gusdeputra15Avatar border
TS
gusdeputra15
Bisakah film Indonesia masuk nominasi Oscar?


TERIMAKASIH UNTUK SELURUH REKAN, KASKUSER, OFFICER KASKUS.
THREAD INI BERHASIL MENJADI HOT THREAD.

JANGAN LUPA MEMBERI KOMENTAR DAN SHARE THREAD!
KOMENTAR CERDAS ADA DI POST #1, MOHON MAAF TIDAK SEMUA BISA DITAMPUNG.



Thread ini murni hasil ketikan sendiri dari gusdeputra15 dengan menyadur informasi dari IMDb dan Wikipedia. Semoga isi thread ini menjadi inspirasi bagi kita semua tanpa perlu mengkritik keras perfilman Indonesia.
Mari kita berikan motivasi kepada insan perfilman Indonesia agar bisa membuat karya yang lebih baik dari sekarang di masa mendatang.


Halo Kaskuser semua,
Selamat datang di thread analisis saya yang mengambil tema perfilman Indonesia.
Kali ini saya membahas topic yang agak berat. Bisakah film Indonesia masuk kedalam nominasi OSCAR?
Sebagaimana yang kita tahu, Piala Oscar atau Academy Award adalah salah satu penghargaan bergengsi di muka bumi ini.
Hampir semua insan besar ataupun krew film di dunia ini pasti tertarik untuk mendengar kabar terbaru mengenai Oscar. Bahkan, hampir semua dari insan tersebut pasti memiliki mimpi untuk menggapai penghargaan itu.

Apabila mendengar kabar bahwa para pemenang dan nominasi piala Oscar tersebut adalah film, aktor, ataupun krew dari Hollywood atau Eropa, kita tidak akan pernah kaget mendengarnya. Tapi bagaimana jika wilayah Asia Tenggara mampu mengirimkan wakilnya ke nominasi? Banyak dari pengamat dan kritikus film dunia akan terkejut. Film Kamboja, The Missing Picture, berhasil masuk nominasi Oscar untuk kategori film berbahasa asing terbaik untuk tahun 2013.


Salah satu adegan dari film "The Missing Picture" yang disukai kritikus.

Film ini disukai kritikus dan dianggap sebagai masterpiece indah dari negara yang perfilmannya tidak pernah terdengar sama sekali, Kamboja. Sutradara dari The Missing Picture, Rithy Pant, memasukan sedikit dramatisasi dalam dokumenternya ini menggunakan figuran tanah liat dan rekaman arsip Kamboja. Dalam filmnya, ia berusaha untuk mengungkapkan sejarah Khmer Kamboja antara tahun 1975 - 1979 dalam bahasa Prancis. Publik Kamboja sangat bangga dengan progress perfilman negaranya yang berhasil menembus penghargaan tertinggi tersebut.

Jika kita membandingkan keefektifan submisi film Indonesia dengan submisi film Kamboja ke Piala Oscar,
perfilman kita bisa dianggap kalah. Indonesia telah mengirimkan 17 wakil sepanjang sejarah hingga 2015,
sementara Kamboja hanya mengirimkan 3 wakil.

List-list film Indonesia yang dikirimkan ke Academy:

Nagabonar pada tahun 1987, Tjoet Nya Dien pada tahun 1989,
Langitku, Rumahku pada tahun 1990, Bibir Mer pada tahun 1992,
Daun di atas Bantal pada tahun 1998, Sri pada tahun 1999,
Ca-bau-kan pada tahun 2002, Biola tak Berdawai pada tahun 2003,
Gie pada tahun 2005, Berbagi Suami pada tahun 2006,
Denias, Senandung Di Atas Awan pada tahun 2007, Jamila dan Sang Pesiden pada tahun 2009,
Alangkah Lucunya (Negeri Ini) pada tahun 2010, Di Bawah Lindungan Kabah pada tahun 2011,
Sang Penari pada tahun 2012, Sang Kiai pada tahun 2013,
dan yang terbaru untuk Oscars 2015 (tahun 2014) adalah film arahan sutradara Hanung Bramantyo, Soekarno.

Film-film yang dikirimkan oleh Indonesia diatas, dipilih oleh Persatuan Produser Film Indonesia / PPFI.
Persaingan ketat memang dijalani oleh film-film tersebut, karena mereka harus melawan film-film lain yang juga tak kalah berkualitas dari negara lain.

Namun, pada Oscars tahun lalu, nama Joshua Oppenheimer, berhasil membawa nama Indonesia- secara tidak langsung ke pentas Academy. Film dokumenternya, The Act Of Killing (Jagal) berhasil masuk nominasi Oscar.


"Potong! Potong!" - Salah satu adegan dari film dokumenter "The Act Of Killing".

Film ini merupakan ungkapan sejarah kelam Indonesia pada tahun 1965-1966, mengenai bagaimana para preman pelaku pembantaian anti-PKI melaksanakan aksinya untuk menjadi bagian dari sejarah pembersihan PKI. Para pelaku ini bahkan bersantai dan melaksanakan aksinya dengan gaya ala film Hollywood. Hal kelam inilah menjadi tema dari The Act of Killing. Berlatar di Medan, film ini sukses membuat penontonnya merinding. Tak ayal, kritikus pun menjadikan film ini menjadi salah satu dokumenter favorit. Apalagi kualitas akting (atau reka ulang) para pemerannya yang benar-benar baik. Film inipun menjadi film dokumenter, ataupun bahkan film berbahasa Indonesia pertama yang pernah masuk nominasi Oscar.

Respon pemerintah terhadap film ini bisa dibilang negatif. Juru Bicara Luar Negeri Presiden RI, Teuku Faizasyah pada kala itu menganggap film ini memberikan gambaran sesat tentang Indonesia.

Kesuksesan The Act Of Killing sepertinya akan berlanjut karena bagian kedua dari film tersebut, The Look of Silence (Senyap) rilis tahun ini.


Salah satu adegan apik dari film The Look Of Silence.

Kisah yang diangkat dari film ini adalah seorang keluarga yang sempat menjadi korban dari pembantaian Indonesia dari tahun 1965-1966 berkonfrontasi dengan seseorang yang dulunya membunuh salah satu anggota keluarganya. Film ini sendiri memenangkan 16 dari 19 nominasi yang diperolehnya. Film ini bahkan diprediksi mampu masuk nominasi Oscar tahun depan.

Mari kita ingat kembali waktu yang lalu, saat film Merantau, The Raid dan The Raid 2 rilis.
Dua film Indonesia yang disebutkan terakhir ini menjadi fenomena global karena tingkat aksinya yang "mantap". Dua film yang sama-sama disutradarai oleh sutradara Wales, Gareth Evans ini berhasil mengangkat nama aktor dan aktrisnya yang tergabung didalamnya. Sebut saja, Iko Uwais yang masuk skuad aktor di Beyond Skyline, Joe Taslim di Fast & Furious 6, ataupun Ray Sahetapy yang masuk jajaran aktor Captain America: Civil Wars. Nama Julie Estelle, Arifin Putra, Yayan Ruhian dan yang lain juga terangkat karena film ini.


Hammer girl dan Baseball bat man dalam The Raid 2.

Film The Raid 2 sempat masuk Top 250 IMDb dan Top 10 IMDb 2014 Best Movies. Selain itu, film-film ini juga memenangkan penghargaan dari berbagai ajang penghargaan. Khususnya The Raid 2 yang masuk nominasi film berbahasa asing terbaik di berbagai festival perfilman di kota-kota besar AS.

Lagi-lagi respon dari berbagai pihak Indonesia sendiri bermacam-macam. Ada yang mengatakan film ini luar biasa hebat dan ada juga yang mengkritik bahwa film ini "mengambil cerita" dari The Departed, The Godfather, dan Internal Affair- ataupun karena kesadisannya yang melebihi batas kewajaran (mungkin yang mengkritik belum pernah menonton film-film Quentin Tarantino).

Langsung saja kita ambil kesimpulan.
Film-film diatas sama-sama disutradarai oleh sutradara asing.
Ada apa dengan para sutradara Indonesia?
Apa yang kurang dari mereka?

Tentu saja, tidak semua film Indonesia diperuntukkan hanya untuk "penghargaan" dan tema serius.
Film Indonesia modern juga punya berbagai film ringan di otak seperti Comic 8 dan film-film hasil adaptasi buku Raditya Dika.
Mari kita sisihkan kedua film diatas.

Dan ayo buka fenomena perfilman Indonesia.

Perfilman Indonesia saat ini kekurangan Screenwriter yang kreatif?

Laskar Pelangi, Soekarno, Habibie dan Ainun, 5cm, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Mereka semua punya kesamaan. Sama-sama diadaptasi.
Laskar Pelangi, Habibie dan Ainun, 5cm, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diadaptasi dari novel berjudul sama,
sementara film Soekarno diadaptasi dari sejarah Indonesia.

Dan jangan lupa, kesamaan dari kelimanya adalah, sama sama sukses. Betul,kan?
Film-film modern Indonesia sebagai Supernova dan Filosofi Kopi juga diadaptasi oleh novel.
Ayat-Ayat Cinta? jangan diragukan lagi.

Memang banyak film Indonesia yang tidak diadaptasi dari novel.
Tapi mereka kalah sukses dari film-film adaptasi.

Kemanakah screenwriter Indonesia yang kreatif, dan sukses menciptakan sendiri cerita yang bisa
diacungi jempol oleh para penonton?

Film Indonesia cenderung mengikuti tren?

Ya, betul sekali. Ini juga masalah dari perfilman Indonesia.
Film Indonesia seperti ada "musim-musim"nya sendiri.

Ada musimnya horor, musimnya komedi, musimnya drama cinta.

Lalu ada juga "tema spesifik" di film Indonesia, seperti: "Drama adaptasi novel"- Laskar Pelangi (ex), "Drama anak-anak di daerah tertinggal" - Denias, Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang (ex) , "Drama komedi Raditya Dika" (lagi-lagi Raditya Dika..)

Jika anda bertanya kepada saya,
kita berada di musim apa?

Jawaban saya adalah, musim film biografi dan sejarah,
dimana nama para pahlawan besar diulek sejarahnya ke layar lebar.
Dari Sang Pencerah, Soegija, Sang Kiai, Soekarno, Tjokroaminoto, hingga yang terbaru, Kartini.
(khusus untuk kartini bahkan dibuatkan 2 filmnya yang akan rilis tahun depan.)


Salah satu adegan dalam film Soekarno : Indonesia Merdeka

Lalu ada film bertema sejarah dari beberapa orang yang masih hidup, seperti Sepatu Dahlan, Habibie (dan (alm.) Ainun), Jokowi,
dan biografi grup CJR, CJR The Movie, ataupun Cherrybelle, dan masih banyak lagi.
Jangan lupa juga sejarah seperti film Dibalik 98 yang disutradarai oleh Lukman Sardi.
Tak terasa film Raditya Dika juga menggambarkan biografi dirinya yang fiksi.
Sokola Rimba juga merupakan film biografi dari Butet Manurung.
Oh iya, Merry Riana juga merupakan film biografi.

Sisi baiknya, banyak kisah inspiratif dan edukatif dari berbagai film tersebut.

Mungkin dari segi visual dan audio?

Menurut saya, film Indonesia saat ini bisa dibilang maju dalam hal audio dan visualnya.
Contohnya, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang berisi sinematografi berbagai sudut kecil Indonesia yang memukau.


Balapan kuda terasa megah di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Film yang memamerkan keindahan Indonesia seperti 5cm, Sokola Rimba, dan Tabula Rasa juga terasa indah di layar.
Film Sebelum Pagi Terulang Kembali juga memiliki sinematografi yang berkualitas, dan berhasil memenangkan piala Citra.
Cinematography "keras" dan "shaky" The Raid dan The Raid 2 juga terasa sangat pas dengan filmnya yang sadis dan enerjik.

Audio film Indonesia tak kalah bagusnya, sound editing dan sound mixing dari film-film Indonesia kapabel dan tidak perlu diragukan lagi kualitasnya.

Dengan potensi besar seperti ini mengapa Indonesia belum bisa masuk nominasi Oscar?

Mungkin dari aktingnya?

Kualitas aktor dan aktris Indonesia dalam berakting bisa dibilang lumayan bagus dan tidak jelek-jelek amat.
Para aktor dan aktris profesional Indonesia tampil sangat baik dalam berbagai film.

Contohnya: Arifin Putra, Iko Uwais, Tio Pakusodewo dalam The Raid 2 - Reza Rahadian dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - Chicho Jericco dalam Cahaya dari Timur, Fedi Nuril, Herjunot Ali, maupun Donny Alamsyah yang bisa dianggap aktor Indonesia paling meledak saat ini.

Potensi ini masih juga belum termanfaatkan dengan baik.
Awas nyesel, loh?


Pertanyaan dari saya,
1.
Jadi menurut agan, apa yang perlu dibenahi oleh film Indonesia agar bisa Go International?
Mungkin untuk tidak menggunakan akhiran "the movie" dalam judulnya?

2.
Film modern Indonesia apa yang menurut agan berkualitas dan pantas untuk memenangkan penghargaan?

Sekian isi thread saya yang panjang lebar ini.
Saya ucapkan terimakasih telah membaca ulasan saya yang panjang ini.
Apabila ada yang tidak berkenan saya ucapkan mohon maaf.
Polling
0 suara
Apakah yang perlu dibenahi dari film Indonesia? - Bisa pilih lebih dari 1!
Diubah oleh gusdeputra15 11-05-2015 05:50
0
58.2K
476
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan