Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

comrad3Avatar border
TS
comrad3
PRO KONTRA PENAYANGAN ULTIMATE CHAMPIONSHIP FIGHTING YANG TERKESAN BRUTAL & SADIS

JANGAN SAMPE LUPA RATE 5



Spoiler for UFC PIC:


Quote:


Sore tadi, ketika sedang browsing ke website indovision.tv, saya dibuat
terkejut dengan adanya iklan yang tidak biasa sebelum memasuki
halaman awalnya. Iklan tersebut adalah pengumuman untuk mengikuti
turnamen olah raga bela diri. Langsung saja saya snapshot iklan
tersebut:
Snapshot iklan UFC Indonesia di indovision.tv
Ya, itu adalah tawaran untuk menjadi petarung UFC untuk para atlet
bela diri di Indonesia. Apakah UFC itu? UFC, singkatan dari Ultimate
Fighting Championship, adalah kombinasi dari beberapa olahraga bela
diri: jiu-jitsu, tinju, gulat, sumo, kick-boxing dan beberapa jenis bela
diri yang lain. UFC mulai terbentuk pada di Amerika Serikat pada 1993
lalu. Saat itu sejumlah atlet bela diri ingin mengkombinasikan berbagai
jenis bela diri ke dalam satu pertarungan atau pertandingan untuk
mencari petarung yang paling kuat, berbakat, tangguh dan sportif.
Barangkali bagi yang suka bela diri masih ingat, bahwa UFC ini dulu
sekitar tahun 2002 pernah ditayangkan di TPI (sekarang MNC TV).
Waktu itu yang memandu acara tersebut, adalah Dede Yusuf (atlet
taekwondo) yang sekarang menjadi Wagub Jawa Barat. Dan yang
satunya adalah Anthony F. Pajouw (atlet kyokushin karate). Selain itu
ada UFC versi Jepang, yang menggunakan nama Pride. Bedanya UFC
dipertarungkan di arena yang dibatasi ring berbentuk heksagonal yang
terbuat dari tiang dan kawat lentur. Sedangkan Pride dipertarungkan di
arena yang mirip dengan arena tinju.
Pada penayangan UFC kala itu, sebetulnya telah terjadi pro dan kontra
di kalangan masyarakat. Yang pro sudah tentu mereka yang mencintai
dan menggemari olah raga bela diri yang memang berkarakter keras.
Sementara yang kontra sudah pasti adalah mereka yang benci
kekerasan, apalagi dikhawatirkan akan menjadi budaya baru yang
mudah ditiru oleh anak-anak muda.
Ya, memang benar bahwa pertarungan UFC tersebut sangat keras,
bahkan cenderung “brutal” dan “mengerikan”. Jika kita biasa
menonton pertandingan karate, judo, pencak silat, bahkan tinju
sekalipun (terutama untuk tinju amatir), terlihat peraturan
pertandingan yang cukup ketat dan adanya kewajiban mengenakan
alat pelindung diri, untuk keselamatan atlet yang bertanding. Di tinju
profesional, cenderung lebih keras, terutama dari jumlah ronde yang
panjang dan tanpa alat pelindung diri kecuali sarung tangan.
Nah di UFC ini, kita melihat sebuah pertandingan bela diri yang hampir
“tanpa aturan”. Jika di tinju hanya membolehkan pukulan tangan,
maka di UFC membolehkan semua bentuk serangan baik
menggunakan tangan, siku, kaki dan lutut. Serangan itu bisa berbentuk
pukulan dengan kepalan tinju atau pun siku, menendang dengan kaki
atau pun lutut, membanting dan mengunci. Para petarung UFC tidak
menggunakan pelindung kepala atau wajah, diwajibkan memakai
pelindung gigi di dalam mulut, menggunakan sarung tinju, tapi bukan
seperti yang digunakan di cabang tinju profesional/amatir (boxing).
Sarung tangan yang digunakan di UFC hanya menutupi telapak tangan
(jari-jari masih terbuka), sehingga masih memungkinkan untuk
membanting dan mengunci.
UFC Akan Dipertandingkan  di Indonesia
Kabar terbaru, UFC yang di tahun 2002 ditayangkan di stasiun televisi
TPI, kini bukan lagi sekedar ditayangkan, bahkan akan dipertandingkan
di Indonesia. Rencana pertandingan UFC tersebut merupakan kerja
sama antara MNC Media dengan UFC. Rencana ini adalah bagian dari
rencana UFC untuk memasuki pasar Asia, yang penyelenggaraannya di
Indonesia bekerja sama dengan MNC Media. Beberapa rencana
tambahan pada kerja sama ini adalah menjadikan Indonesia sebagai
salah satu tuan rumah pada ajang UFC di masa mendatang.
Kedua pihak juga menjalankan acara Fighter Development Program
untuk memajukan bidang olahraga ini dan menciptakan petarung
Mixed Martial Arts (MMA) kelas dunia dari Indonesia. Dengan program
ini, para peserta terpilih akan dikirim ke Amerika Serikat untuk
mendapatkan pelatihan dari pelatih MMA kelas dunia agar dapat tampil
pada pertarungan UFC di masa depan.
UFC, Layakkah Disebut Sebagai Olah Raga?
Sebelumnya saya coba mengutip judul artikel “Olah Raga Tinju, Masih
Layakkah Dipertontonkan?”, yang ditulis oleh kompasianer Juru
Martani. Ada lagi artikel serupa berjudul “Tinju, Masih Layakkah
Disebut Olahraga?” yang ditulis oleh kompasianer Edy Priyono. Kedua
artikel tersebut dilatar belakangi oleh meninggalnya seorang petinju
muda asal Lampung Tubagus Setia Sakti diatas ring, ketika bertarung
melawan Ical Tobida dalam Kejuaraan Nasional Ad Interim Versi KTPI
yang di gelar di Jakarta.
Kejadian tersebut memang bisa disebabkan oleh faktor human,
misalnya kondisi fisik atau stamina yang kurang fit pada atlet sebelum
bertanding. Namun tak dapat disangkal, bahwa tinju memang
merupakan olahraga yang sarat risiko. Pukulan yang dihunjamkan
dapat mengenai setiap anggota badan lawan tanding. Pukulan yang
mengarah ke kepala, akan sangat fatal akibatnya jika mengenai
bagian dagu atau rahang. Dagu dan rahang adalah bagian terlemah
dalam pertandingan tinju. Saya jadi teringat dengan petinju muda
berbakat yang disebut-sebut akan menjadi juara Indonesia, yaitu
Muhammad Alfarizi. Gaya bertinju Alfarizi sangat menarik ditonton dan
kombinasi pukulannya komplit. Bahkan ada yang menyebut gaya
betinju Alfarizi mirip-mirip Nasem Hamed. Namun akhirnya Alfarizi
juga meninggal setelah bertarung melawan Kong Thawat Ora dari
Thailand (tahun 2000). Alfarizi adalah petinju yang bagus, tapi sangat
lemah pada bagian dagu dan rahang.
Nah, jika olah raga tinju saja dipertanyakan kelayakannya untuk
dipertontonkan, bahkan dipertanyakan pula apakah termasuk olah raga
atau bukan, maka pertanyaan yang lebih tajam layak ditujukan pada
pertarungan UFC. Dilihat dari cara bertarung yang mengkombinasikan
berbagai aliran bela diri, yang artinya memungkinkan berbagai teknik
serangan digunakan, maka UFC ini jauh lebih beresiko dibandingkan
dengan tinju. Hanya memang jumlah rondenya lebih sedikit
dibandingkan dengan tinju.
Tapi yang sangat terasa ketika menonton pertandingan UFC adalah
kesan “kengerian” ketika pertarungan berakhir dengan teknik
pertarungan di bawah (submission grappling takedowns). Setelah lawan
berhasil dijatuhkan, maka serangan masih boleh dilanjutkan dengan
pukulan ke arah kepala, mengunci dengan tangan atau pun kaki. Ini
yang mengerikan. Petarung yang yang berada di bawah, akan sulit
bertahan atau menangkis jika diserang dengan pukulan yang bertubi-
tubi. Maka tak jarang petarung tersebut akan berlumuran darah terkena
pukulan yang bertubi-tubi. “Kengerian” berikutnya adalah ketika
menyaksikan teknik kuncian yang mematikan. Kuncian di UFC bukan
seperti di judo atau jujitsu, yang akan segera dipisah oleh wasit jika
sudah menghasilkan angka. Di UFC, kita akan melihat kuncian dalam
waktu yang lama, sampai salah satu petarung melakukan tap atau
menyerah. Saya pernah menonton UFC (waktu itu saya menonton
Royce Grazie), ketika lawan Grazie terkena teknik kuncian, saya
sempat berpikir tangannya atau kakinya akan patah. Terakhir, yang
lebih mengerikan adalah bahwa UFC mengijinkan kuncian dengan
sasaran pada leher. Kuncian ini terlihat seolah seperti mencekik leher.
Akibatnya memang seperti kalau dicekik, sulit bernafas, dan akhirnya
harus menyerah.
Ketika menonton UFC di TPI waktu itu (tahun 2002), saya memang
cukup menikmatinya. Mungkin karena melihat hal yang baru dan seru,
yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tapi kini, seiring dengan
bertambahnya usia, saya mulai memikirkan hal yang lebih luas. Bukan
lagi kesenangan ketika menonton pertandingan bela diri yang keras,
tapi lebih pada esensi bela diri yang sebenarnya. Saya ingin tetap
mengambil esensi bela diri sebagai olah raga, seni dan pembinaan
mental. Saya teringat, bahwa kyokushin karate yang dikembangkan
oleh Mas Oyama, pernah dianggap “bukan karate” oleh aliran-aliran
karate yang ada saat itu, karena sistem full contact kumite yang
digunakannya. Padahal di kyokushin juga sarat dengan filsafat dan
prinsip bela diri yang tinggi.
Kini UFC akan ditayangkan lagi di RCTI. Kali ini saya tidak akan
menikmatinya lagi. Saya menilai UFC memang sebuah tontonan yang
menarik, tapi tidak lagi sebagai olah raga yang menekankan fair play
dan sportivitas. Ketika nantinya para atlet atau praktisi bela diri dari
berbagai aliran memutuskan untuk ikut mendaftar di ajang yang
diselenggarakan oleh MNC Media tersebut, apakah yang terpikir oleh
calon petarung tersebut? Apakah ia masih meyakini prinsip-prinsip bela
diri sebagaimana yang disumpahkannya setiap mengawali latihannya?
Kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), bagaimana kebijakannya
terhadap penayangan pertarungan UFC ini? Apakah akan dilarang,
sebagaimana smackdown (WWE) yang pernah dilarang oleh KPI? Atau
diperbolehkan dengan pembatasan?
Dalam hal rencana akan dipertarungkannya UFC di Indonesia, faktor
keselamatan petarung adalah hal paling utama yang harus
diperhatikan. Jangan karena mengejar rating dari bisnis pertunjukan
UFC ini, faktor keselamatan petarung jadi terabaikan. Di sisi lain,
pengaruhnya terhadap tumbuhnya budaya kekerasan juga harus
diperhatikan. Inilah yang terjadi ketika KPI memutuskan melarang
penayangan smackdown ketika itu.


Klo Pendapat ente gimana dengan tayangan UFC itu sendiri?


Quote:
Diubah oleh comrad3 24-09-2013 07:06
0
7.7K
57
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan