Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

apoxAvatar border
TS
apox
Nasib A Rahman: Udah Gila, Dipasung, Miskin, Rumah Hancur en gk punya duit Berobat
“Dia memukul ayahnya sampai tewas. Ibunya juga dipukul. Tapi ibunya selamat setelah dibawa ke rumah sakit Bireuen. Makanya dia dipasung,” terang Nuraini, perawat jiwa yang bertugas di Puskesmas Gandapura saat ingin mengunjungi salah satu pasien pasung.



Dari kejauhan tampak rumah panggung yang beratapkan daun rumbia. Di pekarangan rumah itu, juga ada rumah beton. “Itu rumah bantuan. Daerah ini dulu terkena tsunami,” Jelas perawat itu. Namun, ia tidak tahu rumah itu milik siapa. Yang jelas bukan rumah pasien yang hendak dibesuknya.

Jalan yang dilalui ketika masuk ke pekarangan rumah bukanlah dari tanah, melainkan pasir. Tampak lubang-lubang bagaikan sarang kepiting akibat tekanan tumit sepatu Nuraini. Sekitar seratus meter dari rumah, hamparan laut biru terlihat jelas. Pintu depan rumah panggung itu terkunci, begitu pula pintung samping. Lewat pintu belakang yang terbuka, perawat itu mengucapkan salam.

Seorang wanita separuh baya mempersilakan Nuraini dan teman-temannya masuk ke dalam rumah. Beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk dimakan usia mereka naiki. Dapur tanah liat dan kayu tampak di sana. Kayu-kayu berwarna hitam adang menjadi dinding ruangan 2x2 cm itu. Beberapa tempat di lantai kayunya sudah bolong. Rumah itu sedikit bergoyang ketika para tenaga medis itu memasukinya.

Wanita yang tidak lain adalah ibu sang terpasung mempersilakan mereka duduk di bagian tengah rumah. Di sana laki-laki putih, kurus, dengan kumis dan jenggot yang tidak terurus sedang asyiknya menghisap rokok sambil berbaring di atas tikar pandan. Kaki kanannya dibelenggu dengan rantai besi yang panjangnya sekitar satu meter. Rantai dikaitkan pada tameh (tiang) rumah. Belenggu membuat gerak-gerik lelaki itu terbatas. Sedangkan wanita tua, ia duduk di sudut tempat tidur yang tidak jauh dari sang anak berada.

“A. Rahman,” begitu lelaki bertubuh kurus itu menjawab saat ditanyakan siapa namanya. Lalu ia kembali mengepulkan asap dan membuang abu rokok yang dihisap melalui lubang yang terletak di sampingnya.

Ruangan tempat A. Rahman dipasung berdindingkan pelepah rumbia. Ada beberapa bagian dari dinding yang telah bolong dan ditutup dengan tikar plastik. Lantainya terbuat dari kayu dan ditutupi tikar pandan. Beberapa bagian di lantai juga sudah berlubang.

“Lewat lubang itu A. Rahman buang hajat,” jelas ibunya.

Laki-laki yang sedang dibicarakan itu sibuk menerawang. Ia sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Nuraini dan teman-temannya.

“A. Rahman sudah pernah dirawat di RSJ Banda Aceh. Tapi akhir tahun kemarin, semua pasien jiwa diminta pulang sebentar karena rumah sakit sedang direnovasi. Sekarang sudah bisa kembali lagi,” papar Nuraini yang juga merupakan salah anggota Community Mental Health Nurse (CMHN), “karena tidak ada biaya, sampai sekarang dia belum dibawa juga.”

Sebenarnya, menurut penjelasan perawat CMHN itu, A. Rahman bisa berobat dengan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Cukup membawa rujukan dari Puskesmas, foto kopi KTP dan Kartu Keluarga (KK), ia bisa berobat gratis ke RSJ Provinsi Aceh. Biaya pengobatan ditanggung oleh pemerintah. Lebih-lebih Aceh telah memberlakukan Aceh Free Pasung sejak pemerintahan gubernur sebelumnya (Irwandi.red). Tapi yang menjadi kendala adalah biaya transportasi. “Untuk ke Banda Aceh, biaya ambulan sekitar satu juta. Nanti setelah uang JKA cair, Puskesmas akan mengganti dana yang telah dikeluarkan. Tapi kabarnya sampai sekarang mereka belum punya uang,” ungkap Nuraini.

A.Rahman masih berbaring sambil tersenyum menampakkan geginya yang kuning. Setelah disuruh duduk oleh ibunya, ia baru duduk sambil tetap tersenyum. Matanya masih mengawang-awang.

“Dia sedang berhalusinasi,” tutur Nuraini. “Dokter spesialis jiwa di RSJ mendiagnosanya dengan Gangguan Mental Organik Karena Pengaruh Zat. Biasanya penyebabnya NAPZA.” Kebanyakan penderita dengan gangguan jiwa khususnya memang bisa dilihat dari wajahnya. Dengan air muka yang datar dan tatapan yang kosong, pasti ia sedang berada di alam bawah sadarnya.

“Kapan rencana dibawa di Banda, Mak?” tanya Nuraini mencoba konfirmasi tentang rencana keluarga A Rahman yang akan membawanya ke RSJ di Banda Aceh.

“Belum ada dana, Nak. Sudah saya coba minta pinjaman di mana-mana. Tidak ada juga. Semua tidak ada uang,” jawab wanita tua itu dengan wajah murung.

Sebenarnya, Mak Rahman, begitu wanita itu kerap disapa, memiliki empat belas anak. Empat dari mereka sudah meninggal waktu kecil dan tsunami. Saat ini tinggal sepuluh. Namun, semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di tempat yang berbeda, kecuali A. Rahman dan Abdul Kadir, anak yang paling bungsu.

Kakak A. Rahman yang ternyata pemilik rumah bantuan di belakang gubuk itu juga sudah bekerja di Banda Aceh. “Kerja cuci baju dan nyapu-nyapu di rumah orang,” jelas Mak Rahman yang saat bencana tsunami tahun 2004 silam ikut menjadi korban. Rumahnya juga hanyut dibawa gelombang raksasa itu.

“Tapi kami tidak mendapat bantuan rumah. Katanya bantuan untuk satu keluarga cuma satu. Padahal saya dan anak perempuan saya tinggal di rumah yang berbeda. Jadi terpaksa bikin rumah seadanya,” papar wanita itu sambil mengamati rumahnya yang kian reyot.

“Kenapa tidak tinggal di rumah anak Mak itu saja. Kan kosong?” tanya salah satu rekan Nuraini.

Mak Rahman tidak dapat pindah ke rumah bantuan milik anaknya karena tidak ada tiang untuk mengingat rantai pasung A. Rahman. “Kalau dia buang hajat juga susah. Ini tinggal taruh ember saja di bawah lubang. Kalau A.Rahman buang hajat, langsung ke dalam ember lalu dibuang ke laut.”

Ketika ditanya apakah saudara-saudaranya tidak membantu, “Mereka juga kurang mampu, jadi tidak bisa membantu apa-apa juga.” Ucap Mak rahman dengan air muka yang menunjukkan kesedihan.

Saat ini A. Rahman memang rutin minum obat dari Puskesmas. Chlorpromazine, Haloperidol, dan Trihexylphenydil adalah obat yang resepkan Nuraini padanya. Setiap habis obat, Abdul Kadir selalu mengambilnya ke Puskesmas. Menurut penuturan Mak Rahman, anaknya juga rajin minum obat. “Suka sekali dia minum obat.”

Lantas mengapa dia dipasung?

“Dia suka mengamuk. Semua barang dipecahkannya. Siapa yang ada di depan matanya ia pukuli. Memang sejak minum obat sudah tidak sesering ia mengamuk , tapi tanpa diduga-duga dia bisa saja mengamuk. Pernah sekali dilepas rantainya, dia langsung pergi ke gudang. Kalau tiba-tiba ada yang tidak disukainya, langsung saja ia lempar dengan batu. Lalu pulang dan menghantam saya yang sedang memasak. ”

Gudang yang dimaksud Mak Rahman bukanlah tempat penyimpanan barang. Gudang di Gandapura bermakna kios atau kedai.

Menurut Nuraini, obat yang diberikan di Puskesmas adalah obat-obat lama yang saat ini sudah jarang digunakan di RSJ. “Biasanya pasien yang waktu pulang dari RSJ sudah baik, setiba di kampung penyakitnya kambuh lagi. Padahal sudah diberikan obat. Mereka kerap mengatakan kalau obat di Puskesmas tidak seperti yang di RSJ,” ungkapnya.

“Sudah tiga kali dia masuk RSJ. Pertama waktu dia pukul saya dan ayahnya. Waktu itu ayahnya sedang sakit dan tidak sanggup bangun. Tiba-tiba A. Rahman datang menghantam ayahnya. Saya coba menghentikan amukannya, tapi saya juga dipukul sampai tidak sadarkan diri. Waktu sadar, saya sudah di rumah sakit Bireuen, suami saya sudah meninggal, dan Rahman dibawa oleh orang kampung ke RSJ di Banda Aceh,” papar Mak Rahman yang begitu menggebu menceritakan keanehan perilaku anaknya.

“Waktu di RSJ, dia mencret sampai harus di rawat di rumah sakit umum. Setelah sembuh, saya membawanya pulang. Selama di kampung, dia keluyuran terus. Jarang di rumah. Yang saya takutkan kalau-kalau dia melempar orang dengan batu. Lalu dia dibawa lagi ke RSJ. Waktu itu dibantu sama desa dananya.”

Lelaki yang berusia 38 tahun itu, sudah enam tahun mengalami gangguan jiwa. Sebelum sakit, ia bekerja sebagai penjaga tambak ikan warga. Sambil menjaga tambak, ia juga menangkap kepiting lalu dijualnya di pasar. Uang dari hasil bekerja dan menjual kepiting itu digunakan untuk membeli rokok. “ Dari kecil dia sudah sudah mengenal rokok.”

“Ada ngisap ganja dia, Mak?” tanya perawat itu kemudian.

“Kata teman-temannya ada. Tapi saya tidak tahu.”

Saat pertanyaan itu ditujukan pada A. Rahman, dengan lantang ia menjawab, “Ada,” lalu tersenyum kembali. Ia sangat susah diajak berkomunikasi.

Hampir setiap malam, menurut penuturan ibunya, A. Rahman mengamuk dan mengantuk-antuk kepalanya ke dinding. “Pergi sana kamu anak kecil. Pergi.” Tiru Mak Rahman atas apa yang diucapkan anaknya. Terkadang lelaki itu juga tertawa sendiri.

“Seandainya ada uang, hari ini terus saya bawa A. Rahman ke Banda Aceh. Kasihan sekali melihat dia dirantai seperti ini.” Wanita tua itu berharap segera memiliki rezeki untuk membawa anaknya ke RSJ. Ia juga tidak tega melihat anak lelakinya terus-terusan dipasung selama bertahun tahun.

Siang hari, Nuraini dan teman-temannya pun kembali ke Puskesmas. Sebagai pegawai biasa, Nuraini tidak memiliki kebijakan apa-apa untuk membawa pasiennya ke Rumah Sakit Jiwa. Ia hanya menjalankan tugas untuk melakukan kunjungan rumah dan memantau penderita gangguan itu untuk rutin minum obat.[]

Sumber
Atjehpost

Blog Dokter
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
2.5K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan