Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bundamalasariAvatar border
TS
bundamalasari
Capres: Janji Kucing Dalam Karung, Kedaulatan Rakyat atau Kedaulatan Partai?
“Rakyat adalah jantung hati bangsa. Rakyat itulah yang menjadi ukursn tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia merdeka, semuanya bergantung kepada semangat rakyat, kalau dibelakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya.” (Bung Hatta).

HARAPAN adalah sarapan yang baik tetapi makan malam yang buruk. Namun, harapan bahwa partai-partai politik di negeri ini mampu menjadi agen perubahan politik untuk mengartikulasikan kedaulatan dan keresahan-keresahan rakyat masih berupa sarapan yang belum baik tapi hidangan makan malam yang buruk.

Ada kerinduan akan masa ketika partai politik (parpol) diolah secara berkualitas dan bernilai. Karena parpol mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Akan tetapi, sistem demokrasi di negeri ini masih belum memihak pada demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi cita-cita keadilan dan harapan kesejahteraan. Partai politik (parpol) adalah alat bagi rakyat (public) untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Tetapi, demokrasi multipartai yang kembali dijalankan belum mampu menghadirkan budaya politik dengan calon pemimpin alternatif yang solutif.

Sementara kemunculan gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan di pilpres bulan Juli mendatang dinilai telah menodai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan UUD 1945, yakni dimana Wakil Sekretaris MUI Pusat menyampaikan statemennya dimedia online bahwa pencapresan Jokowi telah mengingkari dan mengkhianati sumpah janji jabatannya sebagai gubernur dibawah sumpah kitab suci umat Islam Al-Qur’anul Karim. Disamping itu, Pengamat Ekonomi Muhammad Ishak mengatakan dalam wawancaranya disalah satu media online (Jum’at, 28/3/2014), bahwa penetapan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi menjadi Calon Presiden (Capres) yang diajukan oleh partainya, yakni PDIP tidak akan membawa perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.
Memang pencapresan Jokowi terkesan terlalu dipaksakan oleh keinginan Megawati selaku ketua umum PDI Perjuangan yang memiliki hak preogatif akan keputusannya dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden yang bakal diusung dari partainya sendiri. Alasan Megawati memilih Jokowi sebagai calon presiden cuma hanya sebuah populeritas Jokowi yang dianggap Megawati mampu mendulang suara partai PDI-P di pileg dan di pilpres mendatang.

Keputusan Megawati mencapreskan Jokowi dinilai sangat egois tanpa mempertimbangkan kapabilitas dan kredibelitas dari seorang Jokowi, apakah Jokowi mampu atau tidak untuk memimpin negeri dan bangsa kedepan yang lebih baik dan maju. Sebab populeritas saja tak cukup untuk memimpin Indonesia yang total luas negaranya hingga 5.193.250 km² (mencakup daratan dan lautan), hal luas wilayah tersebut tak bisa dipimpin dengan gaya blusukan. Karena sebetulnya populeritas Jokowi hanyalah bikinan media masa yang digiring serta diarahankan berdasarkan keinginan elite penguasa partai demi pencitraan seorang pemimpinnya, allhasil pemberitaannya hanya terdengar di telinga saja, dan tidak terasa di hati. Selain itu, elektabilitas Jokowi hanya bunyinya saja yang nyaring tapi gagap dalam pemikiran dan gagasan baru yang orisional dan berkarakter kuat untuk mengatasi segala permasalahan bangsa ini kedepan yang lebih baik dan maju. Tampaknya, didalam tubuh partai PDI Perjuangan proses politik sangat terpisah antara yang dipikirkan partai dan politikusnya dengan masalah objektif dalam kehidupan nyata rakyat biasa.

Memang instrument demokrasi di negara kita salahsatunya ditentukan oleh partai politik. Dan sistem politik ketatanegaraan Indonesia mengandalkan peranan partai politik. Namun, tampaknya partai politik PDI Perjuangan belum beranjak dari fungsi praktis jangka pendek sebagai alat meraih kekuasaan, yakni dimana PDI Perjuangan mengunakan konstituen (rakyat pemilih) sebagai pendulang suara dalam pemilu dengan memanfaatkan jabatan Jokowi sebagai gubernur untuk melegimasi dan memobilisasi masa dalam mensosialisasi dirinya sebagai calon presiden dari partai politik PDI Perjuangan. Oleh karena itu, tatkala instrumen partai PDI Perjuangan membutuhkan alat untuk merebut kekuasaan, maka jabatan publik dan konstituen diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik sang ketua umum partai PDI Perjuangan.

Banyak para tokoh dan pengamat politik meragukan pencalon Jokowi sebagai presiden yang dianggap tak memiliki visi misi dan program kerja riil serta konkret yang dapat ditawarkan dan dinilai oleh rakyat untuk memimpin dan membangun bangsa ini yang lebih sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Seperti yang disampaikan KH. Hasyim Muzadi dalam pernyataannya disalah satu media online: “apa jadinya ketika negara ini dipimpin oleh seorang Jokowi yang tak punya visi misi dan program kerja yang riil dan konkret untuk rakyat dan bangsanya, mau dibawa kemana negara ini!. Bagaikan perahu ditengah lautan yang tanpa arah dan tujuan dimana dia akan berlabuh.

Produk politik PDI Perjuangan cenderung lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat. Oportunisme kekuasaan jauh mendahului normativisme demokrasi, yakni politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban jangka panjang. Oleh sebab itu, PDI Perjuangan rela melakukan stretegi politik dengan menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi.

Demokrasi tidak sesederhana sebagai prosedural dan bukan sekedar jadwal kegiatan karnaval-karnaval politik nasional semata. Akan tetapi, demokrasi adalah alat politik untuk menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial, sebab inti yang paling mendalam dari cita-cita demokrasi adalah agar terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan berbangsa dan bernegara di republik ini.

Jika membaca sejarah demokrasi negeri ini, sosok Bung Hatta dinilai sebagai salah seorang peletak dasar utama negara demokrasi konstitusional yang modern, baik dalam tataran nilai-nilai maupun praktek pelembagaannya. Tapi kini, apa yang diletakkan Bung Hatta terhadap demokrasi yang kita perjuangkan, kenyataan yang muncul dalam proses politik adalah kuatnya supremasi partai-partai dengan kultur kapitalnya semakin miskin, termasuk miskin politik di era paska reformasi sekarang ini.

Namun, kehidupan politik negara ini masih memiliki harapan. Harapan yang bukan hanya sarapan dan makan malam. Harapan itu adalah menempatkan rakyat sebagai yang utama karena rakyatlah yang mempunyai kedaulatan. Menurut Bertrand Russell (Sceptical Essays and Unpopuler Essays, London: George Allen & Unwin Ltd, 1984), kemiskinan dalam demokrasi lebih baik dari pada apa yang disebut kemakmuran dibawah tirani, persis seperti kita memilih kebebesan dari pada perbudakan. Hanya daulat rakyat yang mampu mengantarkan perubahan dan kemajuan, bukan daulat parpol.

Oleh karena itu, demokrasi untuk perubahan dan demokrasi untuk kemajuan adalah niscaya segera dilakukan, walau, perubahan adalah suatu hal, kemajuan adalah hal lain lagi. Perubahan bersifat ilmiah, kemajuan bersifat etis. Perubahan adalah suatu hal yang niscaya, sedangkan kemajuan selalu bisa diperdebatkan.

Tolong dikoresi dan dikomentari ya tulisan aku ini. dan berikan pendapat anda terkait pemilu tahun 2014 ini.
emoticon-I Love Indonesia (S)
0
2.6K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan