luar Islam, tak bisa disalahkan --apalagi sampai menyebut perilaku itu haram.

Lebih lanjut, Sahal menyebut topi Sinterklas tak bisa pula diidentikkan dengan Kristen. Sebab, dalam praktiknya, atribut itu lebih dekat dengan strategi perdagangan. "Topi Santa saat ini tak lebih dari aksesori komodifikasi kapitalisme. Munculnya hanya saat natal, karena itu strategi dagang kaum kapitalis," kata dia.

Pandangan Sahal tiada berlebihan, bila menengok sejarah Sinterklas. Tokoh itu tak pernah disebut dalam injil. Legenda tentangnya bermula dari pendeta Santo Nikolas dari Myra (sekarang masuk wilayah Turki), yang suka memberikan sumbangan pada warga miskin.

Adapun karakter Sinterklas modern yang kita kenal saat ini, berpangkal dari kartun karya seniman Amerika Serikat, Thomas Nast pada tahun 1800-an. Nast membuat kartun itu untuk majalah Harper, guna menyambut Natal.

Karakter Sinterklas lantas dipakai dalam banyak iklan, satu yang paling menonjol iklan Coca-Cola pada era 1930-an. Sejak itu, sosok berjanggut, berjubah merah, dan tambun itu jadi ikon tiap kali Natal dan tahun baru datang.

Di pusat perbelanjaan, Sinterklas hadir beriring dengan riuh promosi dan diskon pelbagai produk. Penulis kawakan, Goenawan Mohamad, pernah menulis soal itu lewat kolom "Catatan Pinggir" di Tempo (15 Desember 2014).

Menyikapi rentetan kasus teranyar, Goenawan (@gm_gm, 789 ribu pengikut) ikut mengingatkan agar FPI --dan polisi yang mengizinkan razia atribut Natal di pusat perbelanjaan-- segera kembali ke akal sehat.

Kata dia, "iman yang kuat, tak akan terusik oleh roti dan topi".
Iman yang kuat, tak akan terusik oleh roti dan topi.
— goenawan mohamad (@gm_gm) December 16, 2016


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...trategi-dagang

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Ernalia Sri Bintang: Aku tak berharap Mas Bintang bebas

- Dua LSI beda hasil sigi Pilkada DKI setelah insiden Al Maidah

- Air berumur 2 miliar tahun ditemukan di Toronto

anasabila
nona212
nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
1.6K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan