- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Misteri Hilang Nya Pesawat Boeing 777-200 Malaysia Airlines
TS
Pinky017
Misteri Hilang Nya Pesawat Boeing 777-200 Malaysia Airlines
Permisi Gan Ijin Berbagi Info Berita Yang Sedang HOT Saat Ini..
Hanya Menerima
:
Dan Komen Bermanfaat
Menolak
Dan Junker
Maaf Berantakan Bikin Via Gadget..
Malaysia Airlines
Pesawat Boeing 777-200 milik Malaysia Airlines.
Saat ini, makspakai Malaysia Airlines memiliki 15 pesawat jenis tersebut.
Selasa, 11 Maret 2014 | 20:24 WIB
Oleh: Chappy Hakim
KOMPAS.com - Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) baru saja menyatakan bahwa tahun
2012 adalah ”the safest year in the history of aviation”.
Hal tersebut dikemukakan mengacu pada tingkat
terendah kecelakaan yang terjadi pada 2012.
Sekadar perbandingan, pada 2012 hanya terjadi satu kecelakaan dari 5 juta keberangkatan. Pada 2011,
terjadi satu kecelakaan dari setiap 2,7 juta keberangkatan. Hal itu berarti meningkat hampir dua kali lipat.
Kenaikan tingkat keamanan terbang dinikmati oleh masyarakat penerbangan internasional seiring dengan
pesatnya kemajuan teknologi aviasi.
Namun, kemajuan teknologi yang pesat tidak pernah memberikan jaminan keamanan seperti yang
diharapkan. Banyak faktor yang memengaruhi keamanan terbang, betapapun tingginya tingkat keamanan
yang sudah dicapai. Bergerak di bidang yang teknologis, dituntut kepatuhan yang tinggi terhadap
semua regulasi dan ketentuan yang mengiringinya.
Sedikit saja kompromi diberikan terhadap aturan dan regulasi, maka dipastikan akan merupakan tindakan
yang membuka peluang terjadinya kecelakaan. Berangkat dari pemahaman tersebut, penyelidikan terhadap
penyebab terjadinya kecelakaan selalu berorientasi pada regulasi atau ketentuan mana yang telah
diabaikan. Kenyataannya, dalam dunia penerbangan, data pelanggaran atau kompromi terhadap aturan
biasanya kerap menjadi petunjuk awal penyebab terjadinya sebuah kecelakaan.
Sabtu, 8 Maret 2014, sebuah pesawat Boeing 777-200 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines
System (MAS), nomor penerbangan MH370, hilang dalam rute Kuala Lumpur ke Beijing, China. Lenyapnya
MH370 yang tiba-tiba ini, dalam arti tidak sempat mengirimkan pesan tanda darurat atau emergency
signal, memunculkan banyak spekulasi terhadap apa yang telah terjadi. Dalam masa lebih dari 2 x 24 jam
tanpa petunjuk apa pun, menambah lagi dugaan tentang apa yang sebenarnya dialami oleh MH370
tersebut.
Lenyapnya sebuah pesawat tanpa sempat mengirimkan pesan keadaan darurat, dipastikan bahwa sesuatu
yang sangat mendadak telah terjadi. Apabila tidak mendadak, pilot pasti akan mengirimkan pesan keadaan
darurat seperti yang ditentukan dalam prosedur standar penerbangan. Ini mengacu pada Civil Aviation
Safety Regulation dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Walau tidak selalu ”bom” dari
tersangka teroris yang menyebabkannya, ledakan yang merusak adalah salah satu penyebab hilangnya
pesawat secara tiba-tiba tanpa sempat memberikan waktu bagi pilot mengirimkan pesan melalui radio
atau peralatan komunikasi lainnya.
Untuk hal ini, adanya temuan awal bahwa ada dua penumpang MH370 yang menggunakan paspor palsu
tentu harus diselidiki dengan cermat. Agak sulit diterima akal sehat kenapa mereka harus menggunakan
paspor palsu. Apalagi, ada temuan lain, empat orang membatalkan ikut penerbangan itu.
Walau terlalu dini untuk mengatakan bahwa bom dan teroris yang menyebabkan pesawat MH370 lenyap,
penelitian lanjutan seyogianya harus dilakukan. Minimal, kelengahan di jajaran imigrasi akan memberikan
”pelajaran” mahal dalam urutan pelaksanaan prosedur pemberangkatan penumpang pesawat udara.
Maskapai penerbangan Malaysia memiliki catatan cukup baik dalam konteks keamanan terbang. Di sisi
lain, Boeing 777-200 adalah pesawat yang masuk dalam kategori the safest wide body aircraft. Pesawat
angkut besar pertama dari Boeing yang menggunakan sistem fly by wire yang melengkapi dirinya dengan
banyak penyempurnaan, termasuk dalam safety devices atau peralatan penunjang keamanan terbang
pesawat. Pilot yang mengawaki adalah seorang pilot senior yang sangat berpengalaman terbang di
Malaysia Airlines.
Pertanyaan yang ramai muncul, mengapa pesawat berteknologi tinggi dan sangat modern bisa lenyap
dalam penerbangannya. Mengapa pesawat canggih bisa (kemungkinan besar) mengalami kecelakaan?
Untuk memahami tentang pesawat modern dan canggih, patut juga melihat hasil penyelidikan National
Safety Board Perancis dan Belanda dalam kejadian kecelakaan pesawat AF-447 Rio de Janeiro ke Paris
pada 2009 dan pesawat Turkish Air yang undershoot, mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu
Bandara Schiphol, Belanda.
Pada kedua hasil penyelidikan tersebut, ada catatan menarik yang hampir sama tentang kemampuan pilot
dalam menghadapi situasi keadaan darurat. Pilot diragukan kemampuan menerbangkan pesawat secara
manual dalam situasi darurat. Pilot terlambat menyadari terjadinya kekeliruan dalam sekuel
penerbangannya.
Ada satu istilah yang sangat menarik, yaitu disebutkannya satu terminologi: automation addiction. Suatu
kebiasaan yang fatal dari pilot yang selalu menggunakan autopilot sepanjang rute perjalanan
penerbangannya. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap peralatan yang otomatis dicurigai sebagai
penyebab turunnya keterampilan pilot menerbangkan pesawat terbang secara manual.
Pada penerbangan AF-447, sebuah Airbus A-330 yang canggih mengalami gangguan pada sensor penunjuk
kecepatan pesawat yang kemudian berakibat gagalnya sistem autopilot bekerja dengan normal.
Hal ini berakibat fatal karena membawa pesawat masuk ke dalam awan aktif yang menyebabkan turbulensi
sangat parah.
Pesawat bergerak dengan hidung yang mendongak ekstrem ke atas dan menyebabkan stall
atau terjatuh.
Stall sebenarnya adalah manuver berbahaya yang menjadi salah satu latihan wajib bagi pilot
untuk dapat mengatasinya.
Cara mengatasi kemungkinan terjadi dan mengatasi stall, jika telanjur terjadi, harus menjadi kemampuan
dasar seorang pilot sebelum diizinkan terbang. Pada penerbangan AF-447, pilot gagal mengatasi stall dan
akhirnya pesawat masuk ke dalam unusual attitude tak terkendali dan secara spiral-dive menghunjam ke
laut.
Semua itu dapat diketahui dari rekaman gerak pesawat dan pembicaraan pilot yang berasal dari penelitian
”kotak hitam”. AF-447 masuk laut pada 2009 dan ”kotak hitam”-nya berhasil diangkat pada tahun 2010.
Penyelidikan memakan waktu lebih kurang satu tahun.
Pilot terlambat menyadari bahwa autopilot tidak
bekerja dengan benar sehingga membawa pesawat masuk ke dalam area kumulonimbus yang berbahaya.
Di Belanda, Turkish Air mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu Schiphol. Ternyata kejadiannya
hampir serupa dengan AF-447. Pilot terlambat mengetahui bahwa pesawatnya (yang tengah terbang di
bawah kendali otomatis) berada dalam lintasan terbang untuk mendarat di landasan yang jauh dari jalur
lintasan normal. Dalam usaha menerbangkan pesawat untuk kembali ke lintasan pendaratan yang normal,
sang pilot telah mengangkat terlalu tinggi hidung pesawat.
Tingginya hidung pesawat dan kondisi
penggunaan power mesin yang tidak seimbang menyebabkan pesawat tidak sanggup naik dan bahkan
yang terjadi adalah stall. Pesawat menghantam tanah, jauh sebelum ujung landasan dari Bandara
Schiphol.
Pilot AF-447 dan Turkish Air adalah pilot senior dengan ribuan jam terbang.
Namun, hasil penyelidikan
yang sebagian besar berasal dari data penerbangan dan data pembicaraan di kokpit menjelaskan,
mereka tidak cukup mahir mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat.
Keterlambatan menyadari telah terjadi
penyimpangan dalam operasi penerbangan yang normal,
dan gagalnya mengendalikan pesawat ke posisi
normal, menjadi penyebab dominan dalam kecelakaan yang fatal tersebut.
Semua itu dianggap sebagai akibat dari pilot automation addiction,
ketergantungan sangat tinggi terhadap
sistem otomatis penerbangan yang canggih.
Seorang pilot senior mengatakan, sejak tahun 2010, era pilot
yang memiliki keterampilan menerbangkan pesawat sudah usai.
Mereka yang saat belajar terbang belum
mengalami kemajuan teknologi, semua beranjak pensiun. Kini, pilot generasi baru,
mereka yang sejak awal
belajar terbang terbiasa menggunakan peralatan serba otomatis, secara tidak sadar tidak lagi memiliki
keterampilan yang cukup untuk menerbangkan pesawatnya,
terutama dalam menghadapi situasi darurat.
Sekadar contoh, seorang pilot yang mengantongi 10.000 jam terbang,
apabila ditelusuri lebih mendalam,
ternyata tidak akan sebanyak itu jam terbang yang dimilikinya sebagai skill seorang pilot.
Dalam penerbangan 9-10 jam,
pilot sebenarnya menerbangkan pesawat selama 5-7 menit saat lepas landas dan
8-10 menit menjelang mendarat.
Jumlah sisa dari 10.000 jam terbang yang dicatatnya kenyataannya
hanyalah jam terbang ”sang autopilot”!
Automation addiction telah memunculkan masalah baru yang cukup serius.
Meski ini masih menjadi perdebatan antara para pilot senior dan para instruktur pilot,
kiranya masalah ini memang patut menjadi
pokok bahasan dalam penyempurnaan upaya peningkatan keamanan terbang.
Apakah MH370 mengalami pembajakan udara oleh teroris yang menggunakan paspor palsu,
harus dibuktikan lebih lanjut.
Atau apakah terjadi unusual attitude, keadaan tiba-tiba yang menyebabkan
pesawat bermanuver tidak biasa dan kemudian tidak mampu diatasi pilot,
juga masih menunggu penyelidikan lanjutan.
Saya teringat seorang pilot senior berkebangsaan Amerika dari pabrik Lockheed dan berpengalaman
banyak sebagai investigator serta pernah bekerja di Badan Penerbangan Federal AS (FAA).
Dia mengutarakan pendapat yang cukup menarik.
”Dalam satu kecelakaan pesawat terbang yang fatal,
pesawat terbang rusak berat, total loss dan tidak ada orang di dalamnya yang selamat,
maka kita tidak akan pernah tahu dengan persis,
apa sebenarnya yang telah terjadi,”katanya.
( Chappy Hakim, Senior
Pilot, Airline Transport Pilot License (ATPL) No 2391)
Hanya Menerima
:
Dan Komen Bermanfaat
Menolak
Dan Junker
Maaf Berantakan Bikin Via Gadget..
Quote:
Malaysia Airlines
Pesawat Boeing 777-200 milik Malaysia Airlines.
Saat ini, makspakai Malaysia Airlines memiliki 15 pesawat jenis tersebut.
Selasa, 11 Maret 2014 | 20:24 WIB
Oleh: Chappy Hakim
KOMPAS.com - Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) baru saja menyatakan bahwa tahun
2012 adalah ”the safest year in the history of aviation”.
Hal tersebut dikemukakan mengacu pada tingkat
terendah kecelakaan yang terjadi pada 2012.
Sekadar perbandingan, pada 2012 hanya terjadi satu kecelakaan dari 5 juta keberangkatan. Pada 2011,
terjadi satu kecelakaan dari setiap 2,7 juta keberangkatan. Hal itu berarti meningkat hampir dua kali lipat.
Kenaikan tingkat keamanan terbang dinikmati oleh masyarakat penerbangan internasional seiring dengan
pesatnya kemajuan teknologi aviasi.
Namun, kemajuan teknologi yang pesat tidak pernah memberikan jaminan keamanan seperti yang
diharapkan. Banyak faktor yang memengaruhi keamanan terbang, betapapun tingginya tingkat keamanan
yang sudah dicapai. Bergerak di bidang yang teknologis, dituntut kepatuhan yang tinggi terhadap
semua regulasi dan ketentuan yang mengiringinya.
Sedikit saja kompromi diberikan terhadap aturan dan regulasi, maka dipastikan akan merupakan tindakan
yang membuka peluang terjadinya kecelakaan. Berangkat dari pemahaman tersebut, penyelidikan terhadap
penyebab terjadinya kecelakaan selalu berorientasi pada regulasi atau ketentuan mana yang telah
diabaikan. Kenyataannya, dalam dunia penerbangan, data pelanggaran atau kompromi terhadap aturan
biasanya kerap menjadi petunjuk awal penyebab terjadinya sebuah kecelakaan.
Sabtu, 8 Maret 2014, sebuah pesawat Boeing 777-200 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines
System (MAS), nomor penerbangan MH370, hilang dalam rute Kuala Lumpur ke Beijing, China. Lenyapnya
MH370 yang tiba-tiba ini, dalam arti tidak sempat mengirimkan pesan tanda darurat atau emergency
signal, memunculkan banyak spekulasi terhadap apa yang telah terjadi. Dalam masa lebih dari 2 x 24 jam
tanpa petunjuk apa pun, menambah lagi dugaan tentang apa yang sebenarnya dialami oleh MH370
tersebut.
Lenyapnya sebuah pesawat tanpa sempat mengirimkan pesan keadaan darurat, dipastikan bahwa sesuatu
yang sangat mendadak telah terjadi. Apabila tidak mendadak, pilot pasti akan mengirimkan pesan keadaan
darurat seperti yang ditentukan dalam prosedur standar penerbangan. Ini mengacu pada Civil Aviation
Safety Regulation dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Walau tidak selalu ”bom” dari
tersangka teroris yang menyebabkannya, ledakan yang merusak adalah salah satu penyebab hilangnya
pesawat secara tiba-tiba tanpa sempat memberikan waktu bagi pilot mengirimkan pesan melalui radio
atau peralatan komunikasi lainnya.
Untuk hal ini, adanya temuan awal bahwa ada dua penumpang MH370 yang menggunakan paspor palsu
tentu harus diselidiki dengan cermat. Agak sulit diterima akal sehat kenapa mereka harus menggunakan
paspor palsu. Apalagi, ada temuan lain, empat orang membatalkan ikut penerbangan itu.
Walau terlalu dini untuk mengatakan bahwa bom dan teroris yang menyebabkan pesawat MH370 lenyap,
penelitian lanjutan seyogianya harus dilakukan. Minimal, kelengahan di jajaran imigrasi akan memberikan
”pelajaran” mahal dalam urutan pelaksanaan prosedur pemberangkatan penumpang pesawat udara.
Maskapai penerbangan Malaysia memiliki catatan cukup baik dalam konteks keamanan terbang. Di sisi
lain, Boeing 777-200 adalah pesawat yang masuk dalam kategori the safest wide body aircraft. Pesawat
angkut besar pertama dari Boeing yang menggunakan sistem fly by wire yang melengkapi dirinya dengan
banyak penyempurnaan, termasuk dalam safety devices atau peralatan penunjang keamanan terbang
pesawat. Pilot yang mengawaki adalah seorang pilot senior yang sangat berpengalaman terbang di
Malaysia Airlines.
Pertanyaan yang ramai muncul, mengapa pesawat berteknologi tinggi dan sangat modern bisa lenyap
dalam penerbangannya. Mengapa pesawat canggih bisa (kemungkinan besar) mengalami kecelakaan?
Untuk memahami tentang pesawat modern dan canggih, patut juga melihat hasil penyelidikan National
Safety Board Perancis dan Belanda dalam kejadian kecelakaan pesawat AF-447 Rio de Janeiro ke Paris
pada 2009 dan pesawat Turkish Air yang undershoot, mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu
Bandara Schiphol, Belanda.
Pada kedua hasil penyelidikan tersebut, ada catatan menarik yang hampir sama tentang kemampuan pilot
dalam menghadapi situasi keadaan darurat. Pilot diragukan kemampuan menerbangkan pesawat secara
manual dalam situasi darurat. Pilot terlambat menyadari terjadinya kekeliruan dalam sekuel
penerbangannya.
Ada satu istilah yang sangat menarik, yaitu disebutkannya satu terminologi: automation addiction. Suatu
kebiasaan yang fatal dari pilot yang selalu menggunakan autopilot sepanjang rute perjalanan
penerbangannya. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap peralatan yang otomatis dicurigai sebagai
penyebab turunnya keterampilan pilot menerbangkan pesawat terbang secara manual.
Pada penerbangan AF-447, sebuah Airbus A-330 yang canggih mengalami gangguan pada sensor penunjuk
kecepatan pesawat yang kemudian berakibat gagalnya sistem autopilot bekerja dengan normal.
Hal ini berakibat fatal karena membawa pesawat masuk ke dalam awan aktif yang menyebabkan turbulensi
sangat parah.
Pesawat bergerak dengan hidung yang mendongak ekstrem ke atas dan menyebabkan stall
atau terjatuh.
Stall sebenarnya adalah manuver berbahaya yang menjadi salah satu latihan wajib bagi pilot
untuk dapat mengatasinya.
Cara mengatasi kemungkinan terjadi dan mengatasi stall, jika telanjur terjadi, harus menjadi kemampuan
dasar seorang pilot sebelum diizinkan terbang. Pada penerbangan AF-447, pilot gagal mengatasi stall dan
akhirnya pesawat masuk ke dalam unusual attitude tak terkendali dan secara spiral-dive menghunjam ke
laut.
Semua itu dapat diketahui dari rekaman gerak pesawat dan pembicaraan pilot yang berasal dari penelitian
”kotak hitam”. AF-447 masuk laut pada 2009 dan ”kotak hitam”-nya berhasil diangkat pada tahun 2010.
Penyelidikan memakan waktu lebih kurang satu tahun.
Pilot terlambat menyadari bahwa autopilot tidak
bekerja dengan benar sehingga membawa pesawat masuk ke dalam area kumulonimbus yang berbahaya.
Di Belanda, Turkish Air mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu Schiphol. Ternyata kejadiannya
hampir serupa dengan AF-447. Pilot terlambat mengetahui bahwa pesawatnya (yang tengah terbang di
bawah kendali otomatis) berada dalam lintasan terbang untuk mendarat di landasan yang jauh dari jalur
lintasan normal. Dalam usaha menerbangkan pesawat untuk kembali ke lintasan pendaratan yang normal,
sang pilot telah mengangkat terlalu tinggi hidung pesawat.
Tingginya hidung pesawat dan kondisi
penggunaan power mesin yang tidak seimbang menyebabkan pesawat tidak sanggup naik dan bahkan
yang terjadi adalah stall. Pesawat menghantam tanah, jauh sebelum ujung landasan dari Bandara
Schiphol.
Pilot AF-447 dan Turkish Air adalah pilot senior dengan ribuan jam terbang.
Namun, hasil penyelidikan
yang sebagian besar berasal dari data penerbangan dan data pembicaraan di kokpit menjelaskan,
mereka tidak cukup mahir mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat.
Keterlambatan menyadari telah terjadi
penyimpangan dalam operasi penerbangan yang normal,
dan gagalnya mengendalikan pesawat ke posisi
normal, menjadi penyebab dominan dalam kecelakaan yang fatal tersebut.
Semua itu dianggap sebagai akibat dari pilot automation addiction,
ketergantungan sangat tinggi terhadap
sistem otomatis penerbangan yang canggih.
Seorang pilot senior mengatakan, sejak tahun 2010, era pilot
yang memiliki keterampilan menerbangkan pesawat sudah usai.
Mereka yang saat belajar terbang belum
mengalami kemajuan teknologi, semua beranjak pensiun. Kini, pilot generasi baru,
mereka yang sejak awal
belajar terbang terbiasa menggunakan peralatan serba otomatis, secara tidak sadar tidak lagi memiliki
keterampilan yang cukup untuk menerbangkan pesawatnya,
terutama dalam menghadapi situasi darurat.
Sekadar contoh, seorang pilot yang mengantongi 10.000 jam terbang,
apabila ditelusuri lebih mendalam,
ternyata tidak akan sebanyak itu jam terbang yang dimilikinya sebagai skill seorang pilot.
Dalam penerbangan 9-10 jam,
pilot sebenarnya menerbangkan pesawat selama 5-7 menit saat lepas landas dan
8-10 menit menjelang mendarat.
Jumlah sisa dari 10.000 jam terbang yang dicatatnya kenyataannya
hanyalah jam terbang ”sang autopilot”!
Automation addiction telah memunculkan masalah baru yang cukup serius.
Meski ini masih menjadi perdebatan antara para pilot senior dan para instruktur pilot,
kiranya masalah ini memang patut menjadi
pokok bahasan dalam penyempurnaan upaya peningkatan keamanan terbang.
Apakah MH370 mengalami pembajakan udara oleh teroris yang menggunakan paspor palsu,
harus dibuktikan lebih lanjut.
Atau apakah terjadi unusual attitude, keadaan tiba-tiba yang menyebabkan
pesawat bermanuver tidak biasa dan kemudian tidak mampu diatasi pilot,
juga masih menunggu penyelidikan lanjutan.
Saya teringat seorang pilot senior berkebangsaan Amerika dari pabrik Lockheed dan berpengalaman
banyak sebagai investigator serta pernah bekerja di Badan Penerbangan Federal AS (FAA).
Dia mengutarakan pendapat yang cukup menarik.
”Dalam satu kecelakaan pesawat terbang yang fatal,
pesawat terbang rusak berat, total loss dan tidak ada orang di dalamnya yang selamat,
maka kita tidak akan pernah tahu dengan persis,
apa sebenarnya yang telah terjadi,”katanya.
( Chappy Hakim, Senior
Pilot, Airline Transport Pilot License (ATPL) No 2391)
nona212 memberi reputasi
1
3K
Kutip
18
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan