Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

TetrakillAvatar border
TS
Tetrakill
Sejarah China-Islam Indonesia 1
Sejarah Bangsa Cina Masuk Indonesia
Oleh Boston Max


Bangsa Cina mendarat di Indonesia pada abad ke 5, di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yg berlayar untuk mencari rempah2, dan kemudian karena satu dan lain hal, mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini sebagai yg membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Hal ini merupakan sesuatu yg ironis di masa pada jaman sekarang hanya sedikit orang Tionghoa yg memeluk agama Islam. Mengapa bisa demikian?


Ironisnya, meskipun kebanyakan orang China di Indonesia bukan muslim, beberapa penyebar agama Islam di Jawa (Wali Songo atau Sembilan Wali) adalah keturunan China. Setidaknya empat (4) dari mereka asli dari China atau keturunan China : Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak Sunan Ampel bersama seorang wanita China), Sunan Kalijaga, and Sunan Gunungjati.


Pada jaman Kolonial Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, para penjajah akan kewalahan. Karena itulah, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.

Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika.


Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam2. Entah bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal2 Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan.

Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar2an di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah2 bertindak sebagai penyelamat bagi orang2 pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai2 menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.


Pada 9 Oktober 1740, Belanda memerintahkan penggeledahan di seluruh rumah orang Tionghoa di Batavia. Tetapi, pada kenyataannya, yang terjadi adalah pembantaian masal selama tiga (3) hari - di mana orang Tionghoa dibantai di rumah mereka sendiri, dan orang Tionghoa yang berada di penjara dan rumah sakit dibunuh.

Seorang penyebar agama "menyiram minyak ke api yang membara" akibat kejadian tersebut dengan mengumumkan bahwa pembunuhan kaum Tionghoa adalah "perintah Allah", dan pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara dengan cara memberikan hadiah untuk kepala orang Tionghoa yang telah dipenggal. Jumlah korban dalam tiga hari tersebut diperkirakan antara lima ribu sampai sepuluh ribu (5000 - 10000). Nama Kali Angke (traditional Chinese: 紅溪; diterjemahkan "Sungai Merah") dikatakan bermula pada kejadian saat itu, yang menyebutkan darah yang merah mengalir ke dalam sungai.


Pada jaman perang kemerdekaan, orang Tionghoa juga berperan penting dalam perjuangan melawan menjajah di mana dalam BPUPKI terdapat 6 orang Tionghoa yg berkontribusi dalam pembentukan UUD'45.


Hanya sedikit orang Tionghoa yg terjun langsung pada konflik bersenjata karena pada saat itu jumlah mereka hanya sedikit. Pada jaman agresi militer, Belanda dan Jepang melakukan blokade terhadap impor barang2 kebutuhan seperti sabun dan peralatan memasak. Orang Tionghoa memegang peranan besar dalam menyelundupkan barang2 itu masuk ke dalam negeri. Namun karena situasi negara saat itu sedan kacau, tidak ada catatan jelas mengenai hal itu sehingga peranan Tionghoa dalam perjuangan meraih kemerdekaan menjadi kabur.

Selama Revolusi Nasional Indonesia yang diikuti Perang Dunia II, Banyak Tionghoa mendukung gerakan kemerdekaan. Enam orang anggota BPUPKI berasal dari etnis Tionghoa yang ikut menyusun UUD 1945.
Pembentukan unit khusus Tionghoa dalam revolusi sempat diusulkan, sama seperti pembentukan unit khusus Jepang Amerika dalam PD II. Usul ini kemudian ditolak, dan etnis Tionghoa disarankan bergabung dengan kelompok pro-kemerdekaan setempat. Dikarenakan kurangnya data anggota unit yang menyebutkan etnis, jumlah pasti Tionghoa yang berperan dalam Revolusi Indonesia tidak dapat dipastikan, dan persentase orang Tionghoa di Indonesia pun masih diperdebatkan. Hal itu adalah isu sensitif karena sering dihubungkan dengan status orang Tionghoa di Indonesia setelah perang berakhir, dan isu persamaan status (atau perbedaan status) di Indonesia sebagai akibat perang.

Selama tahun Revolusi Nasional 1945-1950 untuk mengamankan kemerdekaan dari Belanda, beberapa Tionghoa Indonesia terlibat dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pada masa itu, keadaan ekonomi kacau dan pajak meningkatsecara drastis. Kebutuhan sehari-hari, seperti sabun dan peralatan masak sangat langka - banyak barang-barang tersebut dirampas oleh Jepang dan Belanda untuk kebutuhan mereka.

Segera sesudah itu, orang Tionghoa Indonesia sadar bahwa mereka bukan orang Indonesia maupun orang China. Sebagian memutuskan pindah ke lain tempat, seperti Singapura, Malaysia, bahkan ke tempat yang jauh seperti Brazil.


Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yg sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yg berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Di beberapa daerah juga hal ini disangkut pautkan dengan agama di mana orang Tionghoa dianggap tidak menghormati agama Islam dan tradisi muslim dan dibunuh. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan merudapaksa keluarga mereka. Cara satu2nya untuk survive pada masa itu adalah dengan menyogok.Bahkan para Tionghoa yg berjasa bagi Indonesia pun ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi memisahkan diri dengan Indonesia. Mereka tidak senang disebut sebagai warga "Indonesia" Hal ini terjadi hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan menjaga jarak dengan pribumi. Budaya mereka menjadi lebih kebarat-baratan, karena banyak orang tua Tionghoa memilih untuk menyekolahkan anak mereka ke Amerika atau Eropa.


Orang China di Indonesia dipaksa mengganti nama mereka agar "berbunyi seperti nama Indonesia". Hukum ini dipandang sebagai salah satu dari hukum yang paling mempermalukan komunitas Tionghoa, karena dengan demikian, Tionghoa dipaksa menghilangkan nama keluarga mereka.
Dalam rentang tahun 1965 dan 1975, tentara dan polisi sangat getol menyiksa Tionghoa Indonesia, seperti merampok dan merudapaksa keluarga mereka. Dalam masa itu, polisi dapat melecehkan siapa saja dengan menggunakan bahasa mandarin. Satu-satunya cara untuk bertahan dalam masa-masa keras ini adalah dengan menyuap.


Selain itu, mereka yang dianggap sebagai pahlawan dalam kemerdekaan Indonesia, seperti Siauw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian, secara brutal dieksekusi, dibuang, atau dipenjara. Siapapun yang protes dibunuh secara diam-diam. Tidak ada satupun dari mereka yang diberikan gelar pahlawan nasional. Hal ini sangat efektif dalam membuat orang Tionghoa Indonesia pada masa itu untuk mengabdikan diri untuk Indonesia.

Karena orang Tionghoa dicekal dalam segala aspek kehidupan kecuali ekonomi dan industri, mereka berusaha dengan keras dan sangat berhasil dalam kedua bidang tersebut. Hal ini membuka kesempatan untuk pemerintah dan militer untuk menarik uang suap dari pengusaha Tionghoa. Suap dan korupsi pun menjadi hal yang normal. Hal ini semakin memperlebar gap Tionghoa dengan pribumi. Pribumi menuduh Tionghoa berkolusi dengan pemerintah dan meracuni seluruh sistem politik. Di sisi lain, Tionghoa merasa mereka diperlakukan tidak adil dan pemerintah bersikap terlalu lunak pada pribumi.

Mayoritas Tionghoa bukan muslim. Hal ini lebih jauh menimbulkan sentimen negatif dari kaum pribumi yang mayoritas muslim. Ini ironis mengingat beberapa penyebar Islam di jawa (Wali Songo, atau Sembilan Wali) adalah keturunan China.. Sebuah teori bahkan menyebutkan bahwa orang pertama yang membawa keyakinan Islam di Indonesia adalah para pedagang China, khususnya yang datang ke Semarang di bawah kepemimpinan Sam Po Kong atau Admiral Zheng He (Laksamana Cheng Ho). Cheng Ho bukan orang Han (salah satu suku di China), tapi ia adalah seorang muslim dari salah satu suku minoritas di China.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Karena diskriminasi, mayoritas etnis Tionghoa tidak aktif dalam politik dan tidak dapat maju ke legislatif untuk melindungi hak-hak mereka, meskipun meskipun pengaruh mereka ke bidang ekonomi sangat besar. Situasi ini sangat berbeda dengan negara tetangga, Malaysia, di mana Tionghoa di sana telah aktif secara politik dan ekonomi, meskipun Tionghoa juga kaum minoritas di sana - lingkungan yang mirip seperti Indonesia.


Meskipun hukum dan opini publik menekan masyarakat Tionghoa Indonesia, banyak Tionghoa yang telah sukses di bidang lain, terutama dalam olahraga bulutangkis, olahraga yang paling populer di Indonesia. Atlet Indonesia mendominasi olahraga ini dari tahun 1960an sampai 1990an. Banyak dari para pemain dan pelatih bulutangkis adalah Tionghoa, seperti Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Christian Hadinata, Tjun Tjun, Johan Wahjudi, Ade Chandra, Liem Swie King, Ivana Lie, Verawaty, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ardy Wiranata, dan Haryanto Arbi.


Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, dirudapaksa, dan milik mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara2 tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara2 barat lebih menghormati hak2 mereka ketimbang Indonesia.

Ada blog yg ngebahas soal kerusuhan Mei, untuk jelasnya mengenai situasi saat itu, baca aja di sini atau di sini

Seiring semakin banyaknya diskriminasi dan rasa permusuhan yang terakumulasi, Tionghoa Indonesia mulai banyak yang mendefinisikan diri sebagai kelompok yang terpisah dan tidak mau disebut sebagai "orang Indonesia". Meskipun generasi yang lebih muda tidak mengikuti tradisi secara ketat seperti orang-orang yang lebih tua, mereka masih merasa bahwa mereka berbeda dari orang Indonesia.

Dalam masa ini, generasi yang lebih muda mengadopsi budaya barat sedikit demi sedikit, karena mereka melihatnya lebih superior daripada budaya timur. Mereka lebih mengikuti negara negara barat seperti Amerika Serikat atau Inggris. Westernisasi menjadi populer karena banyak orang tua yang mengirim anak-anak mereka keluar negeri, ke negara-negara barat.

Kerusuhan Jakarta pada 1998 banyak menyasar kaum Tionghoa. Kerusuhan itu sendiri menuai kutukan dari negara-negara yang berbahasa mandarin. Suharto diyakini sebagai dalang kerusuhan ini, tapi tidak ada bukti. Penderitaan akibat penjarahan dan pembakaran massal, banyak Tionghoa Indonesia yang lari dari Indonesia. Ironisnya, mereka mendapati bahwa negara-negara barat lebih menerima mereka dibandingkan Indonesia, negara tempat kelahiran mereka. Bahkan setelah kerusuhan itu reda, banyak di antara mereka tidak mau kembali ke Indonesia.


Setelah reformasi, pada masa pemerintahannya, Gus Dur mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kwik Kian Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga memberikan ijin bagi orang2 Tionghoa untuk menjalankan tradisinya tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan Megawati, hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional.


Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia (sejak tahun 1965), pada tahun 2000, Metro TV menjadi stasiun TV pertama yg menggunakan bahasa mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang2 yg menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, SBY meresmikan istilah "Tionghoa" sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia.

---

So, setelah membaca uraian di atas, bisa kita lihat bahwa pada awal mulanya, orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi terjadi akibat usaha penjajah untuk memecah belah Indonesia. Berbagai usaha perbaikan telah dilakukan oleh pemerintah, namun luka yg telah mendarah daging selama berbagai generasi tidaklah semudah itu untuk dihapuskan.


Marilah kita sebagai generasi muda, belajar dari kesalahan pada leluhur kita, untuk bersikap kritis. Jangan mudah diadu domba oleh pihak2 yg tidak bertanggung jawab. Diskriminasi adalah sebuah hal yg menginjak2 martabat dan hak asasi manusia, dan perbedaan SARA adalah sebuah kekayaan budaya bangsa yg harus kita hargai. Satu nusa, satu bangsa. Bhinneka Tunggal Ika.

Maaf, bukan bermaksud menggurui gan.
Hanya berharap semoga dapat membuka mata saudara-saudara kita
emoticon-No Sara Please please
baca dengan kepala dingin

BTW, kebetulan pasangan Gurbernur DKI Jakarta menunjukkan gambaran yang ideal. Salut untuk mereka berdua



Mohon pada para juragan juragan sekalian emoticon-Blue Guy Cendol (L) jika agan suka thread ane, atau emoticon-Rate 5 Star kalo agan belum ISO
Kaskuser yang baik selalu meninggalkan jejak. Minimal comment
Menjadi Silent Reader berarti anda tidak menghargai hasil karya orang lain.

Silahkan mampir gan, ini beberapa thread ane
Spoiler for Thread:


Atau buka thread ane yang lain gan
Thread

Edit :
BTW, thank you buat yang udah comment, positif maupun negatif. juga yang udah emoticon-Rate 5 Star, juga yang kasih emoticon-Blue Guy Cendol (L), maupun yang kasih emoticon-Blue Guy Bata (L)

Dari thread ini ane belajar banyak.
salah satunya adalah yang kasih emoticon-Blue Guy Bata (L)dengan komen kaya gini
"gw plg benci liad trit org yg bawa'' agama gw!!! jujur"


semoga ane salah, tapi balik lagi seperti postingan ane di #21 di bagian 1 tulisan ini, rupanya bangsa kita masih "terjajah".
Kalau ngeliat komennya kayanya yang dimaksud 'agama gw" itu agama Islam, dan tanda seru 3 biji itu mengesankan kebencian, sekaligus memberi stempel pada TS bahwa TS non muslim (atau mungkin sekaligus keturunan China ?)
kemungkinan juga trit ane ga dibaca sampe abis.
Sekarang ane jadi tau perasaan teman ane beberapa waktu yang lalu (insidennya pribadi gan, jadi ga bisa dipublish, sori)

BTW, balik lagi, emoticon-No Sara Please gan.
baca dengan kepala dingin
kalo nggak gitu, kapan bangsa kita mau maju ??

salam


Seri lengkap tulisan ini
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Diubah oleh Tetrakill 05-10-2013 07:52
0
45.7K
581
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan